Tuesday, January 28, 2020

Secarik Foto Lama

Doc. @coupleencoupleamor


Perpustakaan Nasional, pkl. 13.30 wib.

"Beneran buku ini buat aku Tante? "

Seraut wajah oval dengan sepasang mata cantik yang berbinar menatapku lekat. Caranya bertanya membuatku sedikit gemas, ingin menjawil pipinya yang chubby andai dia masih seimut anak TK.

Sayang Aisha sudah remaja, sudah SMA,  pasti akan merasa aneh jika aku yang baru pertama kali bertemu langsung selancang itu menyentuhnya.

Aku berikan senyum paling manisku untuknya, dan menganggukkan kepala :

"Iya, buku itu buat kamu, Aisha"

Aisha membuka mulutnya lebar dan alisnya terangkat tinggi saat mengucapkan terima kasihnya, menyajikan ekspresi rasa senang yang menghangatkan hati pemberinya.

Dalam hening sekian detik aku tertegun. Mata Aisha, hidungnya, bibirnya dan ekspresinya membawa ingatkanku kepadanya.

Dia yang menelponku semalam. Dia juga yang pernah menelponku setiap malam bertahun-tahun yang lalu.

Ya, semalam Deny mengingatkan bahwa putrinya akan berkunjung ke tempatku untuk menjemput janjiku memberinya buku novelku sebagai hadiah ulang tahunnya.

Suara Deny di telpon terdengar tak berubah, masih lembut dan gagah :

"Aisha ngefans sama kamu Wid. Seminggu ini yang dia omongin cuma kamu. Aku harap kamu gak keberatan menghadapi kebawelannya besok di Jakarta".


Aku tertawa, diapun tertawa. Ahh seperti Deja Vu, tertawa bersama ini pernah ada saat itu.  Saat musim cinta masih segar dan ranum. Diantara lalu lalang orang saat kegiatan organisasi berlangsung.

***

Waktu itu, 20 tahun lalu aku hanya fokus pada pekerjaanku. Membuat kerajinan tangan bersama teman-teman lain untuk dijual. yang keuntungannya diperuntukkan kepada para dhuafa di setiap bulan Ramadhan.

Tiba-tiba suara seseorang menyapa :
"Lagi pada ngapain? ".


Ah dia lagi. Si mata elang itu dengan rambut sedikit ikalnya yang sejak kehadirannya di  base camp ini membuat tempat berkumpul kami semua itu menjadi lebih ramai. Dan dia selalu menyapa semua orang di ruangan itu dengan ucapan seperti itu. 

Aku lanjut menekuni pekerjaanku, aku tahu sapaan itu akan disambut banyak sekali balasan teman-teman perempuanku yang lain seperti biasanya. Aku hanya debu diantara sekian gadis-gadis cerdas dan cantik itu manalah mungkin akan terlihat olehnya. Jadi tak masalah kukira kalau aku tak mengacuhkannya. 

Sebagai pemuda paling good looking dan berhasil kuliah di jurusan bergengsi di kampus, wajar jika dia memiliki banyak fans. Meskipun begitu itu tak membuatnya sombong kukira, karena yang kutahu dia memiliki banyak sahabat laki-laki juga. Kupikir dia seorang yang humble dan fleksibel. 

Tak lama aku merasa seseorang mendekati tempat dudukku dan tiba-tiba mengambil sebagian hasil karyaku. Ah Deny, mau apa dia pegang-pegang kerajinanku. 

"Ugh keren ini. Gimana si bikinnya. Ini cuma ditempel-tempel aja kan? Iya kan?  Gak sampai dijahit?  Tapi koq aku gak kebayang bikinnya"

Aku menoleh menatap tangannya yang terus memutar-mutar hasil karyaku dan sedikit mencuri pandang pada ekspresi wajahnya yang nyureng-nyureng lucu.

Akhirnya aku harus menjelaskan sedikit proses pengerjaannya dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang lain karena bagaimanapun dia teman kampusku yang baik dan cukup dihormati.

Pertanyaan-pertanyaan yang terus diajukannya kepadaku sejak itu baik di telpon, di antara gedung-gedung kampus, di jalanan antara Jl. Dago dan Braga, di teras rumah, di telpon lagi dst.

Pertanyaan dan jawaban yang terus kami saling ajukan dengan penuh sukacita  sampai dua tahun berlalu dan di suatu hari dia harus melanjutkan study ke sebrang lautan dimana komunikasi kami semakin jarang dan jarang dan jarang, lalu tiba-tiba ia menghilang. 

"Aku juga punya ini buat Tante Widya."


Suara Aisha tiba-tiba menyeruak dari rerimbun lamunanku. Aku terhenyak. Tangan Aisha menyodorkan sesuatu. Sebuah bingkisan yang dibungkus paper box.


"Itu aku buat sendiri lho Tan. Hehe. Oya,  dan ini titipan dari Papa. Papa bilang  dibukanya kalau aku udah pulang aja ya Tante."


Aisha menampakkan perubahan air muka menjadi sedikit cemberut saat menyebut kata-kata terkahir, tapi menggemaskan. Kurasa Aisha berpura-pura, karena mata dan senyumnya kembali muncul dan menggoda.


Yang sungguh berubah kurasa ekspresiku sendiri. Sekejap saja perhatianku tak tertuju lagi pada hadiah dari Aisha, melainkan paper bag yang dikatakan sebagai titipan ayahnya. 

"Deny menitipkan sesuatu? ".

...

Rumah, pkl. 22.40.

Di luar hujan tak berhenti. Tak perlu membuka gordyn jendela untuk membuktikannya, suara gemericiknya yang menitisi atap dan halaman rumah meliputi malam kota kecilku. 

Kotak paper bag titipan Deny belum kusentuh lagi sejak pulang sore tadi.  Aku menunggu waktu yang tepat di penutup malam terujung dan paling sendiriku untuk membukanya. 

Hanya sebentuk kotak berbungkus kertas di dalamnya tapi entah mengapa aku enggan mengambilnya, namun aku juga tak tahan untuk melihat isinya. 

Kubuka dengan hati-hati seutas tali berbahan kain recycle yang mengikatnya dan membuka tilam kertas halus yang hampir-hampir serupa kain nylon berwarna coklat. 

Aku tertegun, sebuah buku Diary milikku ataukah milik Deny?  Ah tak penting itu, tetapi buku diary itu pernah selalu berpindah-pindah tangan.  Bergantian antara aku atau dia menuliskan kesan dan pesan di dalamnya untuk satu sama lain. 

Tapi kenapa dia mengembalikan diary ini padaku?  Bahkan,  bahkan mengapa diary ini masih ada dan dia simpan? Setelah 20 tahun berlalu?  

Kubuka perlahan setiap lembarnya dan kubaca setiap halamannya dengan senyuman bagaikan masa lalu. 

Tuhan... Tulisan-tulisan itu. Betapa manisnya. Dan betapa alaynya kupikir. Selalu ada gambar-gambar lucu di akhir pesannya. 

Aku terhenti di halaman paling akhir cerita kami. Terakhir kami saling berkirim pesan melalui diary. Sesuatu seperti mengganjal di balik kertasnya. Aku membukanya, dan nampak selembar foto lama tergeletak di atasnya. 

Ah foto itu. Foto aku dan Deny berdua yang di-capture seorang teman diam-diam saat komunitas kami membagikan kotak makanan untuk fakir miskin pada suatu malam di bulan Ramadhan. 

Aku membalik lembar foto itu, dan sebaris tulisan yang kukira tulisan baru tergores disana. Hanya sebaris goresan tangan yang mendesirkan hati, sebaris pahatan tinta bertuliskan namaku :

Widya Maharani ❤

Hujan malam masih gemericik. Dan aku masih terdiam, mendengarkan lagu yang pernah dikirim seseorang dan tanganku memeluk foto lama itu di dada dalam-dalam. 


]




1 comment:

  1. Keren tulisannya. Enak ngebacanya dari awal sampai akhir..

    ReplyDelete

Terima kasih sudah singgah di Goresanku ya ^_^