![]() |
Credit : instagram @ridwankamil |
Ketika cinta hilang dan kebencian diajarkan - Jika cinta itu natural, maka kebencian mestilah ada yang mengajarkan. Adalah musibah bagi kemanusiaan saat seseorang mengajarkan kebencian pada sesamanya. Lalu bagaimana halnya jika yang mengajarkan kebencian itu ribuan orang dan terus dibagikan pada ratusan ribu dan jutaan lainnya ? Akan seperti apa dunia anak cucu kita nantinya ?
***
Ramadan karim (Ramadan bulan yang mulia) Begitu selalu yang acapkali saya baca di manapun di setiap jelang bulan Ramadan tiba.
Dan selalu saya terbawa pada kenangan masa kecil hingga remaja tempat dimana kebaikan dan kemuliaan bulan suci itu memang terasa.
Sahabat-sahabat masa kecil saya beragam rupa karakter, latar ekonomi keluarga dan juga agama. Tapi, di sepanjang persahabatan kami hampir-hampir perbedaan itu tak terasa.
Kalaupun terasa, hanya saat siapa sedang merayakan hal-hal indah dalam agamanya seperti mengintip kelipan lampu-lampu kecil pohon Natal di rumah teman Nasrani dari balik pintunya, atau mengundang makan ketupat lebaran sahabat yang berbeda agama di rumah.
Saya, adik dan teman-teman muslim belajar mengaji di rumah seorang guru, dan sering ditunggui dua sahabat Nasrani di dekat rumah itu untuk bermain setelahnya. Ataupun sebaliknya, merasa kehilangan di setiap minggu pagi tiba menunggu mereka pulang dari gereja.
Apakah saya tak cinta agama saya karena bergaul dengan teman seperti mereka ? Justru saya merasa agamalah yang menuntun saya untuk mencintai persahabatan dengan siapapun. Dari guru mengaji saya lalu menjadi faham bagaimana berakhlaq bahkan kepada semesta alam.
Jika hari raya tiba, orang tua saya selalu mendapat kunjungan tetangga Nasrani kami untuk sekedar mengucap turut bersuka cita. Begitupun sebaliknya.
Saling menghormati yang orang tua kami masing-masing jalani seakan memberi pesan untuk kami bahwa, mari berbagi tempat di dunia ini dalam perbedaan kita dan tetap saling menghargai dan menyayangi.
Apakah saya tak punya rasa kepada agama saya karena itu semua ?
Bahkan saat saya berjuang hendak mengenakan hijab pertama kali saat SMA hambatan datang justru dari kerabat dan orang lain yang muslim juga.
Tak satupun sahabat atau orang non muslim lainnya mengusik keinginan saya berhijab di saat saya justru mendapat rintangan itu dari saudara sesama muslim saya.
Namun begitu saya tetap menemukan kesyahduan khusyu bersama Tuhan dan mencintai Al-Qur'an dimanapun tanpa harus kehilangan kasih sayang teman-teman tak seperjalanan iman.
Tetap mendapatkan asyiknya masa kecil dengan beragam latar belakang kawan tanpa tercuri kerinduan kepada Nabi saw dan sang Maha Rahman.
Tapi saat-saat seperti itu berlalu, saat di usia remaja mulai mengenal teman-teman yang ingin mengenalkan hanya satu warna keindahan. Bahwa warna yang benar itu hanya warna benderanya dan jangan berharap kebaikan akan ditemukan pada selainnya.
Lalu saya mulai belajar membatasi diri, memasang pagar-pagar demi aqidah yang harga mati, garis demarkasi yang dengannya saya lalu ditunjukki bahwa di luar garis itu adalah sekumpulan orang-orang bergelar liberal/fasiq/munafiq/hingga kafir.
Meski orang yang di luar pagar itu muslim. Bahkan meski yang di luar garis itu orang tua sendiri. Bahkan meski mereka setiap hari shalat, berbuat baik, dan selalu mengaji.
Betapa kejamnya fanatisme buta, menafsir kitab sekehendaknya sendiri. Tak memberi ruang pada akal dan hati nurani untuk meraba, mengapa beragama yang seharusnya menjadikan hati suci dan memperbaiki akal budi berubah menjadi alat untuk mendakwa dan menghakimi orang lain.
Kini, saya melihat sendiri bagaimana buah dari fanatisme yang dahulu ditanam orang telah ranum, dipetik dan dimamah sedemikian lahapnya. Menjadi nutrisi bagi radikalisme ungkapan-ungkapan penghakiman bahkan berita-berita hoax dan fitnah yang bertebaran baik di jagat maya maupun kasak kusuk dunia nyata. Menolak islam ramah karena katanya itu menjauhkan orang dari Islam yang kaffah ? Jadi apakah sebenarnya akhir tujuan ?
Duka cita saya untuk kenangan pada pesan baginda Nabi Muhammad saw bahwa beliau diutus untuk ajarkan sesempurna-sempurna akhlaq. Bagaimana sejarah welas asih beliau dikalahkan oleh gegap gempita sejarah politik dan kekuasaan pasca wafatnya sang utusan yang sederhana dan penuh kasih sayang.
Belasungkawa saya atas perseteruan dan konflik sesama muslimin muslimat bangsa ini dan seluruh kawasan di dunia yang tercabik perpecahan hanya karena perbedaan bendera golongan, partai, suku, ataupun kebangsaan ditambah kepentingan luar yang senang kita selalu dalam perselisihan dan peperangan.
Kesedihan saya atas hari-hari dimana bangsa berpenduduk muslim terbesar di dunia ini pernah terbelah menjadi dua kubu dan saling berseteru. Bahkan di tempat dan waktu dimana seharusnya cahaya tauladan dan kearifan dipergelarkan. Ini Ramadan dan di bulan Ramadan yang penuh keutamaan ini orang masih sibuk berselisih paham.
Sudah habiskah rasa malu ? Jikapun tak punya rasa malu kepada sesama manusia, sudah keringkah rasa malu itu meski kepada Tuhan yang atas namaNYA kebencian itu selalu dipertunjukkan hanya karena berbeda pilihan, berbeda pemikiran, berbeda golongan, berbeda kesayangan ?
Seberapa panjang sih umur kita habiskan masa untuk berdebat persoalkan sesuatu yang sesungguhnya hampa dan fana ?
Kapan bahagianya ? Dimana indahnya ?
Yang pasti kebahagiaan dan keindahan tetap milik mereka yang tersibuk hanya dengan kebaikan dan kebaikan. Hanya kebaikan bahasa universal yang sanggup diterima siapapun insan.
Tak ada yang tumbuh dari kata-kata sindiran, kalimat nyinyiran, apalagi hinaan, cacian, makian dan tindakan kasar serta brutal melainkan kebencian. Dan kebencian tidak pernah membawa kita kemana-mana, apalagi ke SurgaNYA kecuali kepada kehancuran dan permusuhan abadi yang menjerumuskan.
Sedang Allah yang Maha Cinta menciptakan segalanya pun dengan penuh cinta. Sedang sang Guru yang kinasih, Nabi akhir zaman telah sungguh-sungguh berpesan :
"Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara"
People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite... Man's goodness is a flame that can be hidden but never extinguished".
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah singgah di Goresanku ya ^_^