Pengaruh keharmonisan keluarga saat ini pada kehidupan anak kelak saat berumah tangga
Disclaimer :
Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para orang tua tunggal / single parents yang sedang menjalani tugas dan perannya dengan penuh dedikasi dan integritas sebagai orang tua bagi anak-anaknya, tulisan ini ditujukan sebagai sharing pengalaman teman, konflik dan solusinya ditinjau dari sisi psikology.***
Angka perceraian yang tinggi di masyarakat kita selama ini tidak terlalu mengusik pikiran saya, sering merasa itu hanya terjadi dan menimpa orang lain saja bukan orang-orang di sekitar yang dekat dengan kehidupan saya. Sampai kemudian seiring waktu saya mengenal beberapa orang yang hidupnya dirundung masalah rumah tangga bertubi-tubi, membuat saya ingin lebih erat mendekap keluarga dan berharap bisa terus menjaga keutuhan dan keharmonisannya. Bukan semata-mata untuk saya dan suami saja, lebih dari itu untuk kehidupan berkeluarga anak-anak saya kelak. Ternyata, ada kaitan yang sangat erat antara keharmonisan keluarga saat ini dengan kehidupan berumah tangga anak-anak yang positif kelak.
Seorang teman pria saya yang sudah lama tak bertemu dalam
suatu kesempatan bercerita kepada saya dan membuat saya termenung lama karena kisah
hidupnya yang rumit. Teman saya ini di usia matangnya di mana kebanyakan
teman-teman pria saya lainnya justru sedang menikmati kesuksesan mereka seperti
puncak karir, keluarga yang lengkap dan harmonis, penampilan yang paripurna
dsb, pada sahabat saya ini justru sedang mengalami episode hidupnya yang muram.
Bukan karena soal karir, ekonomi, ataupun penampilan, karena jika dilihat
secara kasat mata, dia sebagaimana pria sukses kebanyakan, sangat meyakinkan.
Yang tak dimilikinya hanyalah satu, namun justru yang paling berharga, keluarga.
Mendengar pengakuannya sempat membuat saya terkejut karena
benar-benar di luar dugaan saya, tak berkeluarga bukan karena ia belum menikah,
melainkan di usianya yang masih 40-an tahun teman saya ini justru telah
melakukan 4 kali pernikahan, namun 4 kali juga perceraian dengan berbagai latar
dan alasan. Jika dirata-rata, teman saya ini berarti hanya menikmati masa
berumah tangga dengan mantan-mantan istrinya masing-masing sekitar 4,5 tahun
saja. Meski nampaknya kini sedang dalam proses menikah lagi, namun dari apa
yang diceritakannya sungguh membuat hati miris.
“Saya gagal membina
rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Dalam hati saya selalu merasa
kesepian. Broken home forever”.
Broken home forever, sebuah ungkapan yang saya melihatnya
sebagai keluhannya atas hal-hal menyedihkan yang sudah dia terima sejak usianya
masih kanak-kanak, dimana dahulu saat usianya belum melampaui masa balita orang
tuanya telah bercerai dan dia sendiri harus rela tinggal bersama ayah dan ibu
tirinya.
Tak runut sepenuhnya, tapi ia berterus terang bahwa
hubungannya dengan sang ibu tiri tidaklah baik yang berlanjut hingga usia
dewasanya kini di saat sang ayah telah tiada lagi. Di masa kecil hingga
remajanya kerap berpindah-pindah sekolah yang notabene juga berarti
berpindah-pindah daerah bahkan negara karena mengikuti keinginan dan rencana
ayahnya yang pengusaha.
Mengamati kata-kata dan sikapnya, pandangan subyektif saya
menilai teman saya ini seorang yang di luar
terlihat memiliki self confident yang kuat, seorang yang humoris, ceria namun
sesungguhnya he’s an introvert man inside.
Terkadang ucapannya terdengar berlebihan dalam menilai orang
lain tentang dirinya, seperti ucapan bahwa orang-orang tertentu menyukainya
bahkan mencintainya / dalam bahasa slank mungkin bisa dibilang kegeeran (memang secara fisik dia termasuk good looking man), tapi
hal itu belum tentu /tidak seperti yang diucapkannya sesungguhnya.
Pada kesempatan lain, kepada saya dia acap mengungkapkan
bahwa sebenarnya dia cenderung menghindari bertemu kawan lama, karena alasan
dulu merasa tak punya teman akrab, sering bermasalah dengan teman-teman
seangkatan (dulu memang dia dikenal sebagai anak bandel tukang berkelahi), dan
track record kondisi rumah tangga/ keluarganya yang porak poranda.
Kepada saya
dia mengatakan bahwa sekarang dia semakin “hancur”, bahwa seluruh usahanya
dalam keadaan bangkrut (meski setiap hari dia selalu berpenampilan necis dan
berkendaraan bagus dan sedang terus bangkit membangun kembali usahanya), bahwa
dia punya penyakit kronis yang tidak semua wanita bisa menerimanya jika kelak
menikah dengannya dan bla bla bla lainnya.
Menurut pengakuan teman saya ini juga, penyebab
perceraiannya dengan mantan-mantan istrinya adalah karena bermacam-macam latar
belakang, ada yang karena menikah tidak atas dasar cinta, ada yang karena
merasa dijebak sehingga menikah dalam keadaan terpaksa, ada karena
perselingkuhan dsb. Yang pasti, dia tak sebahagia yang terlihat, banyak sekali
yang harus disesuaikan, baik keadaan maupun suasana hatinya. Bisa dibayangkan,
betapa sulitnya menata kembali apa yang telah rusak karena sebuah perceraian,
apalagi jika perceraian itu teradi berkali-kali.
Sebenarnya kasus yang mirip dengan hal di atas pernah saya
temui juga jauh sebelumnya, seorang bapak kaya raya pengusaha bahan bakar
minyak dan gas berusia lebih dari setengah abad pernah mengadukan keprihatinan
hidupnya juga karena “kebiasaannya” kawin cerai. Di usianya yang sudah tak muda
lagi harus kerepotan mengurus anak-anak yang masih kecil yang dipertahankannya
dalam hak asuhnya. Ternyata memiliki pola asuh di masa kecil dari lingkungan yang
hampir sama dengan kasus temanku tadi, yakni perceraian orang tua. Meskipun
bergelimang harta karena lahir dari keluarga berkecukupan tapi perceraian demi perceraian yang dialaminya telah meninggalkan trauma mendalam, terutama bagi anak-anaknya. Luka yang berlanjut generasi demi generasi.
Pentingnya Keharmonisan Keluarga Untuk Masa Depan Anak
Menurut pakar psikologi Najjah Assegaf S.Psi, anak-anak
secara default merekam apa yang dialaminya di
masa kecilnya. Ada korelasi yang
sangat signifikan antara hubungan yang harmonis dalam keluarga dengan
kepribadian positif seseorang. Dalam perkembangan dan pertumbuhan seorang anak,
peran orang tua yaitu ibu dan ayah yang harmonis sangatlah penting.
Dalam psikologi perkembangan dijelaskan bahwa di setiap masa
perkembangan anak ada yang disebut dengan tugas atau moment-moment
perkembangan. Tugas atau moment ini harus dilalui untuk membentuk perkembangan
fisik , psikis, intelegensi dan emosional anak.
Pada awalnya, anak-anak tumbuh dan berkembang di dalam
tempat yang terbatas yaitu rumah. Maka di dalam tempat yang mula dan terbatas
inilah pribadi anak dibentuk terutama oleh hubungan ayah dan ibunya bersama
mereka. Pada perkembangannya, hubungan
keluarga menentukan pola sikap dan perilaku seseorang kelak dengan orang lain.
Memang anak bertambah besar dan bertambah pergaulan, tapi apa yang diterima
ketika di rumah pertamanya sejak kecil itulah yang akan menetap sebagai dasar
kepribadian.
Hubungan keluarga sangat mempengaruhi hubungan sosial di
luar rumah. Pola peran dalam rumah akan dibawa ke pola peran di luar rumah.
Kekecewaan pada hubungan orang tua yang tidak harmonis bisa
menjadi alasan kenapa seseorang melakukan hal yang sama kelak meskipun dia
memiliki pengetahuan tentang keluarga yang harmonis dan mendambakannya.
Efek trauma akibat perceraian orang tua biasanya lebih besar
dari efek kematian. Perceraian menimbulkan rasa sakit dan tekanan emosi bahkan
acapkali juga celaan sosial. Efek perceraian sangat berpengaruh, khususnya
terhadap anak-anak. Memang ada anak-anak dari orang tua bercerai mampu
menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi, tapi dalam prosesnya lebih
berat dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari keluarga yang utuh. Bercerai sekali saja banyak hal dan kondisi yang perlu
disesuaikan dan diperbaiki, bisa dibayangkan apabila perceraian terjadi lebih
dari sekali.
Pada kasus teman saya di atas, ibu Najjah menambahkan
nampaknya ini yang sedang dialami oleh teman saya tersebut. Penampilan yang
rapi dan keren, ekonomi dan pekerjaan yang mapan serta latar belakang
keluarganya yang pengusaha kaya bisa menjadi pemicu eksternal teman saya itu
untuk melakukan hal-hal negatif dalam usahanya menutupi kegagalannya akibat
dari trauma masa kecilnya.
Tapi, di luar itu semua ibu Najjah mengatakan bahwa untuk
keluar dari keadaan itu diperlukan usaha ekstra keras dari diri teman saya
sendiri dan bantuan dari orang-orang di
sekelilingnya ataupun tenaga ahli. Seandainya teman saya mendapatkan pasangan
yang mampu memahami kondisi dirinya seperti itu dan berusaha membantu mengurai
kegagalan yang sudah dialaminya bisa diharapkan itu akan mengubah keadaan teman
saya.
Pelajaran hidup yang besar yang sering diabaikan ternyata berserakan di sekitar, baru terasa pentingnya manakala ada orang-orang terdekat yang mengalaminya. Semoga bermanfaat.
Tulisan yang bagus sekali, mba Winny. Pada kenyataannya, saya juga menemukan banyak kasus seperti di atas. Anak yg ortunya bercerai, kelak mereka juga sulit mempertahankan rumah tangga.
ReplyDeleteGood Opinion Mba :)
ReplyDeleteTapi terlepas dari semua itu, jika kita mampu memberikan pengertian mengapa kita bercerai kepada anak ketika mereka sudah dewasa, hal itu tak akan terjadi, tergantung si single parent tersebut membimbing dan memberikan pola pikir tentunya.
Saya yakin setiap single parent tak menginginkan perceraian. Keadaan dan takdirlah yang membuatnya menjadi single parent.
Menyembuhkan trauma masa kecil memang butuh usaha ekstra. Sayangnya, gak semua orang terdekat paham soal ini.
ReplyDeletesaya tahu bagaimana sulitnya itu.
Betul yang dikatakan mb Ani Berta, bila orangtua yang bercerai memberi pemahaman pada si anak, kemungkinan si anak mengalami hal yang sama yang terjadi pada ortunya kecil.
ReplyDeleteWaah, artikelnya siiip, layak muat nih di majalah wanita .
ReplyDeleteBeberapa kawanku yang kebetulan single parent perempuan, banyak yang hebat.
Mampu mengasuh anak sampai mandiri lahir batin, dan anak-anak tidak terkena imbas dari perceraian.
Bener bgt mba.. efek broken home itu jauh beda sm efek kematian orang tua.. meski sama2 ga pny ortu lengkap tp biasanya dr segi mental anak2nya ke depan itu beda ya
ReplyDeleteIya mbak... Semoga kita selalu diberikan kelancaran dlaam membina rumah tangga buat anak2 kita. Tapi kalau misalnya nggak juga dan orang tua harus berpisah, semoga kuat agar anak2 tetap kuat lahir batin
ReplyDeleteSetuju banget Mba. Apa yang dialami anak-anak saat kecil ngaruh banget ke nanti dia dewasanya bagaimana. Saya juga single parent Mba, meski bukan karena cerai/meninggal tapi karena pilihan, semoga anak saya ntar ngga trauma menikah ya.
ReplyDeleteTulisan yang bagus mba. Jadi PR orangtua menjaga keharmonisan. Bagi single parent bisa jadi wawasan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak.
ReplyDeleteInspiratif
ReplyDeletesmoga bisa menjadi bahan introspeksi diri
salam sehat dan sukses amin
yah saya setuju banget dengan ulasan mbak di atas itu. kehidupan anak-anak kedepannya memang penting banget. dan itu harus di barengi dengan keharmonisan keluarganya atau agar anak merasa nyaman terus dan memiliki keluarga yang hebat.
ReplyDeleteMbak Winny,kadang orang memandang sebuah perceraian dari sudut negatif.Agama manapun tdk ada yg menghendaki perceraian,namun byj faktor penyebabnya.Namun jika mmg trauma masa lalu broken heart tentunya itu bukan alasan utk menghancurkan RT nya kelak.Masa lalu bkn utk dikenang,krn kpn hari esok akan disongsong kl kita terpenjara oleh masa kalu
ReplyDelete