Judul Buku : Dari Gerobak Jadi Alphard
Penulis : Arie Gaspol
Penerbit : Digna Pustaka
ISBN : 978-602-1669-05-1
Jumlah halaman : 160
Harga : IDR 51000
Takdir memang tak selalu mengikuti kata hati, tapi siapa
menyangka takdir yang semula membuat Arie S Hariyanto harus melalui masa
kanak-kanaknya penuh dengan keprihatinan karena kemiskinan lambat laun berubah
seiring dengan kerja keras yang terus dipacunya karena tingginya cita-citanya
untuk membahagiakan ibu dan bapaknya.
Semula saya merasa bahasa pengantar yang digunakan untuk
menggambarkan tokoh Arie diri sang penulis sendiri terlalu “lebay” terutama saat mengucapkan
kata-kata ini di awal cerita :
“Perjalananku memang tak mudah, sulit bahkan harus mengalami
penolakan demi penolakan berkali-kali. Tetapi dalam darahku terlahir sebagai
seorang juara kehidupan.” (halaman 11)
Tapi, mengetahui kemudian bahwa Arie kecil di usia 5 tahun
sudah diajarkan dan bisa menanak nasi serta merapikan rumah sendiri saya mulai tergugah.
Jika kerja keras ini dilakukan oleh seorang anak mulai sejak usianya yang sekecil
itu maka kisah yang dimilikinya pastilah memang benar luar biasa.
Ya, Arie adalah tokoh utama di - Buku Dari Gerobak JadiAlphard ini, tumbuh dengan cara yang tak
biasa selayaknya anak-anak yang diasuh orang tua kandungnya. Ya, sejak masih di
usia 4 bulan, saat-saat seorang bayi membutuhkan kasih dan air susu ibunya, Arie
dibawa pergi sepasang suami istri tanpa seizin dan meninggalkan kesedihan
mendalam orang tua kandungnya di Tabanan, Bali.
Namun, nyatanya Arie diasuh oleh kedua orang tua yang
mengambilnya dari rumah kelahirannya di Tabanan itu dalam sepenuh kasih dan
sayang mereka sebagai orang tua kandungnya saja. Arie tak sedikitpun kehilangan
cinta orang tua karena bapak dan ibu angkatnya nyata mencintainya meski harus
bergelut dalam kesulitan hidup di setiap harinya. Bahkan saat Buang dan
Musamah mengembalikan Arie pada orang
tua kandungnya saat duduk di kelas 5 SD, Arie memilih kembali ke pangkuan orang tua angkatnya.
Arie teramat bangga dan mencintai ayah dan ibu angkatnya,
dalam buku – Dari Gerobak Jadi Alphard Arie Gaspol seringkali mengungkapkan rasa sayangnya kepada
mereka.
Masa-Masa Sulit
Terkisah, dalam Buku “Dari Gerobak Jadi Alphard” yang
merupakan rentetan pengalaman nyata ini diceritakan bahwa bapak angkat dari Arie
yang bernama Buang adalah seorang pedagang kecil di Banyuwangi yang setiap hari
mencari nafkah dengan berjualan es, sedang ibu angkatnya pun yang bernama
Musamah tak berbeda dalam menanggung beban ekonomi keluarga yang begitu berat
dengan berjualan peralatan rumah tangga.
Kadang jika dagangannya tak ada yang terjual, Musamah pun tak
bisa pulang karena tak punya ongkos dan apalagi uang untuk sekedar makan mereka
sekeluarga. Jika sudah begitu, maka
tinggallah Arie dalam kesedihan karena kehilangan pelukan Ibu semalam, sedang
rumah merekapun bukanlah rumah dalam arti yang wajar, karena sangat
sederhananya yang hanya bisa menolong mereka dari teriknya panas namun tak bisa
melindungi saat hari berhujan. Acapkali Arie mengungsi ke surau dekat rumah
untuk sekedar bisa tidur jika datang hujan besar menimpa rumah mereka yang telah
lapuk.
Mungkin kita sering memandang, namun belum tentu bisa
menghayati saat melihat pedagang-pedagang kecil berjualan di pinggiran jalan.
Di buku – Dari Gerobak Jadi Alphard ini kita diajak melihat lebih dekat
bagaimana sulitnya meski hanya untuk membayangkan akan makan apa esok hari. Arie
kecil sudah mengalami harus berjualan es dulu untuk bisa makan, berotak cerdas
tapi selalu cemas tak bisa ikut ujian karena belum bayaran, harus menjahit
sepatunya berkali-kali karena selalu jebol akibat 4 tahun tak punya sepatu lain
untuk menjadi ganti.
Penulis menarik perasaan pembaca begitu halus ke dalam iba
namun sekaligus juga haru dan bangga manakala memperlihatkan solidaritas
teman-teman Arie saat ia terancam tak bisa mengikuti ujian di SMP 7 Blitar.
Dengan sukarela teman-teman Arie menyisihkan uang jajan mereka untuk membantu
Arie membayar uang sekolahnya bahkan salah seorang temannya membujuk orang
tuanya agar pula turut menolong Arie. Saat-saat yang mengajarkan kita tentang
arti kebersamaan.
Namun, rupanya kesusahan tak menghentikan mimpi Arie untuk
bisa tetap bersekolah. Di usia yang masih belia, selepas lulus dari sekolah
dasar Arie hijrah ke Blitar demi menjemput impiannya bisa meneruskan belajar di
sekolah lanjutan pertama di sana. Sebuah keputusan yang besar dan berani untuk
ukuran seorang anak baru lulus SD mau berpisah dengan orang tua demi melanjutkan
pendidikannya.
Berada di Blitar dan tinggal bersama neneknya mbah Rusdi ,
Arie tetap harus memeras otak bagaimana caranya agar bisa bersekolah. Sama
sekali tak mengandalkan neneknya untuk membiayai sekolahnya karena Arie tahu
keadaannya. Beruntunglah, seorang pemilik surau bernama pak Bandi mengizinkannya
untuk tinggal di surau serta membiayai sekolahnya dengan kompensasi sepulang dari sekolah Arie harus membantunya di
rumah dan sore harinya mengajar mengaji anak-anak.
Selain membantu di rumah pak Bandi , Arie juga mau bekerja
menjadi pencuci mobil di waktu sengggangnya agar bisa mengirim uang kepada
ibunya di Banyuwangi. Demikian kehidupan itu ia jalani hingga lulus SMP dan
melanutkan ke SMK jurusan akuntansi. Masa remaja yang penuh perjuangan tak
selayaknya remaja-remaja pada umumnya yang mulai mengenal lawan jenis dan
berpacaran, Arie melintasi masa pendidikannya di SMK itu dengan kerja keras
tanpa sedikitpun kesempatan untuk bersenang-senang, hingga akhirnya mendapatkan
ijazah SMK dengan nilai terbaik.
Titik Balik
Selulus dari sekolah di SMK Negeri 02 Blitar, Arie mencoba
peruntungan nasibnya dengan melamar pekerjaan ke mana-mana. Namun, nyatanya
kebutuhan tak bisa menunggu nasib baik datang karena hasil interview selalu
memintanya untuk menunggu dan menunggu. Maka Arie memutuskan untuk juga melamar
pekeraan ke tempat sekolahnya dulu di SMP 7 Blitar. Beruntunglah karena
prestasinya selama bersekolah di sana Arie diterima menjadi pegawai
administrasi.
Banting tulang Arie dalam bekera selama bertahun-tahun sejak
usia kanak-kanaknya hingga remaja tak lepas dari cita-citanya ingin
membahagiakan orang tua angkatnya. Setiap saat lebaran tiba selalu
diusahakannya bisa pulang ke Banyuwangi menemui Bapak dan Ibu yang sangat
merindukannya. Maka demikian pun saat
ini, dimana ia telah menjadi seorang pemuda dengan penghasilan yang belum besar
tapi selalu ia usahakan agar bisa memberi orang tuanya uang sekedar untuk
membuat hati mereka senang.
Pada kepulangannya ke Banyuwangi kali ini Arie menemukan Ibu
Musamah mulai sakit-sakitan, dan mendapat kabar yang mengguncang hatinya dan
tentu saja termasuk sang bapak Bujang dan ibunya sendiri manakala dokter
menyatakan Ibu angkat yang dihormati dan dikasihinya mengidap kanker payudara. Dengan
penghasilan di tangan yang masih terbatas Arie berjuang dengan segenap daya
demi kesembuhan ibunya. Penyakit yang diderita Ibu membuat Arie bertekad untuk
mencari penghasilan tambahan dan cita-citanya menjadi seorang pengusaha semakin
kuat, saat itulah ia membaca peluang untuk mendapatkan uang dengan cara yang
cepat dengan menjadi seorang agen asuransi.
Pada mulanya kemampuan Arie sebagai agen asuransi diragukan
bahkan oleh atasannya sendiri karena hingga berbulan-bulan usahanya tak
mendapatkan hasil yang memuaskan. Arie sendiri menanggung beban pikiran yang
semakin besar karena ia sadar penyakit ibunya membutuhkan biaya pengobatan yang
besar. Hingga memasuki bulan ketiga
atasannya mengatakan bahwa ia tidak cocok bekerja di bidang asuransi yang
meruntuhkan kepercayaan dirinya.
Dengan hati yang luka, Arie mencoba bertahan dan meyakinkan
dirinya bahwa ia bisa melalui semuanya. Ia melihat betapa semakin sulitnya
orang miskin ketika mereka sakit maka ia lalu bertekad untuk menembus kesulitan
itu hingga pada akhirnya ia mengubah strateginya dengan menjual asuransi secara
door to door sampai ia bertemu dengan nasabah pertamanya seorang dokter yang
mau membeli untuk beberapa anggota keluarganya.
Betapa bahagianya Arie
mendapati keberhasilan di depan matanya dan demikian terus menerus hingga
hampir semua pengusaha toko, pejabat dan dokter-dokter di Blitar mempercayainya
sebagai agen asuransi di tahun 1990. Arie sukses mendapatkan angka penjualan
asuransi yang melalmpaui target hingga berhak atas komisi yang besar yang
kemudian membuatnya bisa membeli kendaraan roda dua bahkan lalu roda empat.
Ariepun bahkan mengembangkan peluang bisnisnya hingga ke Banyuwangi tempat di
maana orang tua angkatnya tinggal.
Seiring dengan penghasilannya yang semakin meningkat Arie
pun memboyong orang tuanya dari Banyuwangi ke Blitar agar ia dapat lebih
berkonsentrasi pada pegobatan ibunya. Ada moment yang teramat menyentuh hati
dan mengharukan saat bapak dan ibu angkat Arie mengetahui Arie sudah bisa
membelikan mereka rumah di Blitar. Hal yang selama hidup mereka tak terpikir
dan tak terbayangkan.
Yup hidup memang pilihan, sesuai dengan yang tertulis di
buku – Dari Gerobak Jadi Alphard ini, Arie memilih bekerja keras di saat muda dan terbebas di
hari tuanya. Selama 27 tahun bergelut di dunia asuransi banyak hal yang sudah
dicapainya, bahkan sesuatu yang tak pernah dibayangkannya di masa kecil dan
remajanya, yaitu bisa memiliki mobil impiannya: Toyota Alphard di peluncuran
pertamanya.
Buku yang memeras hati dan sangat menginspirasi di setiap
halamannya, menjadi penyemangat yang pas sekali untuk siapapun yang ingin
mendapatkan keberhasilan. Saya pribadi memberikan apresiasi yang tinggi kepada
mas Arie Gaspol sang penulis yang menjadi dirinya sendiri di dalam bukunya ini
sebagai inspirator hebat bagi pembacanya. Kiranya sukses dan keberkahan hidup
semoga selalu menaunginya. Aamiin.
Saya termasuk yang awalnya meremehkan buku ini. Dari sampulnya yang menurut saya "biasa saja" hingga akhirnya termehek - mehek menangis. Bukunya kereeen!
ReplyDeleteseru ya kisah perjuangan seorang agen asuransi begitu. Ada banyak yang suskes dan ada banyak yang menyerah di tengah jalaaan.. Looh?
ReplyDeleteJadi pengen beli bukunya, inspiratif banget isinya. Penuh perjuangan banget kehidupannya
ReplyDelete