Jadikan orang yang bersikap buruk sebagai guru - Suatu hari, seorang teman pernah bertanya opini kami teman-temannya yang isinya kira-kira seperti
ini :
“Apa yang kamu
lakukan saat orang lain memandangmu dengan pandangan merendahkan (under
estimate / menganggapmu tak bisa apa-apa, atau kemampuanmu kurang bagus dsb ?”
Dan banjir komentar pun datang, rata-rata menjawab bahwa
mereka akan diam saja dan menganggapnya angin lalu, atau merasa gusar tapi tak
bereaksi negatif sambil terus fokus pada apa yang sedang dikerjakan dan dikejar.
Kali yang lain, ada juga curhatan seorang teman yang cukup
sering mengeluhkan seorang atasan perempuannya yang kerap membuatnya kesal
karena dirasa selalu mempersulitnya. Saya jadi teringat sebuah mitos tentang
bagaimana menyebalkannya atasan perempuan apalagi kalau atasan itu seorang yang
masih single wah wah bener nggak ya ?
Dianggap kecil atau rendah bagi sebagian besar orang memang
sesuatu yang tak mengenakkan, membuat rasa percaya diri berkurang bahkan hancur
hingga rasa tak nyaman yang terus menerus yang puncaknya bisa saja menumbuhkan
keinginan untuk mundur dari pertemanan atau resign dari pekerjaan.
Perasaan, memang hal abstrak yang dimiliki manusia yang
paling halus dan sulit dikendalikan karena ia sangat tergantung pada sudut
pandang seseorang dalam mensikapi sesuatu. Dan ini seringkali menjadi pangkal
persoalan manakala seseorang melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang
negatif.
Kembali ke pertanyaan teman saya di awal yang ingin mendengar
jawaban kawan-kawannya jika merasa dipandang under estimate oleh orang lain. Menurut
saya, masalahnya adalah pada pertanyaan itu sendiri. Yakni mengapa harus merasa
dipandang sebelah mata oleh orang lain ?
Mengapa merasa dipandang rendah, dipandang kurang mampu, dipandang segala nggak bisa oleh orang lain ? Apakah kita sudah memastikan bahwa orang yang kita anggap memandang rendah kita itu memang sungguh-sungguh melihat kita dengan cara pandang seperti itu ? Atau jangan-jangan benar, itu hanya perasaan kita sendiri.
Mengapa merasa dipandang rendah, dipandang kurang mampu, dipandang segala nggak bisa oleh orang lain ? Apakah kita sudah memastikan bahwa orang yang kita anggap memandang rendah kita itu memang sungguh-sungguh melihat kita dengan cara pandang seperti itu ? Atau jangan-jangan benar, itu hanya perasaan kita sendiri.
Oke, baiklah anggap saja orang lain menganggap kita “kecil”,
tak kompeten dsb, so what ? orang-orang bebas dengan pikirannya sebagaimana
kita pernah dan selalu bebas dengan persangkaan-persangkaan kita tentang mereka
bukan ? Entahpun persangkaan itu salah ataupun benar.
Menata pikiran dan hati, menurut saya adalah persoalan banyak
orang dan mungkin termasuk diri saya sendiri. Tapi mungkin saya boleh sedikit
berbagi di sini, pengalaman saat masa sekolah dulu.
Dulu, saya pernah bergabung dengan satu organisasi remaja
yang aktif di bidang seni dan olah raga. Adalah seorang teman baru perempuan
saya di situ yang dari sejak awal saya masuk acap menampakkan sikap yang kurang
ramah.
Sebagai orang baru di tempat itu saya tak ingin punya persoalan dengan siapapun, maka saya mencoba mengatur setting default pikiran saya pada mode “positif”, memandang semua orang di sana secara asyik dan tak berusaha mencari tahu apa dan kenapa orang koq jutek sama saya.
Saya fokus saja pada tugas-tugas saya dan berusaha menjadikan diri saya sering-sering bersama teman-teman lain yang lebih ramah, lebih jenaka dan menyenangkan tanpa meninggalkan teman saya yang agak jutek tadi hehe.
Sebagai orang baru di tempat itu saya tak ingin punya persoalan dengan siapapun, maka saya mencoba mengatur setting default pikiran saya pada mode “positif”, memandang semua orang di sana secara asyik dan tak berusaha mencari tahu apa dan kenapa orang koq jutek sama saya.
Saya fokus saja pada tugas-tugas saya dan berusaha menjadikan diri saya sering-sering bersama teman-teman lain yang lebih ramah, lebih jenaka dan menyenangkan tanpa meninggalkan teman saya yang agak jutek tadi hehe.
Gampang ? mm nggak juga ya, rasanya gimanaaa gitu kalau kita
tanya lalu dicuekin, kita mau bantu terus ditolak. Tapi, saya yakin dia itu
sebenarnya baik, dan saya kagum dengan kepandaiannya membuat kue.
Di beberapa event bazaar ataupun charity yang melibatkan dia saya selalu berusaha ikut dan berada di teamnya, mencoba untuk bisa lebih akrab dan menjadikannya “guru”, saya pelajari kepandaiannya membuat kue, kecerdasannya memecahkan masalah dan kehebatannya menyetir mobil. Dari sana saya jadi punya bahan untuk bertanya, jadi punya bahan obrolan dan akhirnya benar-benar akrab seakrab-akrabnya, sampai-sampai saya sering menjadi tempat curhat kisah pribadinya.
Di beberapa event bazaar ataupun charity yang melibatkan dia saya selalu berusaha ikut dan berada di teamnya, mencoba untuk bisa lebih akrab dan menjadikannya “guru”, saya pelajari kepandaiannya membuat kue, kecerdasannya memecahkan masalah dan kehebatannya menyetir mobil. Dari sana saya jadi punya bahan untuk bertanya, jadi punya bahan obrolan dan akhirnya benar-benar akrab seakrab-akrabnya, sampai-sampai saya sering menjadi tempat curhat kisah pribadinya.
Jika melihat ceritanya yang hanya dua paragraf tentu
pengalaman saya ini tak berasa apa-apa, tapi saya sendiri yang mengalami
prosesnya selama berbulan-bulan hingga tahun merasakan sendiri bagaimana
senangnya menjadi sahabat orang yang dulu membenci kita. Benci ? ya, sahabat
saya ini ternyata dulu pernah agak benci sama saya karena teman dekatnya sempat
naksir saya ahaha, padahal saya yakin itu juga cuma prasangka dia aja.
So, semua berawal dari pikiran kita, bagaimana kita memandang
sebuah kejadian. Kejadian yang menyenangkan ataupun sebaliknya kita mau pandang
dengan menggunakan kaca mata yang mana? Positif apa negatif ?
Jika kita selalu menggunakan kaca mata yang negatif, maka hasilnya adalah prasangka buruk, dan setiap prasangka buruk pasti akan memunculkan sikap yang tidak baik yang akhirnya akan membawa kita pada tindakan-tindakan yang tak simpatik bahkan buruk dan tak sepantasnya.
Jika kita selalu menggunakan kaca mata yang negatif, maka hasilnya adalah prasangka buruk, dan setiap prasangka buruk pasti akan memunculkan sikap yang tidak baik yang akhirnya akan membawa kita pada tindakan-tindakan yang tak simpatik bahkan buruk dan tak sepantasnya.
Lain jika yang selalu kita pasang adalah kaca mata positif.
Positive mind akan membuat perasaan kita juga nyaman, hadapi kesulitan sebagai
tantangan bukan masalah yang harus dikeluhkan, memandang orang lain juga jadi asyik
asyik aja, tak terlalu menyeramkan bahkan enak untuk diajak bekerja sama.
Kadang saya belajar dari orang-orang yang justru
dianggap “ndablek” oleh orang lain. Orang-orang yang sering nampak cuek dengan
kata-kata dan anggapan manusia-manusia di sekelilingnya. Selama dia yakin apa
yang dikerjakannya adalah benar dan demi kepentingan orang banyak yang lebih
besar dia terus saja tak pedulikan kata orang. Bahkan meski orang-orang itu
sampai mencela dan menghina dina dirinya.
Saya mengagumi kekokohan sikap tegar dan ketabahan
orang-orang semacam ini, karena saya melihat fenomena seperti yang sering
terlihat di media sosial sekarang misalnya, orang cenderung mudah saling mengutuk hanya
karena tersinggung, karena kesal, karena gusar kepada sesamnya.
Orang mudah mengeluarkan kata-kata mulai dari yang halus tapi bernada sindiran sampai nyinyiran dan kemarahan. Padahal, belum tentu juga apa yang ia umbar dan ungkapkan itu akan mendapat solusinya juga di sana. Alih-alih mendapat jalan keluar persoalan, ia bahkan jadi dikenal sebagai orang dengan karakter yang kurang indah.
Orang mudah mengeluarkan kata-kata mulai dari yang halus tapi bernada sindiran sampai nyinyiran dan kemarahan. Padahal, belum tentu juga apa yang ia umbar dan ungkapkan itu akan mendapat solusinya juga di sana. Alih-alih mendapat jalan keluar persoalan, ia bahkan jadi dikenal sebagai orang dengan karakter yang kurang indah.
So, dari sesempit sudut pandang saya, sebelum menganggap
orang lain berpandangan tak baik kepada kita ada baiknya dahulukan dulu
mengatur mindset kita pada posisi ‘Husnudzhan’ alias berprasangka baik. Jikapun
orang lain itu benar menunjukkan hal-hal tak enak, selama orang itu masih punya
hal-hal positif lain, bisa coba cara saya untuk menjadikannya guru kehidupan
kita alias curi ilmunya #Nah.
Tapi itu sih pendapat saya aja. Bagaimana dengan kamu ?
Sepertinya aku termasuk salah satu yang "ndableg" itu haha! :v
ReplyDeleteHem, beberapa kali mengalami saat diunder estimate sama seseorang beberapa saat kemudian malah kita bisa berteman baik. Semua berawal dari prasangka buruk. Pantas saja kita tidak boleh berprasangka buruk karena akibatnya bisa salah sangka.
ReplyDeleteIri, dengki, atau sirik itu seperti api yang membakar kayu. Menggerogoti jiwa raga.
ReplyDeleteLebih baik memperbanyak syukur agar hidup lebih tenteram.
Salam hangat dari Surabaya
Disepelekan sama orang lain pernah laaaah...sering malah hehe...
ReplyDeleteDimaki dan dikatain gayung di blog sendiri juga pernaah bhahaha...
Tapi emang iya sih, semuanya sebaiknya dicerna dulu baik2 dan dijadikan amunisi supaya kita bisa lebih baik lagih :))
Kadang dia begitu karena belom saling kenal juga. Jadi dipelajari sifatnya, lama2 kita jadi paham. Jadi kalem saja.
ReplyDeleteBelajar bersikap positif itu memang perlu latihan terus menerus ya Mba Win,,
ReplyDeleteKadang-kadang aku malah menikmatinya, saat diunderestimated sama seseorang, hehehe
ReplyDeleteDalam arti, biar sajalah diunderestimated, aku akan tunjukkan, kalau aku not bad, begituhh
kalau aku mah selalu aku incar dan cari kelemahannya... yah walaupun aku tahu kalo yg aku lakuin ini kesalahan juga tapi ya namanya lagi di hina..
ReplyDelete