Thursday, October 3, 2013

Yang Lebih Tinggi Dari Cinta

May mengelus lembut rambut lelaki itu, memandang kelopak matanya yang pejam dan sudut bibir yang tersenyum damai. Ingin membangunkannya, dan menatap kembali danau menyejukkan di kedalaman tatapannya. Namun May tak kuasa, ia hanya menitiskan air mata.

Dulu ia tak percaya, taqdir kan mengikuti kata hati. Namun rupanya, kali ini hasratnya beriringan dengan ketetapan langit. Begitu saja, serupa kedipan mata, semudah tersenyum, tiba-tiba Dzaky hadir dalam hidupnya. Rupawan dan kemapanan lelaki itu tak membuatnya terjebak dalam haru biru cinta semu.

Dzaky bukan seperti lelaki kebanyakan yang ia kenal. Yang membuatnya putus asa memaknai kasih sekaligus kesetiaan. Cinta Dzaky sesederhana fajar pagi, selalu menawarkan asa, bahwa semua akan baik-baik saja.

"Gak apa-apa sayang. Luka seperti ini biasanya enggak lama. Dinda tak akan ingat, tahu-tahu sudah sembuh saja. Jangan difikirkan terlalu dalam, kasihan Abang sudah rindu ingin lihat senyum dinda tanpa masker oksigen itu"

Kata-kata meneduhkan dituturkan Dzaki  dalam nada pelan yang diiring renyah tawa khasnya. Sikap yang membuat May lupa, bahwa saat itu ia tengah disergap penyakit yang menyerang sistem pertahanan tubuhnya yang membuat kedua kakinya layu, tak berdaya menopang tubuhnya. Dan sejak itu, setiap ia terjatuh sakit, selalu Dzaky berada di sisinya. May tak bisa menghitungnya, yang ia tahu, dirinya membawa hari-hari pernikahannya dengan Dzaky penuh dengan aroma rumah sakit dan obat-obatan.

Suatu kali, May tak tahan tuk berkesah mengeluhkan sakitnya, dan khawatirkan cinta belasan tahun mereka bersama penyakit dan kesunyian tanpa buah hati belahan jiwa. Hingga terucap izinnya bagi kekasihnya seperti yang dituturkannya :

"Jika abang menghendaki, silakan abang mencari yang terbaik untuk dijadikan istri"

Kata-kata yang membuat Dzaki terdiam dalam getar hatinya yang ombak. Direnanginya palung dalam bola mata istri yang tulus dicintainya. Diraihnya lembut jemari May yang penuh bakti kepadanya dalam segenap keterbatasannya. Dzaki lirih berkata bersama kejujurannya.


"Siapa yang terbaik itu ? Tak ada yang terbaik untuk abang selainmu. Allah sendiri yang merancang cinta kita. Tak satupun yang diciptakanNYA sia-sia. DIA tak kan buat cinta dan kesetiaanku melemah dan hilang hanya karena penyakitmu. Aku mencintaimu karena Allah. Cinta kita berhulu dan bermuara kepadaNYA."

May mulai terisak, diusapnya kening Dzaky nan bercahaya kearifan. Taqdir adalah rahasia Allah, hampir sepanjang pernikahan mereka Dzaky selalu mendampingi duka dan luka dalam berat penyakitnya, siapa menduga, dia juga yang lebih dahulu dijemputNYA.

"Sudah kusimpan cinta kita di tempat paling terjaga, abang. Di hatiku. Kan kita buka kelak jika kita kembali berjumpa. Tunggu dinda di syurga ya bang".

May mengecup ujung jemarinya, lalu dilekatkan jejaknya pada senyum yang tersemat di bibir Dzaki. Bersama derai air mata yang menganak sungai di pipinya yang pualam. Hingga sebuah sentuhan dan bisikan ibunya di telinga menyadarkannya.

"Nak, sabarlah sayang. Jenazah akan dishalatkan."

#Dalam hidup, terkadang ada yang lebih tinggi dari cinta.

Bogor, 13 Juli 2013