Wednesday, June 12, 2013

Dalam Naungan Awan




 Surabaya, 6 Desember, 17.10
 Kereta senja mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun Surabaya. Mata Kapten Bhirawa nanap mjenatap keluar jendela, memandang gemawan yang berarakan, serupa naungan dari kapas ditiup bayu di bulan Desember.

Setengah jam lalu awan-awan itu masih berwarna keperakan, kini perlahan menjingga diantara rona biru langitnya. Setiap ia menatap mega-mega, hati marinir bermata teduh ini lindap pada sesosok bayangan berparas lembut dengan lengkung sabit pada senyum diantara dekik di kedua pipinya. Hana namanya. Sebuah nama sederhana yang telah lama bersemayam didalam sukmanya. Beberapa jam lagi akan ditemuinya separuh jiwanya itu, entah seperti apa nanti rasanya , perwira muda ini tak berani menerka.

 Hana, gadis yang telah dekat kepadanya selama ini. Bukan dekat dalam ruang yang bisa saling memandang, bukan dekat dalam ceruk yang bisa saling memeluk, ini tentang rasa yang telah melebur segala sekat. Hanya sebentuk smartphone dan sebentang frekuensi yang menjadi loka perjumpaan maya mereka selama enam bulan terakhir. Kadang serius, kadang tertawa, kadang merajuk, kadang memanja. Aah, siapa bisa tak terbuai cinta ?


Kenangan Bhirawa hinggap pada masa satu tahun yang lalu saat ia pertama berkesempatan berbincang dengan gadis itu. 

"Aku suka memperhatikan mereka"

 tutur Hana saat Bhirawa bertanya mengapa gadis itu sering ia dapati sedang merenungi cakrawala saat senja di geladak kapalnya.  

"Kenapa ?"

 lembut Kapten Bhirawa bertanya. Hana tersenyum, rambut di keningnya  berkelebat dipermainkan pawana senja. Dalam lirih, Hana berujar : 

"Karena awan itu lembut dan indah kapten, tapi dalam rahim mereka menyimpan kekuatan. Awan itu ibu dari 
petir dan hujan. Aku ingin jadi perempuan seperti itu , lembut tetapi kuat".

 Bhirawa terpana, "The Smiling Capten' itu orang yang terbiasa dengan cuaca seperti apapun, terbiasa dengan angin, terbiasa dengan hujan, bahkan dengan badai dan gelombang lautan. Tapi ia tak pernah mendengar seseorang berbicara seperti Hana.


Bandung, 7 Desember, 06.12

Bhirawa memanggul ranselnya di pundak dan melangkah dengan cepat, seakan tak ingin kehilangan walau sedetik waktunya untuk sampai kepada  bidadari yang ditujunya. Ia mencegat sebuah taxi, dan meminta sopirnya mengantarnya pada sebuah alamat di belahan utara kota Bandung. Masih disimpannya secarik kertas dari Hana, sehelai surat cinta dari kekasihnya yang menjadi alasannya kini bergegas hendak menjumpainya.

Kau tahu mas, betapa cintaku padamu. Jangan pernah ragukan itu. 

Tapi aku tak bisa janjikan impian kita terwujud. 
Ini bukan tentang kamu, ini tentang diriku yang belum bisa kusampaikan sebabnya padamu. Tapi kuyakin, suatu hari nanti kau akan mengerti.
Aku hanya akan terus mencintaimu disini, dimanapun dan sampai kapanpun. "


-Hana--


Kapten Bhirawa berdiri tegak di teras rumah nan asri dan sejuk dengan banyak jendela itu. Sebuah rumah sederhana namun berpekarangan cukup luas. 

Dalam hening, dilihatnya beraneka rupa kupu-kupu beterbangan diantara bunga-bunga yang sedang rekah di halaman. Mata Bhirawa melihat ke sekeliling rumah dan halaman, tiada nampak sesiapa barang seorang.

Dalam getar hatinya, ditekannya bel rumah yang tersemat di kusen pintu bercat putih itu. Beberapa detik menunggu, seakan berbulan-bulan lamanya penantian. 

Namun akhirnya pintu terbuka, seraut wajah wanita paruh baya muncul dibaliknya.Sejenak Bhirawa terpana, namun seketika hatinya meyakini wanita ini adalah ibunda Hana, sangat jelas kemiripan tertera di parasnya. 

Mata sepuh itu menatapnya dengan pandangan penuh tanda tanya, namun tak sampai sekian detik, tiba-tiba wanita itu merangkulnya dalam tangisan. 

"Bhirawa, kamu Bhirawa Nak ?."

Lalu wanita itu tersedu, dalam deru dadanya, sang ibu bertutur :

"Hana sudah meninggal dunia Nak. Sebulan yang lalu. Dia ingin sekali bertemu denganmu, tapi Hana tak ingin merusak harapanmu. Kanker darah semakin buat dia lemah. Semua pesan bbm-mu Ibu bacakan untuknya, dan anak itu hanya bisa meneteskan air mata. Dia mencintaimu Nak".

 Kapten Bhirawa tiba-tiba lunglai, semesta terasa menjadi kelam, dan dunia berubah senyap. 

Ditatapnya sebuah arah yang ditunjuk jemari ibunda Hana. Pusara kekasihnya. Terhampar anggun seperti jasad yang terbaring didalamnya. Pusara yang teduh dinaungi awan-awan yang dahulu dicintainya. 




Terkadang, seseorang pergi bukan karena ia tak mau bersamamu. Melainkan karena ia tak bisa. 



Monday, June 3, 2013

Lelaki Yang Baik Untuk Rara

Berkali-kali Melly memeriksa jam yang melingkar di lengannya yang bertulang ramping, sudah hampir satu jam menanti di mesjid kampus berarsitektur indah itu, namun Rara belum jua nampak. Tak sampai satu jam lagi ia harus sudah menemui sesama teman panitia untuk mempersiapkan seminar keputrian yang diselenggarakan unit kemahasiswaan Salman ini.

Melly memperhatikan gemerisik dedaunan yang meliputi reranting pohon di sekitar pelataran mesjid itu, ia selalu menyukai teduh dan sepoi angin yang disebabkannya. Dan ia selalu memilih sudut ini untuk bertemu dengan sesiapa yang hendak bertemu dengannya. Sebagai bagian dari rohis kampus yang santun, lembut dan berparas ayu, Melly tak pelak menjadi salah satu tempat curhat paling favorite adik-adik mahasiswinya.

"Assalamu'alaikum Kak"

Tiba-tiba satu sentuhan di pundaknya mengejutkannya, Melly menoleh ke arah suara yang lembut menyapanya.

"Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh sayang"

Saling memeluk dan bersentuhan pipi, Melly merasakan hal yang tak seperti biasanya. Diperhatikannya mata Rara yang sembab. Kantung matanya menunjukkan kelelahan yang sangat.

"Hmm, ada yang chat lagi ni semalam, hati-hati lhooo hehehe"

Rara menjulurkan lidahnya kepada Melly, namun rona merah jambu yang tetiba muncul di pipinya membuat Melly semakin ingin menggodanya.

"Mana coba, kakak mau lihat fotonya. Udah tiga bulan lho kamu curhat, masa kakak gak boleh tahu orangnya sih ?"

Rara menggelengkan kepalanya, raut wajahnya berubah sendu.

"Akupun tak begitu tahu Kak, terkadang aku ragu-ragu. Banyak hal yang buat aku aku penasaran tapi apa dayaku, tak bisa menilainya cuma dari postingannya atau fotonya kan. Tapi aku yakin dia orangnya baik"

Melly mengernyitkan alisnya yang tebal, mulutnya membentuk palung yang indah di kedua sudutnya.

"Kalau kakak si, nggak percaya cinta di dunia maya dek, kamu hati-hati aja ya sayang".

Rara menoleh, diperhatikannya sang aisyah di kampusnya yang dikenal lembut namun tegas ini kembali menekuni program di layar laptopnya..

"Kenapa Kak ?, maya atau nyata cinta ya cinta Kak. Ada di perasaan kita kan ?"

"Ya itu kan kamu dek, Kakak sih nggak, boleh kan kita beda ?" Melly menunjukkan deretan giginya yang rapi, kepada Rara tersenyum lucu.

"Kalo Rara masih percaya Kak, buktinya kak Syifa dan kak Muller dari Jerman ketemunya di dumay juga kan ?" Rara menyebut nama teman mereka yang telah menikah dua bulan yang lalu.

"Ya, mereka salah satu pasangan yang baik. Nanti deh kita cerita so'al itu. Sekarang Kakak mau tanya, darimana kamu tahu kalau dia itu orang yang baik dek ?" Melly mencoba mengembalikan percakapan pada "khittah"nya.

"Yaa baiklah Kak, kan keliatan dari kata-katanya, perhatiannya."

Melly mengangguk-anggukan kepalanya, lalu matanya mengerling ke arah langit-langit masjid.

"Mmm gitu ya ...,"

"Iih Kakak kayak yang gak percaya gitu deh."

"Lalu, kenapa koq status-statusmu selalu menggalau dek, hehehe?" Melly mencolek lengan Rara pelan.

Rara meringis, entah mengapa jemarinya tiba-tiba ingin menggaruk hidungnya yang tak gatal.

"Hehe yaa kan itu cuma status Kak" Rara mencoba beralibi.

"Mmm jadi cuma status yaaa" Melly terus menggoda

"Iyaaaa ....." Rara menutup kedua telinganya.

"Itu salah satu alasan Kakak tak percaya cinta dunia maya"

"Lhooo, eh Kak, itu Kak Syifa sama kak Muller ampe nikah gara-gara dumay lho Kak. Aku siap koq kayak mereka"

Melly, menghentikan gerakan jemarinya di tuts laptopnya, menatap adik kelas yang akhir-akhir ini dekat dan sering berbagi cerita padanya.

"Jadi kamu berencana menikah dengannya dek ?"

Rara terkesiap, matanya menatap bola di kelopak Melly nanap

"Belum sejauh itu lah Kak.Tapi aku yakin dia laki-laki yang baik" Rara terdiam sejenak, lalu melanjutkan ucapannya.

"Mmm, Kak, katanya wanita yang baik itu, untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik itu untuk wanita yang baik. Semoga dia juga laki-laki yang baik ya Kak, kan aku juga perempuan yang baik ya, tul gak ?"

Rara mengedip-ngedipkan matanya yang indah kepada Melly, ganti Melly yang menjulurkan lidahnya kepada Rara.

"Kakak harap begitu dek" dan kembali Melly memperhatikan layar laptopnya.

"Iiiihhh, kakak kalo diajak ngomong cuek deh, bikin aku tambah kepo. Komen dong Kak."

Hati Melly geli melihat wajah Rara menekuk serupa kertas yang baru diremas.

"Komen apa si dek ?"

"Yang tadiii, laki-laki yang baik untuk wanita yang baik dan sebaliknya ituuuhhh" jawab Rara gemas.Membuat Melly terkekeh.

"Ya, itu kan rumus. Tuhan sudah merumuskan begitu. Tapi, kenyataannya belum tentu begitu kalau salah memprosesnya sayang. Gak selalu, perempuan baik sepertimu akan dapat lelaki yang baik juga, begitu"

"Salah memproses gimana maksudnya Kak ?" nada suara Rara memelan, seolah tak ingin suaranya didengar semut yang melintas di jendela perlahan.

"Kamu tuh mahasiswi fakultas MIPA, kura-kura dalam perahu ya" Melly memijit hidung Rara penuh sayang. "Maksudku, begini dek,  uhuk ... Melly pura-pura terbatuk.
"Kalo misalnya, kamu baru pulang ke rumah jam 12 malam, dimarahi ayah gak dek ?"

Rara mengangguk :"Iya lah Kak, kecuali kalo memang jelas keperluannya dan ada temennya"

"Hmm, kira-kira kenapa ya ayahmu marahin kamu kalo pulang jam segitu ?"

"Yaa, aku kan perempuan Kak, nggak baik keliaran malam-malam, nanti ada yang jail atau jahatin aku gimana"

Kini Melly menatap mata Rara dalam-dalam :

"Hmm, apa ayah juga memarahimu kalo kamu berkeliaran di dunia maya tengah malam dek ?"

Tiba-tiba Rara tertunduk :
"Aku mengerti maksudmu kak"

Melly menatap gadis berkerudung lembut itu dan berkata lirih :

"Itu cuma pemisalan.Mungkin bukan so'al dunia maya atau nyatanya ya dek, tapi pada sejauh mana kita bisa menempatkan diri. Batasan Tuhan itu sebetulnya untuk menjaga kita ya dek, supaya kita bisa tetap berada dalam fithrahNYA. Wanita yang baik akan bertemu laki-laki yang baik kalau bertemu di tempat yang baik dan pada waktu yang baik juga. Begitu juga sebaliknya. Hormatilah dirimu sendiri, nanti orang lainpun kan menghormatimu. Ini bukan tentang dia atau siapapun yang akan jatuh cinta kepadamu , ini tentangmu sendiri yang akan menjadi tempat berlabuh seseorang yang terbaik dalam hidupmu. Kamu tak akan dapatkan cinta dan kesetiaan dari orang yang hanya menjadikanmu pembunuh rasa sepinya. Jika bosan melandanya, dicarinya pembunuh kesepian selainmu. Ada baaanyaaak sekali tanda-tanda lelaki yang baik dari Tuhan"

"Apa aja itu tanda-tanda lelaki yang baik itu Kak ?"

Melly mendekat dan berbisik di telinga gadis yang sudah seperti adiknya sendiri itu lama sekali. Dan sesaat kemudian Rara pun tersenyum. Melly mendekap Rara erat dan lirih bertutur :

"Pastikan dia lelaki yang baik untukmu ya dek. Yang menghormatimu. Tak usah kamu hiraukan apa yang dia ucap atau tuliskan dalam janji-janjinya. Lelaki yang mudah mengumbar janji dan rayuan padamu, tak sulit mengumbarnya juga untuk perempuan yang lain. Hatimu hanya satu, berikan dia pada lelaki yang hanya menyerahkan jiwa dan raganya hanya untukmu"

Rara membalas dekapan Melly erat, ada hangat yang menelusup ke dadanya setiap ia memeluk aisyahnya lekat. Namun tiba-tiba Rara melepas pelukannya :

"Ini bukan pengalaman pribadi kan Kak ? hehehehe ...Kakak curcol ni yee"

Melly terkesiap, mata bulatnya membelalak.
"What ? idih, Kakak udah ada yang punya lha yaa" Melly menjelih.

"Ah curcol deh kayaknya" tukas Rara, kakinya bersiap mengambil langkah seribu.

"Raraa ... apaan sih ?"

Melly hendak mencubit hidung Rara, tapi gadis itu terlanjur mengambil langkah sejuta. Meninggalkan senyum di sudut bibir bak mawar itu. Seiring desir angin Salman menerpa matanya nan sayu.