Surabaya, 6 Desember, 17.10
Kereta senja mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun Surabaya. Mata Kapten Bhirawa nanap mjenatap keluar jendela, memandang gemawan yang berarakan, serupa naungan dari kapas ditiup bayu di bulan Desember.
Setengah jam lalu awan-awan itu masih berwarna keperakan, kini perlahan menjingga diantara rona biru langitnya. Setiap ia menatap mega-mega, hati marinir bermata teduh ini lindap pada sesosok bayangan berparas lembut dengan lengkung sabit pada senyum diantara dekik di kedua pipinya. Hana namanya. Sebuah nama sederhana yang telah lama bersemayam didalam sukmanya. Beberapa jam lagi akan ditemuinya separuh jiwanya itu, entah seperti apa nanti rasanya , perwira muda ini tak berani menerka.
Hana, gadis yang telah dekat kepadanya selama ini. Bukan dekat dalam ruang yang bisa saling memandang, bukan dekat dalam ceruk yang bisa saling memeluk, ini tentang rasa yang telah melebur segala sekat. Hanya sebentuk smartphone dan sebentang frekuensi yang menjadi loka perjumpaan maya mereka selama enam bulan terakhir. Kadang serius, kadang tertawa, kadang merajuk, kadang memanja. Aah, siapa bisa tak terbuai cinta ?
Kenangan Bhirawa hinggap pada masa satu tahun yang lalu saat ia pertama berkesempatan berbincang dengan gadis itu.
"Aku suka memperhatikan mereka"
tutur Hana saat Bhirawa bertanya mengapa gadis itu sering ia dapati sedang merenungi cakrawala saat senja di geladak kapalnya.
"Kenapa ?"
lembut Kapten Bhirawa bertanya. Hana tersenyum, rambut di keningnya berkelebat dipermainkan pawana senja. Dalam lirih, Hana berujar :
"Karena awan itu lembut dan indah kapten, tapi dalam rahim mereka menyimpan kekuatan. Awan itu ibu dari
petir dan hujan. Aku ingin jadi perempuan seperti itu , lembut tetapi kuat".
Bhirawa terpana, "The Smiling Capten' itu orang yang terbiasa dengan cuaca seperti apapun, terbiasa dengan angin, terbiasa dengan hujan, bahkan dengan badai dan gelombang lautan. Tapi ia tak pernah mendengar seseorang berbicara seperti Hana.
Bandung, 7 Desember, 06.12
Bhirawa memanggul ranselnya di pundak dan melangkah dengan cepat, seakan tak ingin kehilangan walau sedetik waktunya untuk sampai kepada bidadari yang ditujunya. Ia mencegat sebuah taxi, dan meminta sopirnya mengantarnya pada sebuah alamat di belahan utara kota Bandung. Masih disimpannya secarik kertas dari Hana, sehelai surat cinta dari kekasihnya yang menjadi alasannya kini bergegas hendak menjumpainya.
Bhirawa terpana, "The Smiling Capten' itu orang yang terbiasa dengan cuaca seperti apapun, terbiasa dengan angin, terbiasa dengan hujan, bahkan dengan badai dan gelombang lautan. Tapi ia tak pernah mendengar seseorang berbicara seperti Hana.
Bandung, 7 Desember, 06.12
Bhirawa memanggul ranselnya di pundak dan melangkah dengan cepat, seakan tak ingin kehilangan walau sedetik waktunya untuk sampai kepada bidadari yang ditujunya. Ia mencegat sebuah taxi, dan meminta sopirnya mengantarnya pada sebuah alamat di belahan utara kota Bandung. Masih disimpannya secarik kertas dari Hana, sehelai surat cinta dari kekasihnya yang menjadi alasannya kini bergegas hendak menjumpainya.
Kau tahu mas, betapa cintaku padamu. Jangan pernah ragukan itu.
Tapi aku tak bisa janjikan impian kita terwujud.
Ini bukan tentang kamu, ini tentang diriku yang belum bisa kusampaikan sebabnya padamu. Tapi kuyakin, suatu hari nanti kau akan mengerti.
Tapi aku tak bisa janjikan impian kita terwujud.
Ini bukan tentang kamu, ini tentang diriku yang belum bisa kusampaikan sebabnya padamu. Tapi kuyakin, suatu hari nanti kau akan mengerti.
Aku hanya akan terus mencintaimu disini, dimanapun dan sampai kapanpun. "
-Hana--
Kapten Bhirawa berdiri tegak di teras rumah nan asri dan sejuk dengan banyak jendela itu. Sebuah rumah sederhana namun berpekarangan cukup luas.
Dalam hening, dilihatnya beraneka rupa kupu-kupu beterbangan diantara bunga-bunga yang sedang rekah di halaman. Mata Bhirawa melihat ke sekeliling rumah dan halaman, tiada nampak sesiapa barang seorang.
Dalam getar hatinya, ditekannya bel rumah yang tersemat di kusen pintu bercat putih itu. Beberapa detik menunggu, seakan berbulan-bulan lamanya penantian.
Dalam getar hatinya, ditekannya bel rumah yang tersemat di kusen pintu bercat putih itu. Beberapa detik menunggu, seakan berbulan-bulan lamanya penantian.
Namun akhirnya pintu terbuka, seraut wajah wanita paruh baya muncul dibaliknya.Sejenak Bhirawa terpana, namun seketika hatinya meyakini wanita ini adalah ibunda Hana, sangat jelas kemiripan tertera di parasnya.
Mata sepuh itu menatapnya dengan pandangan penuh tanda tanya, namun tak sampai sekian detik, tiba-tiba wanita itu merangkulnya dalam tangisan.
"Bhirawa, kamu Bhirawa Nak ?."
Lalu wanita itu tersedu, dalam deru dadanya, sang ibu bertutur :
"Hana sudah meninggal dunia Nak. Sebulan yang lalu. Dia ingin sekali bertemu denganmu, tapi Hana tak ingin merusak harapanmu. Kanker darah semakin buat dia lemah. Semua pesan bbm-mu Ibu bacakan untuknya, dan anak itu hanya bisa meneteskan air mata. Dia mencintaimu Nak".
Kapten Bhirawa tiba-tiba lunglai, semesta terasa menjadi kelam, dan dunia berubah senyap.
"Bhirawa, kamu Bhirawa Nak ?."
Lalu wanita itu tersedu, dalam deru dadanya, sang ibu bertutur :
"Hana sudah meninggal dunia Nak. Sebulan yang lalu. Dia ingin sekali bertemu denganmu, tapi Hana tak ingin merusak harapanmu. Kanker darah semakin buat dia lemah. Semua pesan bbm-mu Ibu bacakan untuknya, dan anak itu hanya bisa meneteskan air mata. Dia mencintaimu Nak".
Kapten Bhirawa tiba-tiba lunglai, semesta terasa menjadi kelam, dan dunia berubah senyap.
Ditatapnya sebuah arah yang ditunjuk jemari ibunda Hana. Pusara kekasihnya. Terhampar anggun seperti jasad yang terbaring didalamnya. Pusara yang teduh dinaungi awan-awan yang dahulu dicintainya.
Terkadang, seseorang pergi bukan karena ia tak mau bersamamu. Melainkan karena ia tak bisa.