Wednesday, May 15, 2013

Selembar Pengertian


"Bundaaa .... ini adek berisik bundaaa, aku jadi nggak konseenn ..." terdengar suara teriakan Fahry dari ruang tengah memanggil manggil ibunya.

Ima masih mengaduk-aduk nasi yang baru matang di rice cooker agar lebih tanak, tubuhnya gesit kesana kemari, memindahkan sayur dari dalam panci ke dalam mangkuk besar, memindahkan piring-piring dan gelas ke atas meja makan, merapihkan dapur bekas memasak, tak diperdulikannya keringat yang telah mengembun di dahinya karena udara panas di dapur yang mengepungnya.

"Bundaaaa ..... adek nakal bundaaaa ..."

Fahry berteriak kembali dengan suara yang lebih kencang karena menimpali suara kaleng yang dipukul bertalu-talu oleh Idzhar adiknya yang masih berusia 4 tahun.

Ima melepas kain memasak dari pinggangnya yang ramping, lalu buru-buru menghampiri si kecil Idzhar yang sibuk menabuh genderang mainan sambil mulutnya yang mungil menyanyikan entah lagu apa. Diraihnya Idzhar ke atas pangkuannya :

"Sayang, yuk mainnya di kamar Bunda, kesian abang kan lagi belajar" tutur Ima lembut lalu bangkit menjauhkan putra bungsunya dari Fahry yang terus menekuni pekerjaan rumahnya dari sekolah.

Belum sampai ke kamarnya tiba-tiba kaki Ima menyentuh cairan yang licin di lantai, tubuhnya terhuyung sejenak sampai tangannya berhasil mencengkram pegangan pintu di dekatnya :

"Astaghfirullah ..., apa ini ?"

Diperhatikannya cairan yang membuatnya hampir membahayakan diri dan anaknya Idzhar tadi. Rupanya tumpahan sabun kental mainan Delisa putri sulungnya yang tadi belum sempat dibersihkannya karena sibuk memasak. Dilihatnya si sulung sedang asyik menemani temannya yang berkunjung di ruang depan, tak ingin ia mempermalukan putrinya dengan memarahinya di depan temannya. Biarlah nanti Delisa ia nasehati di waktu yang tepat.

Meski Delisa anak yang paling tua, namun usianya yang masih kanak-kanak tak mengizinkannya untuk melarangnya bermain, meski permainan gelembungan Delisa ini sering membuatnya terkesal karena sering tumpah ke lantai seperti ini.

Sesudah menyimpan Idzhar di atas sofa, dipungutnya gelas plastik wadah sabun gelembungan Delisa, dibuangnya ke dalam tempat sampah di dapur, lalu diambilnya lap kering di atas jemuran untuk mengeringkan dan membersihkan bekas tumpahan itu.

Tiba-tiba, pandangannya berkunang-kunang, dengan sisa tenaga yang ada, dicarinya sofa untuk kemudian terhempas diatasnya. Menikmati denging yang lembut melintas di pendengarannya, menarik nafasnya dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan. Sementara Idzhar di sampingnya mulai merengek mencari pelukannya.

Dalam masih samar pandangannya, ditatapnya jarum jam yang terus bergerak. Ah ya, waktu makan siang sudah berlalu lebih dari setengah jam. Ima harus menyuapi Idzhar, sedang Fahry dan Delisa pun nampaknya belum beranjak dari aktivitasnya semula untuk makan.

Dalam keadaan seperti itu, Ima hanya bisa menenangkan hatinya dengan al-fatihah kecintaanya, membacanya berulang-ulang dalam bisik di ruang hatinya. Penyakit pusing kepalanya yang acapkali datang tak terduga, dihadapinya dengan hanya meneguk air bening saja, itu sudah cukup memulihkannya.

Hingga waktu beranjak, dan haripun menyenja, Ima masih menyempatkan mempercantik diri. Ia senang Raditya suaminya pulang dalam keadaan ia telah wangi dan segar. Tak diizinkannya anak-anak bertengkar di hadapan ayah mereka yang lelah dari menjemput rezeky mereka. Karenanya, secantik apapun penampilannya sesudah mandi petang, mestilah Ima harus terus bekerja merapihkan jejak aktivitas anak-anak, walau hanya sekedar menyapu atau membenahi kertas-kertas terserak.

"Ayaaaaaahhhh pulaaanngggg ....... !!!!"

Serempak Fahry dan Idzhar berteriak kala mendengar suara kendaraan ayahnya menderum lembut di garasi. Saling mendahului keduanya berlari menemui ayah. Ayah selalu membawa pulang sesuatu yang seru dalam pandangan mereka, entah itu sekotak roti yang sengaja tak ia makan dalam rapat di kantor, entah itu permainan baru yang didownload di laptopnya, atau hanya sekedar candaannya saja. Entahlah, rasanya ayah selalu membuat anak-anak ceria.

Ima mencium punggung tangan Raditya lembut, di tangannya secangkir teh hangat menebarkan aroma yang menghangatkan hati. Lalu seperti biasa menggiring anak-anak untuk kembali :

"Ayo Fahry, teruskan mengajinya nak"

Tak sabar rasanya ingin ia duduk berdua dan menyampaikan banyak hal kepada suaminya. Namun Ima menahan keinginannya. Raditya nampak kelelahan. Dibiarkannya suaminya menyesap tehnya sambil bercengkrama dengan Idzhar di depan televisi.

Sedang Ima membereskan buku-buku yang bertebaran di atas permadani, tiba-tiba Idzhar menangis, mencoba merebut buku bergambar yang sedang dipegang Fahry. Sementara Fahry tak ingin mengalah dipertahankannya buku itu dengan terus membacanya tak perduli tangisan adiknya. Delisa yang merasa terganggu dengan tangisan Idzhar mengomeli adiknya :

"Duuuuh, kasih aja kenapa sih ? adek jadi nangis tuuuh" rutuk Delisa kepada Fahry. Fahry yang merasa tak punya perso'alan dengan Delisa tersinggung.

"Apaan sih ? kakak ikutan marah-marah. Aku belum selesai baca ini tauu ...!

""Huuuhhh" Delisa mendelik, sementara Idzhar semakin keras menangis.

Ima mencoba menenangkan anak-anak, dilihatnya suamiinya tak bergeming, terus menekuni pekerjaannya di layar komputer, seakan tak terpengaruh oleh suasana gaduh disekelillingnya.Dalam kelelahan raganya, Ima terus membangun suasana, melerai anak-anak agar lebih tenang, namun ia tak kuasa menahan benteng didalam hatinya sendiri, di sudut matanya mulai bertitisan bening airnya. Rasa lelah itu membuat bathinnya lebih cepat retak. Diam-diam ia mengusap air matanya, sungguh ia tak ingin anak-anak menyaksikan kelemahan hatinya, dibawanya gundah itu ke dalam kamarnya.

Berbaring pada harum dan lembut bantalnya sedikit melipur kesedihannya. Tak lama, Raditya muncul di pintu kamar, menatapnya lama, dan menghampiri. Diusapnya ikal rerambut yang menutup kening bening istrinya :

"Dinda kenapa ? koq nangis ?" Raditya hafal benar sifat istrinya apabila sedang seperti ini.
Ima hanya menggelengkan kepalanya dan semakin menelusupkan wajahnya ke dalam bantal, membuat Raditya tersenyum memandang istrinya merajuk.

"Hmm, sedang cari si sabar ya dibawah bantal ?"  tanya Raditya menggoda sambil menggelitik pinggang istrinya. Ima menggelinjang kegelian, ditepisnya tangan suaminya. Raditya lalu memijit lembut pundak istrinya, ia tahu beban yang dipikul wanita yang dicintainya itu tak ringan. Menjadi seorang istri dan ibu adalah hal termahal yang telah dipilih Ima, dan semua orang tahu, itu berarti cinta dan pengorbanan selamanya.

"Dinda istirahatlah kalau sudah lelah, nanti anak-anak biar abang yang hadapi. O. K ?"  ujar Raditya dengan mimik muka lucu, alis matanya bertaut dan bibir terkatup, digulungnya lengan bajunya tinggi-tinggi, seolah akan menyapu sarang laba-laba diatas awan dan mengepel lautan.

Ima tak tahan untuk tak merasa geli hati. Meski masih ingin menampakkan kemanjaan, namun ia ingin menghargai candaan suaminya.

Tiba-tiba, denting bel pintu rumah mereka bersuara, tanda ada orang hendak singgah. Raditya menempelkan telunjuk tangannya pada bibirnya sejenak.

"Siapa tuh ? Abang liat dulu ya"

Ima mengangguk pelan, masih tak bersuara, ditatapnya punggung Raditya menjauh. Ada sunyi di hatinya, namun gelora itu telah reda.






No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah singgah di Goresanku ya ^_^