Thursday, May 9, 2013

Epilog Rumah Sunyi

Lagu itu mengalun lagi di bilik pendengarannya, mengingatkannya pada perjalanan panjang 15 jam ke timur Jawa. Membayang di pelupuk pandangannya, lelambai padi di pesawahan, atau paduan rona ungu dan dan jingga saat senja disejauh mata memandang. Dari jendela kereta ia bisa menatap anak-anak mengayuh sepeda mereka atau jejeran rumah-rumah berdinding bata. Tiba-tiba, asyik lamunannya pecah.

"Sudah kau lihat lagi rumah itu Nak ?"

"Tak usahlah Bu. Aku sudah tak ingin lagi melihatnya"
Ratri tertunduk menatap cangkir berisi teh hangat yang diseduhkan ibunya membentuk lingkaran-lingkaran kecil disaput uap tipis yang mengantarkan kepadanya aroma melati yang khas. Diaduknya pelan isi cangkir itu sambil memasukkan dua bongkah kecil gula batu

"Kenapa begitu ? kamu sudah bersusah payah membangunnya, masak mau kamu tinggal begitu saja Nak ?"

"Rumah itu terlalu sunyi Bu. Aku merasa asing didalamnya. Jarang ada tetangga." Ratri mencoba berdalih.

"Kan lama-lama juga tetangga bakalan bertambah Tri"

"Nggak apa-apa Bu, biar nanti aku minta orang disana mengurusnya"

Ibu menatap Ratri dalam-dalam, tak mengerti apa yang tengah berkecamuk di benaknya, tapi Ibu tahu ada yang bergejolak di hatinya.

"Ya sudah, minumlah tehmu, nanti keburu dingin lho" Ibu mengusap lembut pundaknya, ada getar aneh yang Ratri rasakan. Getar yang menghangatkan hatinya, disetiap Ibu menyentuhnya.

Ratri menatap sosok ibunya yang berjalan membawa nampan kembali ke arah dapur. Ingin digapainya, agar Ibu tetap disisinya, namun perempuan sepuh itu seperti ditelan ombak di selat Sunda.

Tiba-tiba ia melihat sekelilingnya tak sebagai ruang makan di rumah Ibunya. Ini ruang tamu rumah yang belum lama dibelinya.

"Dan ponsel itu, hei ... bukankah itu ponsel milik Arya ?" Ponsel itu tergeletak begitu saja di atas sofa.
Ratri menolehkan kepala, mengarahkan pandang memutari ruangan, namun tak ada Arya disana. Mungkin dia  sedang memeriksa pekarangan rumah itu, atau berbincang sejenak dengan calon tetangga mereka.

Tiba-tiba, ada suara bedenting-denting dari arah ponsel itu. Berkali-kali berdenting, namun Arya tak kunjung datang. Ratri meraih ponsel itu perlahan, diperiksanya siapa yang memanggil Arya di ponselnya.

Oh rupanya hanya SMS. Disya ? Siapa Disya ? Nama itu tak pernah diceritakan Arya kepadanya, padahal ia mengenal hampir semua teman lelaki itu. Ratri semakin curious, dibukanya pesan terkirim itu. Ada deretan isi percakapan dalam display , dan ditelusurinya perlahan.

Disya :
"Tolong jangan paksa aku menjawabnya"
19.35 / Des. 13,

Arya :
"OK, silakan diam dan pergi, tapi jangan harap aku akan meninggalkanmu !"
19. 47 / Des, 13

Ratri tercenung, seperti pertengkaran dua sejoli. Namun ia berusaha menepisnya, dibacanya lagi kelanjutan percakapan itu :

Disya :
"makasih bunganya ya"
23.11 / Des, 15

Sepertinya mereka sudah berbaikan kembali.


Arya :
"Apapun, akan kuberikan untukmu, sayang :)"
23.20 / Des, 15


List percakapan itu masih panjang, namun rasanya Ratri telah tak mampu menopang tubuhnya lagi, tiba-tiba lemas tak berdaya. Di rumah sunyi yang mereka berdua bangun dan hampir selesai itu seluruh kekuatan bathinnya limbung. Hingga suara gagah Arya dibelakangnya menegurnya pelan :


"Dek, ada apa ? kok mukamu pucat ?"


Ratri tercekat, tak sanggup menjawab. Rinai di matanya mulai nampak dan ia berjalan mundur mencoba menjauh dari gapaian tangan lelaki itu.


"Nak, koq nggak dihabiskan tehnya ? sudah dingin tuuh"
Suara Ibu membelah kesunyian, Ratri terkesiap dari lamunan, diusapnya sedikit air mata yang tak bisa ditahannya, lalu ia segera meraih cangkirnya dan menyeruput sebagian isinya. Bibirnya yang mawar lengkungkan senyuman kepada wanita sepuh  yang dicintainya itu, lalu bertutur :

"Yuk Bu, bukannya Ibu mau ke rumah tante Vina nengok anaknya yang sakit ? Biar Ratri yang antar" Ratri menunjukkan dan memutar-mutar kunci mobilnya dihadapan Ibu. Ibu mengangguk riang dan berkata :

"Ayuk, kalo begitu Ibu ganti baju dulu ya Nak"
Ratri mengangguk, senyumnya lebih manis dari bulan sabit senja itu. Tak kan ia biarkan hati Ibu dan hatinya menyendu, karena sebuah peristiwa di rumah sunyi nan biru.





# Sebuah Fiksi

Bogor, 8 Mei 2013

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah singgah di Goresanku ya ^_^