Thursday, May 23, 2013

Orang Baik

Orang baik
Mengapa orang baik sering tersakiti ?
Karena orang baik selalu mendahulukan orang lain dalam ruang kebahagiaannya.
Ia tak menyediakan untuk dirinya sendiri kecuali hanya sedikit.

Mengapa orang baik kerap tertipu ?
Karena orang baik selalu memandang orang lain tulus seperti dirinya
Ia tak menyisakan sedikitpun prasangka bahwa orang yang ia pandang penyayang mampu mengkhianatinya

Mengapa orang baik acap dinista ?
Karena orang baik tak pernah diberi kesempatan membela dirinya.
Ia hanya harus menerima, meski bukan dia yang memulai perkara

Mengapa orang baik sering menitiskan air mata ?
Karena orang baik tak ingin membagi pedih hatinya
Ia terbiasa mengobati sendiri lukanya, dan percaya bahwa suatu masa Tuhan kan mengganti kesedihannya

Namun orang baik tak pernah membenci yang melukainya
Karena ia selalu memandang bahwa diatas semua, Tuhanlah hakikatnya
Jika Tuhan yang menggiringnya, bagaimana ia akan mendebat kehendakNYA
Itu sebabnya orang baik tak memiliki almari dendam dalam kalbunya

Jika kau buka laci-laci dihatinya, akan kau temukan hanya cinta yang dimilikinya.

*Kamu pasti orang yang baik itu :-)






Tuesday, May 21, 2013

Bidadari Syurgaku

Yasmin masih menguntai tasbih di jemari, kelopak matanya yang dibingkai alis bak semut beriring terpejam mengawal wirid yang terus melafal di basah lisannya. Menikmati syahdu dzikir diantara lambaian tudungnya yang dipermainkan angin yang menelusup diantara pilar-pilar masjid Nabawi. Sesekali disibaknya kerudung yang menggoda halus pipinya. Sedang suara qari' melantunkan ayat-ayat suci yang mengalun dari seluruh sudut menara mengusap-usap hatinya nan sendu.

Tiada yang mampu mengusik tadzakurnya, sampai suara berat seseorang membangunkan khusyuknya. Suara seorang pria di sudut timur dari tempat ia duduk. Pada mulanya hanya serupa gumam namun rupanya itu suara seseorang sedang menyampaikan taujihnya pada sekelompok jama'ah. Yasmin menggeser posisi duduknya mendekat pada dinding pilar. Ditutupnya kitab al-qur'an kecil yang selalu dibawanya kemana ia pergi. Mengasah pendengarannya, mencoba menangkap apa yang sedang disampaikan. Adalah hal teramat berharga bagi wanita bermata bak purnama ini mendapat cucuran ilmu di negeri para nabi, meski harus ia jala diam-diam.

Semakin lama semakin dalam, Yasmin merasa dibawa pada negeri tak bernama. Hatinya bagai disentuh salju yang meluruhkan bening air matanya. Meruntuhkan seluruh sudut kesombongan yang ia sebut ketegaran. Sungguh, seakan sebuah anak panah telah dilesatkan dari sebelah timur tempatnya berdiam, tepat di hatinya terdalam.

Wednesday, May 15, 2013

Seuntai Rasa

Hanya gugusan bintang-bintang
Entah kali keberapa kumemandang
Dan selalu serindu ini
Mungkin karena terlalu rupawannya
Atau mungkin karena kumerasa menemukanmu setiap menatapnya

Ada sunyi yang tak senyap
Ada dingin yang menghangatkan hati
Serupa daun yang didekap bayu
Tak kuasa melihat, namun ia lekat
Larut dalam tautan nan pekat

Ada senyuman yang tanpa alasan
Ada penantian yang harapkan entah
Serupa musik tanpa lirik 
 Hanya nada dan rima

Namun aku hanya bumi
Dan kamu adalah asterix yang tersenyum di langit paling sunyi
Kita tertabir selapis jarak dan waktu
Entah kamu siapa
Tak tahu kamu dimana

Bagaimana kau bisa menemukanku
Sedang aku hanya sebutir debu di bentang langitmu
Selamanya aku hanya bayangan pada batas pandangmu
Dan kamu adalah pertanyaan tak terjawabku

Hanya gugusan bintang-bintang
Entah sampai kapan kumemandangnya
Mungkin untuk selamanya
Karena kutak ingin kehilangan rindu
Yang menjalin jarak ribuan tahun cahaya
Yang menyulam masa berjuta windu

Hanya seuntai rasa
Di bawah naungan kartika nan berkedipan di langit senja 

 Illustrasi dari sini




Selembar Pengertian


"Bundaaa .... ini adek berisik bundaaa, aku jadi nggak konseenn ..." terdengar suara teriakan Fahry dari ruang tengah memanggil manggil ibunya.

Ima masih mengaduk-aduk nasi yang baru matang di rice cooker agar lebih tanak, tubuhnya gesit kesana kemari, memindahkan sayur dari dalam panci ke dalam mangkuk besar, memindahkan piring-piring dan gelas ke atas meja makan, merapihkan dapur bekas memasak, tak diperdulikannya keringat yang telah mengembun di dahinya karena udara panas di dapur yang mengepungnya.

"Bundaaaa ..... adek nakal bundaaaa ..."

Fahry berteriak kembali dengan suara yang lebih kencang karena menimpali suara kaleng yang dipukul bertalu-talu oleh Idzhar adiknya yang masih berusia 4 tahun.

Ima melepas kain memasak dari pinggangnya yang ramping, lalu buru-buru menghampiri si kecil Idzhar yang sibuk menabuh genderang mainan sambil mulutnya yang mungil menyanyikan entah lagu apa. Diraihnya Idzhar ke atas pangkuannya :

"Sayang, yuk mainnya di kamar Bunda, kesian abang kan lagi belajar" tutur Ima lembut lalu bangkit menjauhkan putra bungsunya dari Fahry yang terus menekuni pekerjaan rumahnya dari sekolah.

Belum sampai ke kamarnya tiba-tiba kaki Ima menyentuh cairan yang licin di lantai, tubuhnya terhuyung sejenak sampai tangannya berhasil mencengkram pegangan pintu di dekatnya :

"Astaghfirullah ..., apa ini ?"

Diperhatikannya cairan yang membuatnya hampir membahayakan diri dan anaknya Idzhar tadi. Rupanya tumpahan sabun kental mainan Delisa putri sulungnya yang tadi belum sempat dibersihkannya karena sibuk memasak. Dilihatnya si sulung sedang asyik menemani temannya yang berkunjung di ruang depan, tak ingin ia mempermalukan putrinya dengan memarahinya di depan temannya. Biarlah nanti Delisa ia nasehati di waktu yang tepat.

Meski Delisa anak yang paling tua, namun usianya yang masih kanak-kanak tak mengizinkannya untuk melarangnya bermain, meski permainan gelembungan Delisa ini sering membuatnya terkesal karena sering tumpah ke lantai seperti ini.

Sesudah menyimpan Idzhar di atas sofa, dipungutnya gelas plastik wadah sabun gelembungan Delisa, dibuangnya ke dalam tempat sampah di dapur, lalu diambilnya lap kering di atas jemuran untuk mengeringkan dan membersihkan bekas tumpahan itu.

Tiba-tiba, pandangannya berkunang-kunang, dengan sisa tenaga yang ada, dicarinya sofa untuk kemudian terhempas diatasnya. Menikmati denging yang lembut melintas di pendengarannya, menarik nafasnya dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan. Sementara Idzhar di sampingnya mulai merengek mencari pelukannya.

Dalam masih samar pandangannya, ditatapnya jarum jam yang terus bergerak. Ah ya, waktu makan siang sudah berlalu lebih dari setengah jam. Ima harus menyuapi Idzhar, sedang Fahry dan Delisa pun nampaknya belum beranjak dari aktivitasnya semula untuk makan.

Dalam keadaan seperti itu, Ima hanya bisa menenangkan hatinya dengan al-fatihah kecintaanya, membacanya berulang-ulang dalam bisik di ruang hatinya. Penyakit pusing kepalanya yang acapkali datang tak terduga, dihadapinya dengan hanya meneguk air bening saja, itu sudah cukup memulihkannya.

Hingga waktu beranjak, dan haripun menyenja, Ima masih menyempatkan mempercantik diri. Ia senang Raditya suaminya pulang dalam keadaan ia telah wangi dan segar. Tak diizinkannya anak-anak bertengkar di hadapan ayah mereka yang lelah dari menjemput rezeky mereka. Karenanya, secantik apapun penampilannya sesudah mandi petang, mestilah Ima harus terus bekerja merapihkan jejak aktivitas anak-anak, walau hanya sekedar menyapu atau membenahi kertas-kertas terserak.

"Ayaaaaaahhhh pulaaanngggg ....... !!!!"

Serempak Fahry dan Idzhar berteriak kala mendengar suara kendaraan ayahnya menderum lembut di garasi. Saling mendahului keduanya berlari menemui ayah. Ayah selalu membawa pulang sesuatu yang seru dalam pandangan mereka, entah itu sekotak roti yang sengaja tak ia makan dalam rapat di kantor, entah itu permainan baru yang didownload di laptopnya, atau hanya sekedar candaannya saja. Entahlah, rasanya ayah selalu membuat anak-anak ceria.

Ima mencium punggung tangan Raditya lembut, di tangannya secangkir teh hangat menebarkan aroma yang menghangatkan hati. Lalu seperti biasa menggiring anak-anak untuk kembali :

"Ayo Fahry, teruskan mengajinya nak"

Tak sabar rasanya ingin ia duduk berdua dan menyampaikan banyak hal kepada suaminya. Namun Ima menahan keinginannya. Raditya nampak kelelahan. Dibiarkannya suaminya menyesap tehnya sambil bercengkrama dengan Idzhar di depan televisi.

Sedang Ima membereskan buku-buku yang bertebaran di atas permadani, tiba-tiba Idzhar menangis, mencoba merebut buku bergambar yang sedang dipegang Fahry. Sementara Fahry tak ingin mengalah dipertahankannya buku itu dengan terus membacanya tak perduli tangisan adiknya. Delisa yang merasa terganggu dengan tangisan Idzhar mengomeli adiknya :

"Duuuuh, kasih aja kenapa sih ? adek jadi nangis tuuuh" rutuk Delisa kepada Fahry. Fahry yang merasa tak punya perso'alan dengan Delisa tersinggung.

"Apaan sih ? kakak ikutan marah-marah. Aku belum selesai baca ini tauu ...!

""Huuuhhh" Delisa mendelik, sementara Idzhar semakin keras menangis.

Ima mencoba menenangkan anak-anak, dilihatnya suamiinya tak bergeming, terus menekuni pekerjaannya di layar komputer, seakan tak terpengaruh oleh suasana gaduh disekelillingnya.Dalam kelelahan raganya, Ima terus membangun suasana, melerai anak-anak agar lebih tenang, namun ia tak kuasa menahan benteng didalam hatinya sendiri, di sudut matanya mulai bertitisan bening airnya. Rasa lelah itu membuat bathinnya lebih cepat retak. Diam-diam ia mengusap air matanya, sungguh ia tak ingin anak-anak menyaksikan kelemahan hatinya, dibawanya gundah itu ke dalam kamarnya.

Berbaring pada harum dan lembut bantalnya sedikit melipur kesedihannya. Tak lama, Raditya muncul di pintu kamar, menatapnya lama, dan menghampiri. Diusapnya ikal rerambut yang menutup kening bening istrinya :

"Dinda kenapa ? koq nangis ?" Raditya hafal benar sifat istrinya apabila sedang seperti ini.
Ima hanya menggelengkan kepalanya dan semakin menelusupkan wajahnya ke dalam bantal, membuat Raditya tersenyum memandang istrinya merajuk.

"Hmm, sedang cari si sabar ya dibawah bantal ?"  tanya Raditya menggoda sambil menggelitik pinggang istrinya. Ima menggelinjang kegelian, ditepisnya tangan suaminya. Raditya lalu memijit lembut pundak istrinya, ia tahu beban yang dipikul wanita yang dicintainya itu tak ringan. Menjadi seorang istri dan ibu adalah hal termahal yang telah dipilih Ima, dan semua orang tahu, itu berarti cinta dan pengorbanan selamanya.

"Dinda istirahatlah kalau sudah lelah, nanti anak-anak biar abang yang hadapi. O. K ?"  ujar Raditya dengan mimik muka lucu, alis matanya bertaut dan bibir terkatup, digulungnya lengan bajunya tinggi-tinggi, seolah akan menyapu sarang laba-laba diatas awan dan mengepel lautan.

Ima tak tahan untuk tak merasa geli hati. Meski masih ingin menampakkan kemanjaan, namun ia ingin menghargai candaan suaminya.

Tiba-tiba, denting bel pintu rumah mereka bersuara, tanda ada orang hendak singgah. Raditya menempelkan telunjuk tangannya pada bibirnya sejenak.

"Siapa tuh ? Abang liat dulu ya"

Ima mengangguk pelan, masih tak bersuara, ditatapnya punggung Raditya menjauh. Ada sunyi di hatinya, namun gelora itu telah reda.






Thursday, May 9, 2013

Epilog Rumah Sunyi

Lagu itu mengalun lagi di bilik pendengarannya, mengingatkannya pada perjalanan panjang 15 jam ke timur Jawa. Membayang di pelupuk pandangannya, lelambai padi di pesawahan, atau paduan rona ungu dan dan jingga saat senja disejauh mata memandang. Dari jendela kereta ia bisa menatap anak-anak mengayuh sepeda mereka atau jejeran rumah-rumah berdinding bata. Tiba-tiba, asyik lamunannya pecah.

"Sudah kau lihat lagi rumah itu Nak ?"

"Tak usahlah Bu. Aku sudah tak ingin lagi melihatnya"
Ratri tertunduk menatap cangkir berisi teh hangat yang diseduhkan ibunya membentuk lingkaran-lingkaran kecil disaput uap tipis yang mengantarkan kepadanya aroma melati yang khas. Diaduknya pelan isi cangkir itu sambil memasukkan dua bongkah kecil gula batu

"Kenapa begitu ? kamu sudah bersusah payah membangunnya, masak mau kamu tinggal begitu saja Nak ?"

"Rumah itu terlalu sunyi Bu. Aku merasa asing didalamnya. Jarang ada tetangga." Ratri mencoba berdalih.

"Kan lama-lama juga tetangga bakalan bertambah Tri"

"Nggak apa-apa Bu, biar nanti aku minta orang disana mengurusnya"

Ibu menatap Ratri dalam-dalam, tak mengerti apa yang tengah berkecamuk di benaknya, tapi Ibu tahu ada yang bergejolak di hatinya.

"Ya sudah, minumlah tehmu, nanti keburu dingin lho" Ibu mengusap lembut pundaknya, ada getar aneh yang Ratri rasakan. Getar yang menghangatkan hatinya, disetiap Ibu menyentuhnya.

Ratri menatap sosok ibunya yang berjalan membawa nampan kembali ke arah dapur. Ingin digapainya, agar Ibu tetap disisinya, namun perempuan sepuh itu seperti ditelan ombak di selat Sunda.

Tiba-tiba ia melihat sekelilingnya tak sebagai ruang makan di rumah Ibunya. Ini ruang tamu rumah yang belum lama dibelinya.

"Dan ponsel itu, hei ... bukankah itu ponsel milik Arya ?" Ponsel itu tergeletak begitu saja di atas sofa.
Ratri menolehkan kepala, mengarahkan pandang memutari ruangan, namun tak ada Arya disana. Mungkin dia  sedang memeriksa pekarangan rumah itu, atau berbincang sejenak dengan calon tetangga mereka.

Tiba-tiba, ada suara bedenting-denting dari arah ponsel itu. Berkali-kali berdenting, namun Arya tak kunjung datang. Ratri meraih ponsel itu perlahan, diperiksanya siapa yang memanggil Arya di ponselnya.

Oh rupanya hanya SMS. Disya ? Siapa Disya ? Nama itu tak pernah diceritakan Arya kepadanya, padahal ia mengenal hampir semua teman lelaki itu. Ratri semakin curious, dibukanya pesan terkirim itu. Ada deretan isi percakapan dalam display , dan ditelusurinya perlahan.

Disya :
"Tolong jangan paksa aku menjawabnya"
19.35 / Des. 13,

Arya :
"OK, silakan diam dan pergi, tapi jangan harap aku akan meninggalkanmu !"
19. 47 / Des, 13

Ratri tercenung, seperti pertengkaran dua sejoli. Namun ia berusaha menepisnya, dibacanya lagi kelanjutan percakapan itu :

Disya :
"makasih bunganya ya"
23.11 / Des, 15

Sepertinya mereka sudah berbaikan kembali.


Arya :
"Apapun, akan kuberikan untukmu, sayang :)"
23.20 / Des, 15


List percakapan itu masih panjang, namun rasanya Ratri telah tak mampu menopang tubuhnya lagi, tiba-tiba lemas tak berdaya. Di rumah sunyi yang mereka berdua bangun dan hampir selesai itu seluruh kekuatan bathinnya limbung. Hingga suara gagah Arya dibelakangnya menegurnya pelan :


"Dek, ada apa ? kok mukamu pucat ?"


Ratri tercekat, tak sanggup menjawab. Rinai di matanya mulai nampak dan ia berjalan mundur mencoba menjauh dari gapaian tangan lelaki itu.


"Nak, koq nggak dihabiskan tehnya ? sudah dingin tuuh"
Suara Ibu membelah kesunyian, Ratri terkesiap dari lamunan, diusapnya sedikit air mata yang tak bisa ditahannya, lalu ia segera meraih cangkirnya dan menyeruput sebagian isinya. Bibirnya yang mawar lengkungkan senyuman kepada wanita sepuh  yang dicintainya itu, lalu bertutur :

"Yuk Bu, bukannya Ibu mau ke rumah tante Vina nengok anaknya yang sakit ? Biar Ratri yang antar" Ratri menunjukkan dan memutar-mutar kunci mobilnya dihadapan Ibu. Ibu mengangguk riang dan berkata :

"Ayuk, kalo begitu Ibu ganti baju dulu ya Nak"
Ratri mengangguk, senyumnya lebih manis dari bulan sabit senja itu. Tak kan ia biarkan hati Ibu dan hatinya menyendu, karena sebuah peristiwa di rumah sunyi nan biru.





# Sebuah Fiksi

Bogor, 8 Mei 2013