"Bundaaa .... ini
adek berisik bundaaa, aku jadi nggak konseenn ..." terdengar suara
teriakan Fahry dari ruang tengah memanggil manggil ibunya.
Ima
masih mengaduk-aduk nasi yang baru matang di rice cooker agar lebih
tanak, tubuhnya gesit kesana kemari, memindahkan sayur dari dalam panci
ke dalam mangkuk besar, memindahkan piring-piring dan gelas ke atas meja
makan, merapihkan dapur bekas memasak, tak diperdulikannya keringat
yang telah mengembun di dahinya karena udara panas di dapur yang
mengepungnya.
"Bundaaaa ..... adek nakal bundaaaa ..."
Fahry
berteriak kembali dengan suara yang lebih kencang karena menimpali
suara kaleng yang dipukul bertalu-talu oleh Idzhar adiknya yang masih
berusia 4 tahun.
Ima melepas kain memasak dari pinggangnya
yang ramping, lalu buru-buru menghampiri si kecil Idzhar yang sibuk
menabuh genderang mainan sambil mulutnya yang mungil menyanyikan entah
lagu apa. Diraihnya Idzhar ke atas pangkuannya :
"Sayang,
yuk mainnya di kamar Bunda, kesian abang kan lagi belajar" tutur Ima
lembut lalu bangkit menjauhkan putra bungsunya dari Fahry yang terus
menekuni pekerjaan rumahnya dari sekolah.
Belum sampai ke
kamarnya tiba-tiba kaki Ima menyentuh cairan yang licin di lantai,
tubuhnya terhuyung sejenak sampai tangannya berhasil mencengkram
pegangan pintu di dekatnya :
"Astaghfirullah ..., apa ini ?"
Diperhatikannya
cairan yang membuatnya hampir membahayakan diri dan anaknya Idzhar
tadi. Rupanya tumpahan sabun kental mainan Delisa putri sulungnya yang
tadi belum sempat dibersihkannya karena sibuk memasak. Dilihatnya si
sulung sedang asyik menemani temannya yang berkunjung di ruang depan,
tak ingin ia mempermalukan putrinya dengan memarahinya di depan
temannya. Biarlah nanti Delisa ia nasehati di waktu yang tepat.
Meski
Delisa anak yang paling tua, namun usianya yang masih kanak-kanak tak
mengizinkannya untuk melarangnya bermain, meski permainan gelembungan
Delisa ini sering membuatnya terkesal karena sering tumpah ke lantai
seperti ini.
Sesudah menyimpan Idzhar di atas sofa,
dipungutnya gelas plastik wadah sabun gelembungan Delisa, dibuangnya ke
dalam tempat sampah di dapur, lalu diambilnya lap kering di atas jemuran
untuk mengeringkan dan membersihkan bekas tumpahan itu.
Tiba-tiba,
pandangannya berkunang-kunang, dengan sisa tenaga yang ada, dicarinya
sofa untuk kemudian terhempas diatasnya. Menikmati denging yang lembut
melintas di pendengarannya, menarik nafasnya dalam-dalam lalu
dihembuskannya perlahan. Sementara Idzhar di sampingnya mulai merengek
mencari pelukannya.
Dalam masih samar pandangannya,
ditatapnya jarum jam yang terus bergerak. Ah ya, waktu makan siang sudah
berlalu lebih dari setengah jam. Ima harus menyuapi Idzhar, sedang
Fahry dan Delisa pun nampaknya belum beranjak dari aktivitasnya semula
untuk makan.
Dalam keadaan seperti itu, Ima hanya bisa
menenangkan hatinya dengan al-fatihah kecintaanya, membacanya
berulang-ulang dalam bisik di ruang hatinya. Penyakit pusing kepalanya
yang acapkali datang tak terduga, dihadapinya dengan hanya meneguk air
bening saja, itu sudah cukup memulihkannya.
Hingga waktu
beranjak, dan haripun menyenja, Ima masih menyempatkan mempercantik
diri. Ia senang Raditya suaminya pulang dalam keadaan ia telah wangi dan
segar. Tak diizinkannya anak-anak bertengkar di hadapan ayah mereka
yang lelah dari menjemput rezeky mereka. Karenanya, secantik apapun
penampilannya sesudah mandi petang, mestilah Ima harus terus bekerja
merapihkan jejak aktivitas anak-anak, walau hanya sekedar menyapu atau
membenahi kertas-kertas terserak.
"Ayaaaaaahhhh pulaaanngggg ....... !!!!"
Serempak
Fahry dan Idzhar berteriak kala mendengar suara kendaraan ayahnya
menderum lembut di garasi. Saling mendahului keduanya berlari menemui
ayah. Ayah selalu membawa pulang sesuatu yang seru dalam pandangan
mereka, entah itu sekotak roti yang sengaja tak ia makan dalam rapat di
kantor, entah itu permainan baru yang didownload di laptopnya, atau
hanya sekedar candaannya saja. Entahlah, rasanya ayah selalu membuat
anak-anak ceria.
Ima mencium punggung tangan Raditya
lembut, di tangannya secangkir teh hangat menebarkan aroma yang
menghangatkan hati. Lalu seperti biasa menggiring anak-anak untuk
kembali :
"Ayo Fahry, teruskan mengajinya nak"
Tak
sabar rasanya ingin ia duduk berdua dan menyampaikan banyak hal kepada
suaminya. Namun Ima menahan keinginannya. Raditya nampak kelelahan.
Dibiarkannya suaminya menyesap tehnya sambil bercengkrama dengan Idzhar
di depan televisi.
Sedang Ima membereskan buku-buku yang
bertebaran di atas permadani, tiba-tiba Idzhar menangis, mencoba merebut
buku bergambar yang sedang dipegang Fahry. Sementara Fahry tak ingin
mengalah dipertahankannya buku itu dengan terus membacanya tak perduli
tangisan adiknya. Delisa yang merasa terganggu dengan tangisan Idzhar
mengomeli adiknya :
"Duuuuh, kasih aja kenapa sih ? adek
jadi nangis tuuuh" rutuk Delisa kepada Fahry. Fahry yang merasa tak
punya perso'alan dengan Delisa tersinggung.
"Apaan sih ? kakak ikutan marah-marah. Aku belum selesai baca ini tauu ...!
""Huuuhhh" Delisa mendelik, sementara Idzhar semakin keras menangis.
Ima
mencoba menenangkan anak-anak, dilihatnya suamiinya tak bergeming,
terus menekuni pekerjaannya di layar komputer, seakan tak terpengaruh
oleh suasana gaduh disekelillingnya.Dalam kelelahan raganya, Ima terus
membangun suasana, melerai anak-anak agar lebih tenang, namun ia tak
kuasa menahan benteng didalam hatinya sendiri, di sudut matanya mulai
bertitisan bening airnya. Rasa lelah itu membuat bathinnya lebih cepat
retak. Diam-diam ia mengusap air matanya, sungguh ia tak ingin anak-anak
menyaksikan kelemahan hatinya, dibawanya gundah itu ke dalam kamarnya.
Berbaring
pada harum dan lembut bantalnya sedikit melipur kesedihannya. Tak lama,
Raditya muncul di pintu kamar, menatapnya lama, dan menghampiri.
Diusapnya ikal rerambut yang menutup kening bening istrinya :
"Dinda kenapa ? koq nangis ?" Raditya hafal benar sifat istrinya apabila sedang seperti ini.
Ima
hanya menggelengkan kepalanya dan semakin menelusupkan wajahnya ke
dalam bantal, membuat Raditya tersenyum memandang istrinya merajuk.
"Hmm,
sedang cari si sabar ya dibawah bantal ?" tanya Raditya menggoda
sambil menggelitik pinggang istrinya. Ima menggelinjang kegelian,
ditepisnya tangan suaminya. Raditya lalu memijit lembut pundak istrinya,
ia tahu beban yang dipikul wanita yang dicintainya itu tak ringan.
Menjadi seorang istri dan ibu adalah hal termahal yang telah dipilih
Ima, dan semua orang tahu, itu berarti cinta dan pengorbanan selamanya.
"Dinda
istirahatlah kalau sudah lelah, nanti anak-anak biar abang yang hadapi.
O. K ?" ujar Raditya dengan mimik muka lucu, alis matanya bertaut dan
bibir terkatup, digulungnya lengan bajunya tinggi-tinggi, seolah akan
menyapu sarang laba-laba diatas awan dan mengepel lautan.
Ima tak tahan untuk tak merasa geli hati. Meski masih ingin menampakkan kemanjaan, namun ia ingin menghargai candaan suaminya.
Tiba-tiba,
denting bel pintu rumah mereka bersuara, tanda ada orang hendak
singgah. Raditya menempelkan telunjuk tangannya pada bibirnya sejenak.
"Siapa tuh ? Abang liat dulu ya"
Ima
mengangguk pelan, masih tak bersuara, ditatapnya punggung Raditya
menjauh. Ada sunyi di hatinya, namun gelora itu telah reda.