"Bunda ..."
Tiba-tiba Ratih terkesiap, meski suara yang memanggilnya itu hanya sesayup angin senja yang meniup reranting pohon di balik jendela.
"Ooh ... Kamu nak, Bunda kira siapa"
Ratih mencoba tersenyum, meski hal itu saat ini membuat otot di sekitar matanya terasa nyeri. Ditatapnya Riko, pemuda berseragam SMA itu dari atas pembaringannya.
"Tuhan, betapa tampannya dia, just like his father"
Ratih memuji putranya tak bersuara, namun hatinya tersembilu manakala keindahan sang pemuda harus disandingkan dengan ayahnya. Diperhatikannya cara Riko berjalan saat mendekatinya, persis cara Bram berjalan mendekatinya enam belas tahun yang lalu di suatu acara pertemuan keluarga besar dari fihak Ibunda Ratih.
Tiba-tiba keterpanaan belasan tahun lalu itu terbayang kembali di mata Ratih, di suatu tempat, di suatu waktu. Bram, seorang mahasiswa tingkat akhir, berpenampilan dandy yang masih terikat tali kekeluargaan dengannya hadir di sebuah pesta keluarga. Di sepanjang pertemuan itu tak hanya sekali Ratih memergoki pemuda itu mencuri pandang ke arahnya. Membuat bintang-bintang di haatinya berkelipan setiap mereka beradu pandang. Dan tak berapa lama, hal itu menjadi bahan bincang-bincang dan bisik-bisik yang mengasyikan diantara Ratih dan para sepupu disertai tawa cekikikan yang terkadang mengundang perhatian tamu lainnya.
Tak ada yang teralu istimewa selain daripada rasa berbunga yang Ratih menduga hanya akan hinggap sekelebat, tak akan mengikat, apalagi membebat. Namun entah mengapa hari-hari berikutnya Ratih selalu merindukan ajakan mamanya untuk mengunjungi acara-acara di keluarga besar mereka, hal yang dulu paling enggan diikutinya. Berharap dapat mengulang kesempatan bersua dengan sang teruna.
Dan taqdirpun seakan mengikuti perkenan hatinya, Bram ternyata merasakan hal yang sama. Pertemuan demi pertemuan di keluarga besar mereka bermetamorfosa menjadi pertemuan demi pertemuan pribadi. Ada yang mulai tumbuh subur dalam sukma kedua insan. Yang selalu mendesak-desak ruang rindu apabila tak bertemu. Yang selalu membumbungkan ke langit terang apabila terlaksana perjumpaan.
Hingga empat bulan kemudian, tiba masa Ratih melanjutkan study di Yogya, kota dimana Bram pun kuliah dan bekerja, buncah perasaan itu semakin terluapkan. Kerinduan tak tertahankan dua jiwa terhapus oleh perjumpaan-perjumpaan mengesankan. Tak harus menunggu empat minggu untuk bisa bertemu seperti dahulu, setiap kesempatan setiap acara yang diada-adakan menjadi tempat meluahkan perasaan. Ratih dan Bram semakin tak terpisahkan.
***
Namun nyatanya kebahagiaan tak hendak hinggap dan berlama-lama bersemayam. Kabar kedekatan itu terbang melintasi jarak dan waktu, hinggap di pendengaran keluarga yang tak berkenan akan hubungan cinta segaris seketurunan. Seakan bukan kepada insan yang berjiwa dan bisa merasa. Ultimatum itu datang terlalu cepat, saat belum lagi kebahagiaan itu mereka reguk lesap. Ratih tak terizin lagi menerima kehadiran laki-laki yang telah sekian bulan menghuni relung hatinya.
"Bapak harus katakan berapa kali tentang lelaki itu Ratih ? Bram bukan orang yang baik untukmu."
Masih terngiang kata-kata bapaknya dalam raut beliau yang tegang, mengiringi isak kesedihan Ratih di pangkuan Ibu kala itu. Bergelombang pertimbangan dan alasan susul menyusul keluar dari lisan Bapak yang dihormatinya tentang orang yang dicintainya. Mulai dari hal ikatan saudara dengan orang tua Bram, perangai hingga kemungkinan masa depan. Semua seakan hujan yang tercurah dari awan, namun tak satupun tertampung di lekuk pemahaman. Yang Ratih mengerti, cinta haruslah memiliki.
***
Hampir-hampir Ratih tak dapat bertahan lagi. Ini hari ke delapan puluh tujuh perpisahannya dengan Bram. Sungguh, tak berada di dekat Bram adalah kematian keceriaan dan semangat hidupnya. Bukan hal yang mudah untuk terbangun setiap malam dengan kesadaran bahwa Bram telah bukan miliknya. Deru dalam dada dan isak tangisnya telah menjadi teman hampr tiga bulan kesendiriannya.
Hingga tiba-tiba sebuah pesan masuk di emailnya menghentaknya :
"Nik, sayang, remember me ? Bisakah kita ketemu besok ? di Fleury jam 10 pagi ? Please. Miss u so much. -Yours-
Ratih mengusap-usap matanya tak percaya,membaca kata demi kata di layar laptopnya.
"Bram !..."
Pekik hatinya. Siapa lagi yang selalu memanggilnya dengan sebutan Nik atau Cenik. Panggilan kesayangan Bram untuknya.
"Bram !..."
Pekik hatinya. Siapa lagi yang selalu memanggilnya dengan sebutan Nik atau Cenik. Panggilan kesayangan Bram untuknya.
Fleury, adalah nama sebuah cafe yang dahulu sering mereka kunjungi dan nikmati. Kini Bram mengajaknya bertemu di tempat itu dalam diam-diam dan hati-hati. Tak banyak mendebat kata hati, segera Ratih menjawab surat elektronik itu. Pesan pendek yang baginya terasa sepanjang bentang pelangi. Tak sabar hatinya menanti, besok, jam 10 pagi.
***
Detak di dada Ratih tak mereda, meski ia telah mencoba mengatur nafasnya seteratur desau air conditioner didalam Taxi yang ditumpanginya. Ia terus melafadzkan Al-Fatihahnya entah untuk yang keberapa puluh kali. Hatinya terus bertanya-tanya, akan seperti apa pertemuannya nanti bersama Bram. Apakah ia masih semempesona yang selalu dirasakannya setiap kali bertemu. Seperti apakah rupa kekasihnya itu kini ? Apakah ia telah berubah dan Ratih tak dapat mengenalinya lagi ? Ahh bagaimana bisa ia melupakannya, bayangan lelaki itu selalu hadir dalam ruang mimpi-mimpinya.
"Nik ..."
Sependek itu, ya sependek itu sebuah suara beresonansi di ruang pendengaran Ratih. Ahh, itu suara yang selalu dinanti-nantikannya. Inikah Bram yang dirindukan jutaan detiknya ?. Ratih masih tertegun menatap hampir tak percaya lelaki dihadapannya. Masih memanggilnya dengan panggilan yang sama saat ia meninggalkannya. Hanya ada senyap dan bulir bening menggelantung di sudut mata kejoranya, menerjemahkan lebih dari ribuan aksara yang ingin diungkapkannya.
Ratih menghambur kedalam pelukan Bram, hati dan bibirnya tersedu antara duka dan bahagia. Bersama keduanya menangis menikmati luapan emosi jiwa yang sekian bulan terkurung dalam gelas amarah. Amarah yang tak dapat terbuncah, dibenteng ultimatum keluarga yang tak bisa memberi ruang toleransi bagi cinta yang telah terlanjur tumbuh dan berkecambah.
Dan hanya seringan kedipan mata, duka disebabkan rindu yang terpasung, terhapus sudah. Bram tak ingin kehilangan cintanya lagi, demikianpun Ratih. Keduanya tak hendak pulang ke rumah yang penuh jerat larangan. Berdua,menembus kabut gelap dihadapan, berharap dapat menembus rintangan dan menemukan jalan keluar.
***
Ratih mengelus lengan Riko lembut, tatapannya memeriksa apakah ada duka di mata sulungnya ini. Namun hanya keluguan yang ia temukan, dan Ratih tak ingin merusaknya.
"Abang tahu dari siapa Mama ada disini Nak ? kamu datang sendiri ? Adek sama siapa di rumah ?"
Beruntun pertanyaan Ratih tercurah, kecemasan memikirkan Nana putri bungsunya di rumah selagi ia dirawat di rumah sakit itu memaksanya menanyai Riko dengan cara yang tak disukainya. Namun Riko tersenyum lembut, membuat Ratih mendadak tenang dibuatnya.
"Mama tenang aja, Nana sama Bibi di rumah. Ada Fella juga koq di rumah Ma"
Fella adalah keponakan Ratih, sepupu anak-anaknya yang sering menginap di rumah mereka.
Riko menyodorkan sesendok bubur ke mulut ibunya. Ada yang menyayat hatinya saat memandang lebam dan bengkak di mata wanita yang dikasihinya itu. Geram di dadanya mengingat peristiwa semalam disembunyikannya. Riko hanya ingin menjadi laki-laki yang bisa diandalkan ibunya, sesuatu yang tak didapatkan wanita itu dari ayahnya.
"Sudah Abang, Bunda sudah kenyang"
Ratih tak enak selalu merepotkan anak lelakinya yang usianya baru saja melewati tahun ke lima belas itu. Diperhatikannya makanan dalam piring di genggaman Riko, makanan rumah sakit yang sederhana, sesederhana hidangan pernikahannya dahulu bersama Bram.
Ratih teringat malam itu. Malam nan basah karena gerimis sejak sore itu menjadi alasan rembulan tak dapat tersenyum merestui pernikahan kedua sejoli di langit Subang. Ratih nampak begitu jelita meski dalam balutan kebaya putih sederhana. Ya, sebentar lagi Bram akan mengucap akad sucinya, mengikatnya dalam rengkuhan pernikahan yang dicita-citakannya.
"Sudah Abang, Bunda sudah kenyang"
Ratih tak enak selalu merepotkan anak lelakinya yang usianya baru saja melewati tahun ke lima belas itu. Diperhatikannya makanan dalam piring di genggaman Riko, makanan rumah sakit yang sederhana, sesederhana hidangan pernikahannya dahulu bersama Bram.
Ratih teringat malam itu. Malam nan basah karena gerimis sejak sore itu menjadi alasan rembulan tak dapat tersenyum merestui pernikahan kedua sejoli di langit Subang. Ratih nampak begitu jelita meski dalam balutan kebaya putih sederhana. Ya, sebentar lagi Bram akan mengucap akad sucinya, mengikatnya dalam rengkuhan pernikahan yang dicita-citakannya.
Namun seri di wajah ayu Ratih tak sebanding dengan atmosfir yang dirasakannya di ruangan itu. Sebuah moment yang seharusnya membahagiakan, namun harus berhias ragu, sakit, sekaligus haru. Ahh Ratih tak dapat mendeskripsikan perasaan ibunya, ia hanya melihat Ibu selalu mengusap air matanya, sementara Bapak nampak tak terlalu gembira duduk ditengah-tengah beberapa gelintir keluarga terdekat mereka. Tak ada teman-teman Ratih atau teman orang tuanya, tak ada kolega Bram, tak ada hidangan berlimpah, tak ada musik tradisional yang mendayu-dayu sebagaimana biasanya di pesta pernikahan.
"Saya terima nikahnya Masayu Ratih Paramitha binti Rasjid Winata dengan maskawin tersebut, tunai !
"Saya terima nikahnya Masayu Ratih Paramitha binti Rasjid Winata dengan maskawin tersebut, tunai !
Suara tegas Bram menjawab akad nikahnya di hadapan Bapak dan penghulu melegakan hati Ratih sekaligus menitiskan rasa bersalah yang dalam. Ia tahu Bapak tak mencurahkan sepenuhnya restu dan air mata Ibu tak mengizinkannya nikmati bahagia nan utuh. Ratih tahu, pernikahan itu menyisakan kekecewaan di dada dua insan sepuh yang ia panggil Ibu dan Bapak. Namun pelukan Bram malam itu mendamaikan hatinya, seiring rerintik gerimis yang membasahi cinta keduanya.
***
Cairan NaCl dan glukosa dalam labu infus di atas kepala Ratih menetes sebulir demi sebulir ke dalam nadinya. Entah mengapa memperhatikan cairan itu memasuki tubuhnya menjadi keasyikan tersendiri sejak rumah sakit menjadi tempat yang cukup sering ia inapi, seperti sedang melihat kekuatannya pulang kembali kepadanya setelah dirampas dengan keji. Ya, dirampas, seakan ia bukan manusia yang pantas dikasihani, apalagi dicintai.
Bram yang ia cinta dan percayai telah jejakkan luka tak hanya di hatinya, namun sekaligus juga di setiap sisi dan sudut wajah dan tubuhnya. Tamparan hingga tonjokkan kepal tangan Bram telah mulai diterimanya sejak awal pernikahan.
Belum tuntas dua puluh satu hari sejak kepindahannya dari kotanya ke rumah orang tua Bram dan "menikmati" masa-masa menyesuaikan diri, datang seorang perempuan bertubuh semampai. Tak secantik dirinya, namun Ratih menangkap daya tarik perempuan itu pada kulit putih mulusnya dan pembawaannya, Wanita itu duduk dengan wajah memancarkan sendu di ruang tamu menghadap ke arahnya. Ratih tak tahu harus bereaksi bagaimana, ia lalu hanya bisa terpana mendengar pengaduan wanita itu dalam isak tangisnya, bahwa telah tumbuh janin dari benih Bram dalam tubuhnya. Seakan dunia berhenti tiba-tiba, menyisakan kelu pada lisannya, dan air mata runtuh seketika.
Sungguh, suatu pendadakan yang tak memberinya ruang untuk bahkan sekedar berfikir dan mencari jalan keluar. Peristiwa menyakitkan luar biasa yang pertama dalam kehidupan pernikahannya itu kemudian yang menyadarkannya, bahwa memperso'alkannya bermakna penyangkalan-penyangkalan Bram dan pembelaan mertuanya kepada anaknya itu. Dan mengharapkan perceraian dari Bram, berarti penyiksaan dan penganiayaan lelaki itu atas jiwa dan raganya.
Belum tuntas dua puluh satu hari sejak kepindahannya dari kotanya ke rumah orang tua Bram dan "menikmati" masa-masa menyesuaikan diri, datang seorang perempuan bertubuh semampai. Tak secantik dirinya, namun Ratih menangkap daya tarik perempuan itu pada kulit putih mulusnya dan pembawaannya, Wanita itu duduk dengan wajah memancarkan sendu di ruang tamu menghadap ke arahnya. Ratih tak tahu harus bereaksi bagaimana, ia lalu hanya bisa terpana mendengar pengaduan wanita itu dalam isak tangisnya, bahwa telah tumbuh janin dari benih Bram dalam tubuhnya. Seakan dunia berhenti tiba-tiba, menyisakan kelu pada lisannya, dan air mata runtuh seketika.
Sungguh, suatu pendadakan yang tak memberinya ruang untuk bahkan sekedar berfikir dan mencari jalan keluar. Peristiwa menyakitkan luar biasa yang pertama dalam kehidupan pernikahannya itu kemudian yang menyadarkannya, bahwa memperso'alkannya bermakna penyangkalan-penyangkalan Bram dan pembelaan mertuanya kepada anaknya itu. Dan mengharapkan perceraian dari Bram, berarti penyiksaan dan penganiayaan lelaki itu atas jiwa dan raganya.
***
Hari ke tiga di rumah sakit nyatanya tak semembosankan yang sering dikeluhkan orang, begitu juga dirinya. Ratih cukup bahagia saat Bram beserta Riko dan Nana membawakan untuknya sebentuk rainbow cake bertoping buah kiwi dan strawberry segar serta lilin berbentuk angka yang menunjukkan umurnya.
"Happy birthday, Sweety"
Bram mengucapkan kata-kata manis itu di telinganya dalam bisikan nan lembut, seakan tak pernah terjadi sesuatu apa yang menyebabkan istrinya berada di atas pembaringan rumah sakit itu. Ratih tak berani menatap mata Bram, ia hanya menunduk dan tersenyum. Senyum yang ia merasa memang seharusnya ia selalu persembahkan untuk suaminya. Senyum yang ia merasa memang seharusnya dilihat oleh anak-anaknya.
Ratih meringis saat Bram menciumnya di tempat dimana ia telah menyakitinya. Seakan dengan cara ini Bram ingin mengungkapkan penyesalannya.
Entah kelapangan hati serupa apa yang dimilikinya, Ratih selalu memaafkan seberapa menyakitkanpun perbuatan lelaki itu. Ia pun tak mengerti saat dimana ia merelakan begitu saja haknya atas warisan bapaknya untuk menutupi segala hutang atas kartu-kartu kredit Bram yang tak pernah ia nikmati. Dan entah kekuatan sebesar apa yang membuatnya terus bertahan di malam-malam yang melelahkan, menghadapi kata-kata yang menyerang jiwanya bahkan tamparan hingga ancaman benda tajam pada raganya jika ia sedikit saja menyinggung perasaan suaminya.
Ahh, itu tak penting lagi baginya, mengingat itu semua hanya menambah luka hatinya saja. Ratih hanya ingin menikmati telaga sejuk di lengkung senyum Riko dan Nana di hadapannya.
Entah kelapangan hati serupa apa yang dimilikinya, Ratih selalu memaafkan seberapa menyakitkanpun perbuatan lelaki itu. Ia pun tak mengerti saat dimana ia merelakan begitu saja haknya atas warisan bapaknya untuk menutupi segala hutang atas kartu-kartu kredit Bram yang tak pernah ia nikmati. Dan entah kekuatan sebesar apa yang membuatnya terus bertahan di malam-malam yang melelahkan, menghadapi kata-kata yang menyerang jiwanya bahkan tamparan hingga ancaman benda tajam pada raganya jika ia sedikit saja menyinggung perasaan suaminya.
***
Sejak Bram memboyongnya ke Yogya, Ratih seakan harus terus membangun benteng tinggi dalam ruang bathinnya, agar kebas dari sikap skeptis (jika tak bisa dikatakan sinis) ibu mertuanya. Bahkan berita selentingan di luaran tentang hubungan Bram dengan beberapa perempuan, terus coba ia abaikan agar ia dapat tetap bertahan.
Sejak menjadi bagian dari keluarga di rumah mertuanya itu, Ratih menyadari betapa lemahnya dirinya. Jangankan untuk melawan, bahkan haknya untuk mengatur keuangan rumah tangganya sendiripun telah dirampas sejak awal pernikahan. Tak sepeserpun penghasilan suaminya ia terima kecuali dengan harus menghiba. Semua diatur Bram atau oleh ibu mertuanya. Itulah awal mula Ratih mulai berfikir untuk menyanggupkan diri mencari nafkah dengan tangannya sendiri. Dalam segala tekanan yang menghimpitnya, Ratih memberanikan diri menjual penganan-penganan kecil buatannya ke beberapa tetangga dan warung-warung kecil di dekat rumah. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya rupiah demi rupiah, yang karenanya ia mulai bisa membeli peralatan dapurnya sendiri, baju hingga kekuatan untuk mendesak Bram bisa mengontrak rumah.
Sejak menjadi bagian dari keluarga di rumah mertuanya itu, Ratih menyadari betapa lemahnya dirinya. Jangankan untuk melawan, bahkan haknya untuk mengatur keuangan rumah tangganya sendiripun telah dirampas sejak awal pernikahan. Tak sepeserpun penghasilan suaminya ia terima kecuali dengan harus menghiba. Semua diatur Bram atau oleh ibu mertuanya. Itulah awal mula Ratih mulai berfikir untuk menyanggupkan diri mencari nafkah dengan tangannya sendiri. Dalam segala tekanan yang menghimpitnya, Ratih memberanikan diri menjual penganan-penganan kecil buatannya ke beberapa tetangga dan warung-warung kecil di dekat rumah. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya rupiah demi rupiah, yang karenanya ia mulai bisa membeli peralatan dapurnya sendiri, baju hingga kekuatan untuk mendesak Bram bisa mengontrak rumah.
Meski harus terseok-seok menghadapi kesulitan keuangan, namun Ratih merasa hal itu lebih baik, daripada harus menghadapi suami dan sekaligus ibu mertuanya yang bak drakula selalu menghisap energi positifnya setiap hari. Terlebih saat kehamilannya telah semakin memberatkannya, Ratih tak ingin konflik-konflik yang mengecilkan semangatnya terus merintangi. Dengan berbekal hobi memasaknya, Ratih berusaha bangkit memunguti rezeki diri dan anak-anaknya yang tak ia dapatkan dari curah tangan suaminya.
Tahun demi tahun, lipatan demi lipatan kesabaran terus Ratih bentangkan. Tak sepeserpun nafkah ia terima dari Bram sejak mereka menikah tak mengecilkan harapannya. Ada bintang-bintang dalam kejora mata kedua buah hatinya yang terus memandunya melangkah. Usaha kuliner yang terus ia perjuangkan semakin dikenal di lingkungannya. Bahkan ada beberapa sahabat yang menjadi jembatan bagi bisnisnya terus melebar. Rupiah demi rupiah yang dikumpulkannya diatas tetes demi tetes keringat dan air matanya kini bahkan mampu menopang kehidupan keluarganya secara lebih layak.
***
Suara adzan maghrib merayap, merambati dinding gedung-gedung tinggi, menelusup ke rongga-rongga ruang, menembus tirai-tirai tak berpintu, menjamah lingkaran siput di pendengaran Ratih yang rindu. Rindu pada masa-masa dimana Bapak mengajak Ratih kecil shalat shubuh berjama'ah dahulu, rindu bermanja kepada Ibu yang tak pernah bosan mendengar ceritanya yang riang ataupun sendu, rindu pada gelak tawa saudara-saudara yang menggodanya yang membuatnya tertunduk malu. Rindu pada masa-masa kanak-kanak bahagianya kala itu, yang ia sangat inginkan dapat termiliki oleh kedua buah hatinya belahan sukma.
Tak terasa bola-bola seperti kristal mengalir dari sayu matanya, ada denyar dalam dadanya tersentuh kesedihannya.
"Ibu, Bapak, maafkan Ratih ..."
Ratih berbisik dalam isaknya, terbayang dua wajah insan yang mengasuh membesarkannya, yang pernah dikecewakannya namun selalu memaafkannya. Ratih hanya ingin bertanggung jawab atas apa yang telah dipilihnya,walau ia tak menduga betapa pilihan itu telah membawanya pada kepedihan.
Belum tandas nyeri dalam sukma ditumpahkannya, kala sesosok tubuh mungil berbalut mukena merah jambu menghampiri dan memperhatikannya :
"Bunda, koq nangis ? Bunda lagi sedih ya ?"
Ratih mengusap air matanya, dan menarik putri kecilnya mendekat.
"Nana mau shalat maghrib Nak ?
Tak terasa bola-bola seperti kristal mengalir dari sayu matanya, ada denyar dalam dadanya tersentuh kesedihannya.
"Ibu, Bapak, maafkan Ratih ..."
Ratih berbisik dalam isaknya, terbayang dua wajah insan yang mengasuh membesarkannya, yang pernah dikecewakannya namun selalu memaafkannya. Ratih hanya ingin bertanggung jawab atas apa yang telah dipilihnya,walau ia tak menduga betapa pilihan itu telah membawanya pada kepedihan.
Belum tandas nyeri dalam sukma ditumpahkannya, kala sesosok tubuh mungil berbalut mukena merah jambu menghampiri dan memperhatikannya :
"Bunda, koq nangis ? Bunda lagi sedih ya ?"
Ratih mengusap air matanya, dan menarik putri kecilnya mendekat.
"Nana mau shalat maghrib Nak ?
Nana menganggukkan kepalanya, namun sinar matanya memancarkan rasa penasaran.
"Iya, tapi kenapa Bunda menangis ? Bunda dimarahin Ayah ya ? Bunda dipukul lagi sama Ayah ?
Betapa pertanyaan itu telah membuat sayatan luka hatinya terkuak kembali, bagaimanapun kekerasan yang diterimanya tak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan putri 5 tahunnya yang sering menyaksikan sang ayah menyakiti bundanya. Nana masih terlalu kecil untuk mengerti, mengapa bundanya harus menerima pukulan-pukulan dari ayahnya sendiri. Nana masih terlalu dini untuk memahami mengapa bundanya sering dibuat menangis dan menyendiri. Sehingga air mata apapun akan dimaknai sebagai hasil kekerasan ayahnya.
Ratih memandang wajah Nana kecilnya yang rembulan, diusap-usapnya rambut ikal buah hati penuh sayang :
"Ayah nggak marahin Bunda Nak. Kalau Bunda tak salah, Ayah pasti tak marah sama Bunda. Mungkin Ayah sedang lupa, kalau memukul orang itu tak baik. Nanti kita bantu Ayah biar selalu sayang sama Bunda, sama Abang Riko, sama Nana ya. Nana mau bantu Bunda berdo'a ?
Dalam bias sinar lampu, Nana menatap keteduhan membayang di wajah ibundanya, gadis kecil itu menganggukkan kepalanya dan lirih berkata :
"Bunda, Nana sayang Bunda. Bunda jangan sedih ya ".
Ada gerimis di hati Ratih, dan alirnya kini membasahi sendu matanya. Ratih selalu mengerti, bahwa untuk kedua permata hatinya ia harus terus hadir, bahwa segala kepedihan yang ia rasakan hanyalah cara Tuhan menjelaskan tentang ketegaran, bahwa tak perduli serendah apapun dirinya digelari dirinya tetaplah insan berharga bagi putra putrinya, bahwa cinta itu rupanya masih bersemayam untuk Bram, dan bahwa ia akan selalu disini, bersabar memeluk taqdirnya meski itu bermakna serupa mendekap bara.
Ratih memeluk Nana sepenuh kasih, dalam tatapan Riko dibalik pintu, di tengah-tengah kelindan angin malam, di desir do'a-do'a pepohonan, di bawah naungan bintang-bintang.
PS : Inspired from the true story of my best friend
-Kota Hujan, 25 Februari 2012-
"Iya, tapi kenapa Bunda menangis ? Bunda dimarahin Ayah ya ? Bunda dipukul lagi sama Ayah ?
Betapa pertanyaan itu telah membuat sayatan luka hatinya terkuak kembali, bagaimanapun kekerasan yang diterimanya tak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan putri 5 tahunnya yang sering menyaksikan sang ayah menyakiti bundanya. Nana masih terlalu kecil untuk mengerti, mengapa bundanya harus menerima pukulan-pukulan dari ayahnya sendiri. Nana masih terlalu dini untuk memahami mengapa bundanya sering dibuat menangis dan menyendiri. Sehingga air mata apapun akan dimaknai sebagai hasil kekerasan ayahnya.
Ratih memandang wajah Nana kecilnya yang rembulan, diusap-usapnya rambut ikal buah hati penuh sayang :
"Ayah nggak marahin Bunda Nak. Kalau Bunda tak salah, Ayah pasti tak marah sama Bunda. Mungkin Ayah sedang lupa, kalau memukul orang itu tak baik. Nanti kita bantu Ayah biar selalu sayang sama Bunda, sama Abang Riko, sama Nana ya. Nana mau bantu Bunda berdo'a ?
Dalam bias sinar lampu, Nana menatap keteduhan membayang di wajah ibundanya, gadis kecil itu menganggukkan kepalanya dan lirih berkata :
"Bunda, Nana sayang Bunda. Bunda jangan sedih ya ".
Ada gerimis di hati Ratih, dan alirnya kini membasahi sendu matanya. Ratih selalu mengerti, bahwa untuk kedua permata hatinya ia harus terus hadir, bahwa segala kepedihan yang ia rasakan hanyalah cara Tuhan menjelaskan tentang ketegaran, bahwa tak perduli serendah apapun dirinya digelari dirinya tetaplah insan berharga bagi putra putrinya, bahwa cinta itu rupanya masih bersemayam untuk Bram, dan bahwa ia akan selalu disini, bersabar memeluk taqdirnya meski itu bermakna serupa mendekap bara.
Ratih memeluk Nana sepenuh kasih, dalam tatapan Riko dibalik pintu, di tengah-tengah kelindan angin malam, di desir do'a-do'a pepohonan, di bawah naungan bintang-bintang.
PS : Inspired from the true story of my best friend
-Kota Hujan, 25 Februari 2012-