Ada sekelip api berbinar kembali
Setelah dibuat merepih berkali-kali
Tiada tempat tuk bersendiri
Terhempas ke dalam sepi
Menukar senyuman diatas penjara suci
Dibelenggu rantai di jendela sunyi
Ah kamu tak tahu pasti
Masih ada cupu manik berkunci
Yang kusimpan di kedalaman hati
Tempat kuletakkan kenangan berarti
Dan kamu tak bisa merampasnya lagi
Monday, September 24, 2012
Monday, September 10, 2012
Indahnya Sunyi
Setiap orang punya kesenangan dan hobi
Begitupun aku tak kehilangan kecintaanku sendiri
Bila malam telah sepi
Dan tiada kawan berbincang bercengkrama lagi
Selalu ada yang menggembirakan hati
Beberapa buku yang belum sempat kubaca tadi
Atau tulisan-tulisan lama yang menunggu ditengok lagi
Amboi ... betapa indahnya sunyi ...
Sunday, September 9, 2012
Ternyata ...
Mengapa siangku menaungiku teduh
Dan malamku berwarna indah
Burung- burung bersenandung merdu
Dan ilalang meliukkan tarian indah
Mengapa anginku lembut menyapaku
Dan pelangi melukiskan senyuman
Lekukan awan siluetkan anganku
Dan bintang kedipkan romantisme
Mengapa alam berbisik mesra
Dan serangga lantunkan musik indah
Di pesisir dedaunan melambai ramah
Dan ombak menggemakan orchestra
Semua nampak megah
Waktuku seakan berhenti melangkah
Saat padaku lembut matamu terarah
Ternyata...ada cinta, singgah di hatiku
Dan malamku berwarna indah
Burung- burung bersenandung merdu
Dan ilalang meliukkan tarian indah
Mengapa anginku lembut menyapaku
Dan pelangi melukiskan senyuman
Lekukan awan siluetkan anganku
Dan bintang kedipkan romantisme
Mengapa alam berbisik mesra
Dan serangga lantunkan musik indah
Di pesisir dedaunan melambai ramah
Dan ombak menggemakan orchestra
Semua nampak megah
Waktuku seakan berhenti melangkah
Saat padaku lembut matamu terarah
Ternyata...ada cinta, singgah di hatiku
Dunia Sunyi
Sekedar kicauan di dalam hati, saat menatapmu sendirian dijendelamu
Sedang apa kamu sayang ?
Matamu jauh menatap teman-teman yang ramai bermain di luar sana.
Mengapa tak bergabung bersama mereka ?
Adakah kau mengetahui apa yang sedang mereka tertawakan ?
Atau memahami apa yang sedang mereka bicarakan ?
Apakah kau merasa tersisihkan ?
Bukankah kamupun berpuasa hari ini ?
Dan tak pernah menyerah untuk hidup hingga detik ini ?
Walau duniamu terasa sunyi...
Ah bodohnya aku
Tentu saja kamu tak tahu semua itu
atau mungkinkah ada yang tak kusadari
Bahwa kamu selalu berusaha mencari
Apa yang dapat kamu lihat tapi tak bisa kau maknai
Karena kau tak bisa mendengarnya
Dan tak ada yang bisa membantumu mendengarnya
Lebaran besok juga untukmu sayang
Walau tak bisa kau dengar suara takbir mendayu-dayu
Walau tak bisa kau dengar suara beduk bertalu-talu
Namun munajatku menanjak naik
Bahwa Tuhan menaburkan damainya malam Fitri ini untukmu
Bahwa DIA hangat "memelukmu" dalam sepimu
Lebaran besok juga untukmu sayang
Walau dunia terasa sunyi
*Didedikasikan untuk anak-anak tuna rungu di negeri ini, khususnya yang masih berjuang mendapatkan alat bantu dengar (ABD) hingga hari ini, peluk sayangku untukmu*
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H
Mohon Maaf Lahir dan Bathin
Cinta Tanpa Syarat


Walaupun mungkin tidak persis sesuai dengan isi diskusi itu yang lebih menitik beratkan pada perso'alan definisi. Kali ini saya tidak ingin bingung dan membuat bingung pembaca.
Hanya ingin bicara cinta pasangan sepuh yang di saat usia tua mereka tidak kehilangan cinta sederhananya saat mereka memulainya dahulu
Dalam diskusiku itu aku mengangkat kisah cinta dua tokoh yang berbeda dengan orang kebanyakan. Yang pertama kisah Ferrasta Soebardi alias mas Pepeng Soebardi dan istrinya mbak Utami, dan yang kedua kisah cinta BJ Habibie dan Sri Ainun Bestari.
Saat mendengar cerita mas Pepeng di televisi pada program Kick Andy di Metro Televisi, ada satu scene dimana saya begitu terkesan karena saya memang orang yang jijikan dengan makhluk bernama ulat/ belatung. Namun justru discene ini ada kisah tentang ulat, bahwa di atas kasurnya kini setiap hari mas Pepeng menjalani kehidupannya. Istrinya pernah mengambil ulat-ulat (belatung) di dalam daging kakinya dengan pinset setiap hari, dan saking susahnya ia mengambil ulat itu, mas Pepeng menyuruhnya menggunting sedikit kulitnya dan istrinya melakukannya.
Setiap hari mbak Tami mengurus suaminya yang sudah tak bisa apa-apa dan kemana-mana lagi selain di atas kasurnya dengan penyakit langka ini, tentu saja saya meyakini dengan segala dinamikanya mbak Tami pun tentu memiliki saat-saat hatinya tidak nyaman, gundah, marah, resah. Namun apa yang membuat beliau tetap bertahan disisi suaminya ? Begitupun mas Pepeng, dalam kondisi seperti itu pastilah sebagai lelaki ia masih memiliki dan mengharap cinta kepada istrinya, namun terbayang bagaimana perang terjadi dalam bathinnya menghadapi kenyataan ia tak bisa membuktikan cintanya dalam bentuk yang ia inginkan karena penyakitnya.
Aku membaca puisi mas Pepeng untuk istrinya yang cukup memberiku gambaran tentang apa yang bergejolak di dalam dadanya :
Puisi Buat Tami
Dua orang mahasiswa mengikat cinta dalam perkawinan untuk menghindari berbagai hubungan yang dilarang Sang Khalik.
Hari itu, 30 Oktober 1983, si pria 29 tahun dan gadisnya 22 tahun. Dua orang mahasiswa mengikat cinta dalam perkawinan untuk mendapat keturunan sepeti yang diperintahkan Sang Khalik.
Anak
pertama lahir, si bapak mengurus, menjaga malam hari, mengganti popok,
dan memandikan, si ibu menyusui. Mereka masih muda dan saling
mencinta. Si pria 32 tahun dan kekasihnya 25 tahun.
Si pria sudah sarjana, setelah 10 tahun, setelah mempunyai anak dua. Mereka masih muda dan saling mencinta, si pria 34 tahun dan kekasihnya 27 tahun.
Si
pria sudah bekerja, kekasihnya sudah sarjana, anak mereka sudah empat.
Hari itu mereka memasuki rumah yang diidamkan oleh setiap keluarga.
Mereka masih bugar dan saling mencinta. Si pria 42 tahun dan kekasihnya
35 tahun.
Hari
ini si pria 54 tahun, ia tergeletak karena sakitnya didampingi oleh
kekasihnya yang 47 tahun, tidak muda lagi menjelang ulang tahun
perkawinan mereka yang ke-25.
Dalam sakitnya, berkelebat semua kenangan dengan kekasihnya. Dalam sakitnya ia menulis untuk kekasihnya:
“Dik Uta,” demikian panggilan kesayangan sang pria setelah sakit untuk kekasihnya yang bernama Utami.
Saya tidak akan pernah lupa ketika awal penyakit itu datang kamu menenangkan saya dengan kata-kata, “Kita sedang menjalani peran baru.”
Subhanallah, Dik Uta, kata-kata itu sangat menjadi inspirasi untuk saya menjalani sakit saya. Saya selalu berdoa, “ Ya Allah berilah kecerdasan untuk kami agar kami selalu melihat semua ketetapan-Mu melalui sudut pandang yang membahagiakan.”
Peran baru, itu adalah salah satu sudut pandang yang cerdas dan membahagiakan.
Ah,
Dik Uta, terlalu banyak dan panjang jika saya tulis betapa besar rasa
terima kasih atas ketegaranmu menjalani peran baru ini.
Saya tahu Dik Uta sedih, tapi kamu tetap tegar.
Saya tahu Dik Uta takut, tapi kamu tetap tegar.
Saya
tahu Dik Uta lelah, tapi kamu tetap tegar, mengurus saya, membersihkan
dan membalikkan bada saya setiap satu jam di malam hari.
Saya tahu Dik Uta ingin jalan-jalan untuk menghilangkan jenuh, tapi kamu tetap tegar mendampingi saya karena saya tidak bisa ditinggal terlalu lama sendiri.
Saya tahu Dik Uta selalu mengharapkan kata-kata cinta dari saya, tapi kamu tetap tegar walau kamu tak pernah mendengar kata-kata itu.
Hari ini kamu akan mendengar dari mulut saya.
"Dik Uta, aku cinta kamu tanpa batas. "
"Saya akan selalu bahagiakan kamu tanpa batas. "
"Saya akan selalu ada untuk kamu tanpa batas. "
Kelak kalau saya sudah bisa jalan, kita akan pergi kemana pun kamu mau, yang selama ini tidak pernah kita lakukan.
Dik Uta, pikirkanlah yang terbaik tentang cita-cita kita, karena Allah berfirman, "Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku."
Februari, 2009
Pepeng Ferrasta
Aku termenung dihadapan "pelajaran Tuhan" ini, bagaimana keikhlasan telah ditunjukkan.
Dan inilah salah satu puisi seorang engineer bidang mesin yang brilliant yang diakui dunia, menjadi menteri riset dan teknologi beberapa dasawarsa, bahkan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia, tetapi pada saat berhadapan dengan cintanya kepada wanita yang menjadi istrinya selama hampir seluruh hidupnya, kitapun akan meleleh membaca setiap huruf yang ia rangkaikan.
Puisi Untuk Ainun
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan,
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
selamat jalan sayang,
cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
selamat jalan,
calon bidadari surgaku ....
BJ.HABIBIE
Dan ini do'a pak Habibie yang beliau ucapkan saat tengah menggelar tahlil di rumah beliau di Patra Kuningan Jakarta.
"Ya Allah, lindungilah Ainun, di manapun dia berada. Tempatkanlah Ainun di sisi-Mu, dan berikan Ainun kekuatan, kesabaran, ketentraman, pertolongan dan kenikmatan di sisi-Mu, ya, Allah," pinta Habibie.
"Jika tiba waktunya saya sudah bisa melaksanakan itu semua, dan Engkau berpendapat saya boleh pulang, pulangkanlah ke rumah saya. Rumah saya adalah di tempat mana Ainun sudah tinggal lebih dahulu kini"
Mendengar kisah cinta hingga maut memisahkan mereka sudah banyak kita ketahui mulai dari televisi hingga tulisan-tulisan teman. Namun yang membuatku terpana adalah saat membaca penuturan Dr.dr.Ahsan seorang dokter keluarga B.J Habibie.
Dr.dr Ahsan berkata :"Dia menceritakan bahwa istrinya sudah dirawat disana sejak beberapa waktu & istrinya mengidap penyakit Alzheimer. Lalu kutanya apakah istrinya akan marah kalau dia datang terlambat. Dia menjawab bahwa istrinya sudah tidak lagi dapat mengenalinya sejak 5 thn terakhir".
Dr.dr Ahsan sangat terkejut dan berkata,
"Dan bapak masih kesana setiap hari walaupun istri bapak sudah tidak kenal lagi?" Dia tersenyum, seketika itu tangannya menepuk tangan Dr. Ahsan sambil berkata,
"Dia memang tidak mengenali saya, tapi saya masih mengenali dia kan?" Dr. Ahsan menahan air mata sampai kakek itu pergi, tangan Dr. Ahsan masih tetap merinding, Cinta kasih seperti itulah yang semua kita mau dalam hidup
Cinta sesungguhnya justru akan nampak di saat seseorang merasa tidak bisa memiliki lagi cintanya.
Saya suka dengan quote :
"Orang yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki segala sesuatu yang terbaik, mereka hanya berbuat yang terbaik pada apa yang mereka miliki".
Cinta yang sederhana, Cinta tanpa syarat.
Memanja Rasa
Dikasar raga mendenyut rasa
Menggerakkan nurani dan sanubari silih berganti
Sesekali menerbangkan bahgia
Sesekali melayangkan lara
Kunikmati saja rasa yang ada
Memanja dengan temuan taqdirnya
Jika harus kumencinta
Maka kurenangi lautan geloranya
Jika harusku menelan duka
Kuberkhidmat di setiap sudutnya
Memanja rasaku sempurna
Mencicip setiap madu manisnya
Menelan setiap pahit getirnya
Namun tak berhingga fakta berkata-kata
Ada lebih banyak cinta menyapa
Lembut memetik dawai peristiwanya
Terbang di ketinggian lazuardy
Menabur sinar teduhnya pelangi
Membelai mengelus nurani
Di rasaku
Kau bertahta
Menggerakkan nurani dan sanubari silih berganti
Sesekali menerbangkan bahgia
Sesekali melayangkan lara
Kunikmati saja rasa yang ada
Memanja dengan temuan taqdirnya
Jika harus kumencinta
Maka kurenangi lautan geloranya
Jika harusku menelan duka
Kuberkhidmat di setiap sudutnya
Memanja rasaku sempurna
Mencicip setiap madu manisnya
Menelan setiap pahit getirnya
Namun tak berhingga fakta berkata-kata
Ada lebih banyak cinta menyapa
Lembut memetik dawai peristiwanya
Terbang di ketinggian lazuardy
Menabur sinar teduhnya pelangi
Membelai mengelus nurani
Di rasaku
Kau bertahta
Karena Setia Sempurnakan Cinta.
Hai....
Mendekatlah.....
Sukakah engkau kusampaikan cerita
Mari sini
Kita bicara tentang Cinta ...^_^
Bukankah cinta selalu menyenangkan untuk dibincangkan...
Bukankah cinta selalu membahagiakan untuk dikenang...
Bukankah cinta selalu mengindahkanmu disetiap malam dan siang...
Bukankah cinta selalu merawat mimpimu tetap berkilau....
Tak terbilang lembaran mengisahkan romansa
Tak terhitung aksara mengabarkan asa
Tak terhingga tulisan menceritakan kerinduan
Tak terangka ucap menerjemah khayalan
Terlalu indah untuk digambarkan
Terlalu mengherankan untuk diumpamakan
Cinta....
Selalu memabukkan....
Pejamkanlah matamu.....
Heninglah.....
Kini kau bersama seseorang yang kau cinta...
Bersamanya kau melalui ramai dan sunyi
Menghidu kopi dan melihatnya mereguk manisnya di lembut pagi
Memandang rupawan sosoknya dalam warna baju yang sungguh amat kau sukai
Mendengar merdu kicau bibirnya menceritakan naasnya di ujung hari
Kau memahami indahnya...dan karenanya kau begitu mencintainya
Kau tak ingin kehilangannya
Dan dengan sebab itu kau ingin melindunginya
Tak ingin setitik pedih pun menyentuhnya
Tak ingin seujung rambut sakit pun mendekatinya
Kau begitu menyayanginya
Dan kau biarkan jiwa ragamu menjaga cintanya
Tak kau biarkan noktah menodanya
Kau abai segala goda dan coba yang goyahkan setia
Hingga bertahun berwindu
Masa yang lama telah berlalu
kau dapati dia masih disisimu
Menggenggam hangat jemarimu
Sama seperti pertama bertemu
Saat cintamu terpaut dahulu
Dia masih bersamamu
Menemani dan menyayangimu
Tertawa atau meneteskan air mata bersamamu
Sedang kau tak seindah dahulu
Dia masih merindukanmu
Saat dia tak dapat berada disampingmu
Dia masih mencarimu
Saat dia mengkhawatirkan keadaanmu
Sedang kulitmu telah tak sehalus dahulu
Sedang senyummu telah tak semanis masa yg lalu
Hingga berwarsa waktu
Kau melihatnya duduk dipembaringanmu
Mengusap-usap rambut putihmu
Mengucapkan kata-kata yang meneduhkan hatimu
Hadiahkan senyum tulusnya dipandangan matamu
Ucapkan kata betapa dia masih menyayangimu
Sedang kau terbaring dalam pelukan sakit di ragamu
Sedang kesempurnaan bukan lagi milikmu
Maka tibalah masa
Ia masih disisimu terjaga
Dengan bulir-bulir air di matanya
Dan segenap kerinduannya
masih kau baca gejolak hatinya
Dan hangat genggam terakhirnya
Sedang kau, telah tiada ....
Tiada kutemukan dari cinta, melainkan selalu ada kepedihan mengiringinya.
Kucari apa yang dapat mengekalkan indahnya...
Dan kini telah kudapati...
Bahwa tiada yang menyempurnakan dan menjadi kebanggaan cintamelainkan Pengorbanan dan Kesetiaan....♥
*Remember My Sweet Moments*
will you remember our sweet moments
and cherished them the way i do
how we spent our special moment together
how we used to share it all
will you remember me the way
i remember you, will you be the same
the last time i saw you, you are the sweetest
every moment with you is the sweetest one
Mendekatlah.....
Sukakah engkau kusampaikan cerita
Mari sini
Kita bicara tentang Cinta ...^_^
Bukankah cinta selalu menyenangkan untuk dibincangkan...
Bukankah cinta selalu membahagiakan untuk dikenang...
Bukankah cinta selalu mengindahkanmu disetiap malam dan siang...
Bukankah cinta selalu merawat mimpimu tetap berkilau....
Tak terbilang lembaran mengisahkan romansa
Tak terhitung aksara mengabarkan asa
Tak terhingga tulisan menceritakan kerinduan
Tak terangka ucap menerjemah khayalan
Terlalu indah untuk digambarkan
Terlalu mengherankan untuk diumpamakan
Cinta....
Selalu memabukkan....
Pejamkanlah matamu.....
Heninglah.....
Kini kau bersama seseorang yang kau cinta...
Bersamanya kau melalui ramai dan sunyi
Menghidu kopi dan melihatnya mereguk manisnya di lembut pagi
Memandang rupawan sosoknya dalam warna baju yang sungguh amat kau sukai
Mendengar merdu kicau bibirnya menceritakan naasnya di ujung hari
Kau memahami indahnya...dan karenanya kau begitu mencintainya
Kau tak ingin kehilangannya
Dan dengan sebab itu kau ingin melindunginya
Tak ingin setitik pedih pun menyentuhnya
Tak ingin seujung rambut sakit pun mendekatinya
Kau begitu menyayanginya
Dan kau biarkan jiwa ragamu menjaga cintanya
Tak kau biarkan noktah menodanya
Kau abai segala goda dan coba yang goyahkan setia
Hingga bertahun berwindu
Masa yang lama telah berlalu
kau dapati dia masih disisimu
Menggenggam hangat jemarimu
Sama seperti pertama bertemu
Saat cintamu terpaut dahulu
Dia masih bersamamu
Menemani dan menyayangimu
Tertawa atau meneteskan air mata bersamamu
Sedang kau tak seindah dahulu
Dia masih merindukanmu
Saat dia tak dapat berada disampingmu
Dia masih mencarimu
Saat dia mengkhawatirkan keadaanmu
Sedang kulitmu telah tak sehalus dahulu
Sedang senyummu telah tak semanis masa yg lalu
Hingga berwarsa waktu
Kau melihatnya duduk dipembaringanmu
Mengusap-usap rambut putihmu
Mengucapkan kata-kata yang meneduhkan hatimu
Hadiahkan senyum tulusnya dipandangan matamu
Ucapkan kata betapa dia masih menyayangimu
Sedang kau terbaring dalam pelukan sakit di ragamu
Sedang kesempurnaan bukan lagi milikmu
Maka tibalah masa
Ia masih disisimu terjaga
Dengan bulir-bulir air di matanya
Dan segenap kerinduannya
masih kau baca gejolak hatinya
Dan hangat genggam terakhirnya
Sedang kau, telah tiada ....
Tiada kutemukan dari cinta, melainkan selalu ada kepedihan mengiringinya.
Kucari apa yang dapat mengekalkan indahnya...
Dan kini telah kudapati...
Bahwa tiada yang menyempurnakan dan menjadi kebanggaan cintamelainkan Pengorbanan dan Kesetiaan....♥
*Remember My Sweet Moments*
will you remember our sweet moments
and cherished them the way i do
how we spent our special moment together
how we used to share it all
will you remember me the way
i remember you, will you be the same
the last time i saw you, you are the sweetest
every moment with you is the sweetest one
Ketika Jejak Rindu Berakhir
Ketika lemah diri menghentak kesadaran ....
Tergambar menggunung kebodohan...
Berhidup di semestaMU....
Bermasa-masa nikmati curahan nikmatMU
Kau Sayangi.......
Kau Cintai...
Kau Lindungi...
Dicipta berjiwa raga....
Kau biarkan kami merasa segala yang nampak ada...
Kami rasakan lapar, Allah-ku
Lalu kau sediakan rezeky untuk Kau saksikan kami rasakan nikmatnya kenyang itu.
Kami haus, Allah-ku
Lalu Kau siapkan air untuk Kau saksikan kami rasakan nikmatnya lepas dari dahaga itu
Lalu mengapa kami pun merasakan kerinduan yang lain
Kami ingin orang tua kami Allah-ku
Untuk mengasuh dan membesarkan, mendidik dan menyenangkan kami
Kau biarkan cinta hidup dalam hati mereka untuk kami
Yang untuk itu telah kami sulitkan hari-hari mereka
Kami sempitkan perut Ibu sembilan bulan, kami perah air susunya siang dan malam
Kami buat lelah Ayah, kami buat dia berpeluh diterik siang atau di badai hujan
Kau Maha Penyayang, Kau hadirkan orang tua untuk kami
Kami ingin pasangan hidup Allah-ku
Untuk tentramkan hati dan temani perjalanan kami
Kau lukis indah asmara dalam hati
Yang untuk itu kami tertatih-tatih menggapai kisahnya
Kami bahagia dalam balutan rindu dan cinta
Kami tenang dalam kehangatan dicintai kekasih
Kau Maha Cinta, Kau hadirkan istri dan suami untuk kami
Kami ingin keturunan Allah-ku
Untuk lengkapi syurga dunia kami
Untuk lanjutkan cita-cita kami
Kau limpahi suka dalam dada kami memandang elok rupa mereka
Kau sesakkan jiwa kami dengan bahgia menatap masa depan dalam wajah-wajah lugu mereka
Kau Maha Lembut, Kau hadirkan putra putri untuk kami
Kami ingin harta yang halal dan berkah Allah-ku
Untuk cukupi keluarga kami
Untuk bersedekah
Untuk menjalani hari-hari kami
Tak putus-putus kami membutuhkan tanpa meminta dan sedikit berdo'a
Tak henti-henti Kau limpahi, Kau curahi bergelombang rezeky
Tak selesai-selesai Kasih SayangMU memanja memenuhi jagat kami
Allah-ku
Lalu dimana Engkau saat kami terlena di lautan sayangMU
Kami tuliskan indah rangkaian kata untuk para terkasih yang Kau hadiahkan tuk biarkan hidup kami berseri
Tiada sehurufpun tersisa tuk goreskan namaMU walau sekali.
Berjuta prosa dan puisi diperuntukkan insan yang sama lemah tak bisa memberi
Tak setetes ingat kami kepada DzatMU yang mengasuh menaungi
Engkau yang Maha Kasih
telah tak sengaja kami campakkan dari kenangan
AgungMU tenggelam dalam kelalaian kami
CintaMU terkubur dalam kealphaan kami
Namun Kau biarkan rindu terus hidup berkelindan di qalbu
Untuk siapakah itu ?
Yang senantiasa mendenyutkan nadi kami
Yang selalu menghela nafas kami
Kutelusuri jejak rindu ini
Apakah sungguh-sungguh kekasih rupawan yang telah memenjara kalbu
Apakah sungguh-sungguh dzuriyat turun bertemurun yang telah menyandera hati
Apakah sungguh-sungguh gelimang harta yang telah menambat rasa
Apakah sungguh-sungguh tinggi kedudukan yang telah menjerat jantung
Namun selalu...
Kami temukan rindu pada semua itu tiada terpuaskan
Maka tak henti kami mencari
Dimanakah jejak rindu ini kan berhenti
Perjalanan yang tak pernah selesai
Hingga kami temukan suatu masa...
Ketika rindu ini berakhir....
Di haribaanMU...
Pada PelukanMU
Terimakasih Allah-ku
Di Syurga Ibu
Sepenuh bumi cinta untuk Ibu
Kutuliskan risalah ini dengan takdzim
***
Benderang siang menyinari hidupmu
Lihat sosok rupamu ...Alangkah rupawannya dirimu
Dengan afiat dan pandaimu, kau dapatkan segala yang kau mau
Ketika malam menaungimu
Kau tentram dalam sejahteramu
Alangkah nyamannya tidurmu
Walau tiada pernah hadir di ruang mimpimu....wajah Ibu
Berdetak-detak jantungmu
Berdenyut-denyut nadimu
Ada darah Ibu disitu
Kau adalah darah dan dagingnya
Kau adalah tulang sumsumnya
Kau adalah hela nafasnya
Yang ia jaga dan sayangi selama hidupnya
Adakah dalam ingatanmu
Saat perut Ibu terasa mulas
Ia memintamu menuntunnya ke ruang bilas
Lalu kau enggan dan menolongnya malas ?
Dahulu perut itu kau buat pula teramat mulas
Bersimbah darah Ibu melahirkanmu sepenuh ikhlas
Dahulu Ibu lekas menggendongmu saat kau menjerit memelas
Menunggu dan membersihkanmu hingga dari sakit perutmu kau terbebas
Adakah dalam kenanganmu kini
Saat Ibu menahanmu pergi
Ia memintamu tuk menemani
Tapi kau enggan dan menemaninya dalam rajuk dan sepi
Dahulu
Ibu tak pernah tenang bila kau menanti , kemana ia pergi ingin segera kembali
Memburu dan dekapmu kasih,agar kau tak takut dan merasa sunyi
Adakah dalam ruang ibamu
Saat Ibu ingin bertemu
Ia memintamu datang sekedar melepas rindu
Lalu kau enggan dan hampiri ia dalam acuhmu
Dahulu
Pelukan Ibu adalah anjunganmu,
senyum dan tawanya adalah hiburan terisitimewamu
Ibu tak pernah mengeluh, Ibu mencintaimu
Dahulu kau mencari Ibu saat kau dinista teman
Ibu memandangmu teduh, mengusap rambut dan sentuh dadamu nyaman
Ucapkan kalimat ajaibnya dan merengkuhmu dalam
Dahulu kau memanggil-manggil Ibu saat sakit terasa di badan
Ibu mengobati, dia tak tidur berjaga semalaman....
Teteskan airmata, kepada Tuhan Ibu pohonkan kesembuhan
Ibu tak lelah mencinta
Hingga kau dewasa ia tetap menderma
Tak habis-habis kasih dan ikhlasnya
Ibu selalu bersedia hingga disudut usia
Berjuta tetesan air susu Ibu tak bisa kami kembalikan
Bercucuran peluh keringat Ibu tak dapat kami gantikan
Siang dan malam Ibu menderita
Bertahun-tahun Ibu kami buat tersiksa
Namun tiada pernah Ibu meminta bayaran
Tiada sekalipun ibu meminta balasan
Duhai ....apakah gerangan budi balasan
Bagi insan melahirkan membesarkan
Sungguh...
Tiada bahagia jika tiada do'a puja restu
Dimanakah ridha Tuhan jika tiada rela Ibu
Kepada Yang Maha Pengasih kami pintakan kini....
Bahagiakanlah Ibu kami wahai Tuhan
Sayangi Ibu bagai ia menyayangi kami selama ini
Ibu telah tak muda lagi Tuhan
Di tubuh lemahnya tersimpan batasan
Mudahkanlah bagi Ibu
Jadikanlah kami sandaran baginya kini
Sebagai dahulu kami bersandar dalam lemah kami kepadanya
Ibu telah tak sehat lagi Tuhan
Di lanjut usianya tersimpan rapuhnya
Ringankanlah bagi Ibu
Jadikanlah kami pengokohnya
Sebagai dahulu kami telah ditolongnya dalam tak berdaya kami kepadanya
Lembutkan bagi Ibu
Haluskan bagi Ibu
TakdirMU
Dan biar bumi dan sujud kami menjadi saksi
Bahwa kami menyayangi Ibu
maka sayangilah Ibu,Tuhan
Ampuni Ibu
Di syurga Ibu
Kami mendebu
***
Langit kelabu, gemawan nampakkan sendu
Mencari hilang harkat didera nafsu
Sedang semesta merunduk malu untuk wanita bergelar .....Ibu
Kutuliskan risalah ini dengan takdzim
***
Benderang siang menyinari hidupmu
Lihat sosok rupamu ...Alangkah rupawannya dirimu
Dengan afiat dan pandaimu, kau dapatkan segala yang kau mau
Ketika malam menaungimu
Kau tentram dalam sejahteramu
Alangkah nyamannya tidurmu
Walau tiada pernah hadir di ruang mimpimu....wajah Ibu
Berdetak-detak jantungmu
Berdenyut-denyut nadimu
Ada darah Ibu disitu
Kau adalah darah dan dagingnya
Kau adalah tulang sumsumnya
Kau adalah hela nafasnya
Yang ia jaga dan sayangi selama hidupnya
Adakah dalam ingatanmu
Saat perut Ibu terasa mulas
Ia memintamu menuntunnya ke ruang bilas
Lalu kau enggan dan menolongnya malas ?
Dahulu perut itu kau buat pula teramat mulas
Bersimbah darah Ibu melahirkanmu sepenuh ikhlas
Dahulu Ibu lekas menggendongmu saat kau menjerit memelas
Menunggu dan membersihkanmu hingga dari sakit perutmu kau terbebas
Adakah dalam kenanganmu kini
Saat Ibu menahanmu pergi
Ia memintamu tuk menemani
Tapi kau enggan dan menemaninya dalam rajuk dan sepi
Dahulu
Ibu tak pernah tenang bila kau menanti , kemana ia pergi ingin segera kembali
Memburu dan dekapmu kasih,agar kau tak takut dan merasa sunyi
Adakah dalam ruang ibamu
Saat Ibu ingin bertemu
Ia memintamu datang sekedar melepas rindu
Lalu kau enggan dan hampiri ia dalam acuhmu
Dahulu
Pelukan Ibu adalah anjunganmu,
senyum dan tawanya adalah hiburan terisitimewamu
Ibu tak pernah mengeluh, Ibu mencintaimu
Dahulu kau mencari Ibu saat kau dinista teman
Ibu memandangmu teduh, mengusap rambut dan sentuh dadamu nyaman
Ucapkan kalimat ajaibnya dan merengkuhmu dalam
Dahulu kau memanggil-manggil Ibu saat sakit terasa di badan
Ibu mengobati, dia tak tidur berjaga semalaman....
Teteskan airmata, kepada Tuhan Ibu pohonkan kesembuhan
Ibu tak lelah mencinta
Hingga kau dewasa ia tetap menderma
Tak habis-habis kasih dan ikhlasnya
Ibu selalu bersedia hingga disudut usia
Berjuta tetesan air susu Ibu tak bisa kami kembalikan
Bercucuran peluh keringat Ibu tak dapat kami gantikan
Siang dan malam Ibu menderita
Bertahun-tahun Ibu kami buat tersiksa
Namun tiada pernah Ibu meminta bayaran
Tiada sekalipun ibu meminta balasan
Duhai ....apakah gerangan budi balasan
Bagi insan melahirkan membesarkan
Sungguh...
Tiada bahagia jika tiada do'a puja restu
Dimanakah ridha Tuhan jika tiada rela Ibu
Kepada Yang Maha Pengasih kami pintakan kini....
Bahagiakanlah Ibu kami wahai Tuhan
Sayangi Ibu bagai ia menyayangi kami selama ini
Ibu telah tak muda lagi Tuhan
Di tubuh lemahnya tersimpan batasan
Mudahkanlah bagi Ibu
Jadikanlah kami sandaran baginya kini
Sebagai dahulu kami bersandar dalam lemah kami kepadanya
Ibu telah tak sehat lagi Tuhan
Di lanjut usianya tersimpan rapuhnya
Ringankanlah bagi Ibu
Jadikanlah kami pengokohnya
Sebagai dahulu kami telah ditolongnya dalam tak berdaya kami kepadanya
Lembutkan bagi Ibu
Haluskan bagi Ibu
TakdirMU
Dan biar bumi dan sujud kami menjadi saksi
Bahwa kami menyayangi Ibu
maka sayangilah Ibu,Tuhan
Ampuni Ibu
Di syurga Ibu
Kami mendebu
***
Langit kelabu, gemawan nampakkan sendu
Mencari hilang harkat didera nafsu
Sedang semesta merunduk malu untuk wanita bergelar .....Ibu
Dimana Kamu ?
Langit masih menyisakan deris gerimis. Suara penyiar berita di TV tua
kami tak mampu menepis galauku. Kuperbaiki letak ember di ruang
tamuku untuk menampung sisa hujan yang bocor disitu. Bagaimanapun aku
berharap, pemilik rumah ini tetap tak mau memperbaiki atap bocornya
hingga hutang 3 bulanku terlunasi.
"Mama, Nina mau makan"
"Nina mau makan ? tunggu ya nak, Mama selesaikan jahitan ini dulu ya. Cuma sebentar koq. Sini, dekat Mama, Nina tidur di paha Mama aja, nanti Mama buatkan makanan buat Nina ya"
Itu kata-kata terakhirku sebelum akhirnya Nina tertidur di pangkuanku, sedang aku masih berpura-pura menisik baju tetanggaku.Kuusap perut anakku yang lapar, dan air mataku jatuh di wajahnya yang rembulan. Aku tak punya sesuatu untuk dia makan malam ini. Uang terakhirku telah kubelikan obat si sulung yang tengah demam sore tadi.
Terjerat tatapku di foto yang terpaku di dinding kamar. Ada kamu disitu, gagah bersanding denganku di pelaminan merah kita.
"Dimana kamu ?
"Sekuat daya kutahan air mata agar tak jatuh disebabkanmu, namun aku tak pernah berhasil. Aku ingin tegar seperti wanita-wanita kuat lainnya. Aku ingin kuat untuk anak-anakku. Anak-anak kita. Ya, aku harus kuat, besok, harus kuhadapi lagi raksasa-raksasa bermuka seram itu. Menagih hutang yang tak pernah aku tahu kau telah meminjamnya untuk menjadi bebanku. Dan kini telah berbunga berlipat kali. Dan hanya Tuhan yang tahu bagaimana akhirku dengan hutang sebesar itu.
Kusesap tandas teh di cangkirku, ingin kunikmati pahitnya hingga di tegukan terakhir malam ini. Mungkin masih bisa kukurangi perih di lambung dan hatiku . Untuk kumpulkan kembali serpih semangatku yang terserak, demi anak-anakku.....bahkan untuk janin yang terus bergerak di rahimku .
Bogor, 8 Juli 2011
Terinpirasi dari kehidupan nyata seseorang yang kukenal
Dia seorang Ibu dengan 6 orang putra. Kini harus berjuang sendiri tanpa suami yang pergi entah kemana. Bergelut dengan nasibnya untuk membuat anak-anaknya masih bisa makan dan sekolah, sekaligus menghadapi para penagih hutang yang tak berbelas kasih.
Sungguh, di antara hangat kenyamanan kita detik ini, ada tabir yang membatasi kita dengan anak-anak yang merintih kelaparan, dengan anak-anak yang menangis kesakitan karena demam, dengan anak-anak yang pedih hatinya menyaksi ibunya bertahan sendirian dalam tajamnya tikaman kemiskinan, dengan anak-anak yang menatap ibunya dibiarkan sesak tenggelam dalam kerasnya zaman
"Mama, Nina mau makan"
"Nina mau makan ? tunggu ya nak, Mama selesaikan jahitan ini dulu ya. Cuma sebentar koq. Sini, dekat Mama, Nina tidur di paha Mama aja, nanti Mama buatkan makanan buat Nina ya"
Itu kata-kata terakhirku sebelum akhirnya Nina tertidur di pangkuanku, sedang aku masih berpura-pura menisik baju tetanggaku.Kuusap perut anakku yang lapar, dan air mataku jatuh di wajahnya yang rembulan. Aku tak punya sesuatu untuk dia makan malam ini. Uang terakhirku telah kubelikan obat si sulung yang tengah demam sore tadi.
Terjerat tatapku di foto yang terpaku di dinding kamar. Ada kamu disitu, gagah bersanding denganku di pelaminan merah kita.
"Dimana kamu ?
"Sekuat daya kutahan air mata agar tak jatuh disebabkanmu, namun aku tak pernah berhasil. Aku ingin tegar seperti wanita-wanita kuat lainnya. Aku ingin kuat untuk anak-anakku. Anak-anak kita. Ya, aku harus kuat, besok, harus kuhadapi lagi raksasa-raksasa bermuka seram itu. Menagih hutang yang tak pernah aku tahu kau telah meminjamnya untuk menjadi bebanku. Dan kini telah berbunga berlipat kali. Dan hanya Tuhan yang tahu bagaimana akhirku dengan hutang sebesar itu.
Kusesap tandas teh di cangkirku, ingin kunikmati pahitnya hingga di tegukan terakhir malam ini. Mungkin masih bisa kukurangi perih di lambung dan hatiku . Untuk kumpulkan kembali serpih semangatku yang terserak, demi anak-anakku.....bahkan untuk janin yang terus bergerak di rahimku .
Bogor, 8 Juli 2011
Terinpirasi dari kehidupan nyata seseorang yang kukenal
Dia seorang Ibu dengan 6 orang putra. Kini harus berjuang sendiri tanpa suami yang pergi entah kemana. Bergelut dengan nasibnya untuk membuat anak-anaknya masih bisa makan dan sekolah, sekaligus menghadapi para penagih hutang yang tak berbelas kasih.
Sungguh, di antara hangat kenyamanan kita detik ini, ada tabir yang membatasi kita dengan anak-anak yang merintih kelaparan, dengan anak-anak yang menangis kesakitan karena demam, dengan anak-anak yang pedih hatinya menyaksi ibunya bertahan sendirian dalam tajamnya tikaman kemiskinan, dengan anak-anak yang menatap ibunya dibiarkan sesak tenggelam dalam kerasnya zaman
Di Al-Fatihah Keseribu Kita Bertemu
Di al-fatihah keseribu kita bertemu
Lembayung senja rebah di hamparan gulita, saat tangan Syam memeriksa labu infus ketiga di tepi pembaringan istrinya. Warna marun darah yang mengallir pelan di selang infus nampak enggan melewati ruang pandang Syam yang berkabut.
"Jangan ditutup Kak", Annisa berkata lemah, mencegah suaminya menutup gordyn biru di ruang itu.
Lembayung senja rebah di hamparan gulita, saat tangan Syam memeriksa labu infus ketiga di tepi pembaringan istrinya. Warna marun darah yang mengallir pelan di selang infus nampak enggan melewati ruang pandang Syam yang berkabut.
"Jangan ditutup Kak", Annisa berkata lemah, mencegah suaminya menutup gordyn biru di ruang itu.
Sejenak Saja
Izinkan kulepas penat ini ....
dan biarkan kuterbang pada biru langitmu
diantara gemawan yang berarak di tak terbatas putihmu
Hai lembut.....
kukisahkan padamu bergejolak resah
Tentang tandus bumi yang menanti hadirmu
Seakan tiada harap kau akan kembali
Tawarkan kembali teduhmu di bawah bayangmu
Masihkah kau simpan hujan ?
Kekasih yang setia pada basah gerimisnya
Mengeja rintiknya satu persatu
Bak pena penulis lukiskan rindu sang renjana
hmmm.....kutahu kaupun masih sembunyikan pelangi
Agar tak sesiapa mencuri jelitanya
Dan tetap sempurna dalam cahaya senja sehabis hujan...
Wahai pemilik bulir-bulir di lautan
yang setia kepada angin kemanapun ia memperjalankan
Bawalah aku ke negri kedamaian
Yang tiada galau dan kegelisahan
Dimana bercucuran air ketentraman kan membasahi kalbu
Melipurkan luka yang menggores hati
Dan selimuti sukmaku pada satu rindu
Sebentar saja....
Walau hanya sejenak saja....
dan biarkan kuterbang pada biru langitmu
diantara gemawan yang berarak di tak terbatas putihmu
Hai lembut.....
kukisahkan padamu bergejolak resah
Tentang tandus bumi yang menanti hadirmu
Seakan tiada harap kau akan kembali
Tawarkan kembali teduhmu di bawah bayangmu
Masihkah kau simpan hujan ?
Kekasih yang setia pada basah gerimisnya
Mengeja rintiknya satu persatu
Bak pena penulis lukiskan rindu sang renjana
hmmm.....kutahu kaupun masih sembunyikan pelangi
Agar tak sesiapa mencuri jelitanya
Dan tetap sempurna dalam cahaya senja sehabis hujan...
Wahai pemilik bulir-bulir di lautan
yang setia kepada angin kemanapun ia memperjalankan
Bawalah aku ke negri kedamaian
Yang tiada galau dan kegelisahan
Dimana bercucuran air ketentraman kan membasahi kalbu
Melipurkan luka yang menggores hati
Dan selimuti sukmaku pada satu rindu
Sebentar saja....
Walau hanya sejenak saja....
Diantara Misykat Dan Resahnya
Dia bahagia...
Begitu kata orang...
Melihatnya ceria ditengah kesibukannya
Tak salah orang menilai
Padahal ada seonggok sesal di sudut jiwanya
Menemaninya disetiap hiatusnya
Mengapa hanya secuil yang dimilikinya
Disaat ia merasa mampu merengkuhnya dengan seluruh dekapnya
Hanya kepasrahan dari sebuah keterpaksaan
Ketika keadilan tak diperuntukkan bagi dirinya
Bagaimanapun ia mencoba bertahan
Terpuruk juga pada akhirnya
Dia gembira...
Begitu kata orang...
Melihatnya riang ditengah aktivitasnya
Tak salah orang menilai
Padahal ada gundah di relung hatinya
Mengiringinya disetiap diamnya
Mengapa Tuhan memilihkan ini untuknya ?
Disaat ia merasa mampu menjadi yang selainnya
Hanya setangkup do'a terjabarkan
Terbuka segala rahasia perso'alan
Membiarkan kembali syukur menelisik dada
Kembali mencari misykat nan bercahaya
Begitu kata orang...
Melihatnya ceria ditengah kesibukannya
Tak salah orang menilai
Padahal ada seonggok sesal di sudut jiwanya
Menemaninya disetiap hiatusnya
Mengapa hanya secuil yang dimilikinya
Disaat ia merasa mampu merengkuhnya dengan seluruh dekapnya
Hanya kepasrahan dari sebuah keterpaksaan
Ketika keadilan tak diperuntukkan bagi dirinya
Bagaimanapun ia mencoba bertahan
Terpuruk juga pada akhirnya
Dia gembira...
Begitu kata orang...
Melihatnya riang ditengah aktivitasnya
Tak salah orang menilai
Padahal ada gundah di relung hatinya
Mengiringinya disetiap diamnya
Mengapa Tuhan memilihkan ini untuknya ?
Disaat ia merasa mampu menjadi yang selainnya
Hanya setangkup do'a terjabarkan
Terbuka segala rahasia perso'alan
Membiarkan kembali syukur menelisik dada
Kembali mencari misykat nan bercahaya
Aku
Inilah Aku...
Bagaimana kau akan memperumpamakanKU ?
Sedang Aku bukan segala yang dapat kau jelaskan
Aku tidak datang kepadamu, karena Aku tidak jauh
Aku pun tiada pergi darimu, karena Aku tidak berjarak
Jika Aku begitu dekat maka dekatKU tak menyesakkanmu
Jika Aku begitu lekat maka lekatKU tak menyempitkanmu
Aku bukan penunggu dari masa yang lalu
Aku bukan pendatang dari masa yang baru
Aku tak didahului
Aku tak diakhiri
Aku berada dimanapun
Aku tak terdinding ruang
Aku berada kapanpun
Aku tak dihalangi waktu
Aku bergerak sesukaKU
Dan bergerak adalah SifatKU
Aku berkehendak semauku
Dan berkehendak adalah KhasKU
Aku meliputimu
Aku menyertaimu
Aku menunggumu
Dalam pintu nuranimu
Lihat CahayaKU
Kau akan mendapatkan isyaratKU
Datanglah padaKU
Disitu kebahagiaanmu
Inilah Aku...
Berkehendak agar kau pulang kepadaKU
Bagaimana kau akan memperumpamakanKU ?
Sedang Aku bukan segala yang dapat kau jelaskan
Aku tidak datang kepadamu, karena Aku tidak jauh
Aku pun tiada pergi darimu, karena Aku tidak berjarak
Jika Aku begitu dekat maka dekatKU tak menyesakkanmu
Jika Aku begitu lekat maka lekatKU tak menyempitkanmu
Aku bukan penunggu dari masa yang lalu
Aku bukan pendatang dari masa yang baru
Aku tak didahului
Aku tak diakhiri
Aku berada dimanapun
Aku tak terdinding ruang
Aku berada kapanpun
Aku tak dihalangi waktu
Aku bergerak sesukaKU
Dan bergerak adalah SifatKU
Aku berkehendak semauku
Dan berkehendak adalah KhasKU
Aku meliputimu
Aku menyertaimu
Aku menunggumu
Dalam pintu nuranimu
Lihat CahayaKU
Kau akan mendapatkan isyaratKU
Datanglah padaKU
Disitu kebahagiaanmu
Inilah Aku...
Berkehendak agar kau pulang kepadaKU
Di Ruang Tulisanku
Bismillahirrahmanirahim
Kali ini bukan cerpen, bukan puisi bukan pula sebutan-sebutan lainnya. Tetapi sama saja artinya bagiku, buah fikiran dan perasaanku. Tulisanku...
Aku fikir, Allah telah memberi salah satu yang terhebat (setidaknya buatku). Apakah itu?, jawabnya kecanggihan teknologi informasi semacam internet ini. Dan kukira, semua orang berfikir begitu juga saat menyadari apa yang bisa dia buat dengan media ini. Banyak sekali, tak usahlah kusebutkan satu persatu.
Yang jelas, sejak aku mengenal dunia maya ini, tak sadar aku digiring oleh kegemaranku menulis kepada banyak kejutan-kejutan yang memukau. Banyak hal yang tersingkap dari rahasia kehidupan yang seharusnya bisa kujadikan ibrah dan membuatku harus lebih baik menjalani kehidupan ini.
Banyak teman adalah sesuatu hal yang tidak kupercayai dapat kutemukan disini pada awalnya. Di ruang tulisanku. Walaupun aku menyadari internet adalah media informasi dan komunikasi, dan kamar-kamar kreasinya merupakan ruang publik, contohnya seperti blog-ku ini. Namun tetaplah aku merasa nyaman menuangkan segala inspirasi yang singgah di akalku ke dalam bahasa pena dan kalamku. Dan yang paling menyenangkan adalah aku merasa disayangi dan mendapatkan teman-teman baru disini.
Banyak hal mencengangkan bagiku (berlebihankah menurutmu kata ini ? menurutku ini yang sebenarnya) dari kegiatan menulisku di blog ini khususnya. Kutemukan banyak hikmah dari kisah hidup teman atau wataknya atau bahkan kisah cintanya yang bisa kuketahui melalui cara yang tidak terduga.
Cara yang tak terduga namun tetap dalam bahasa tulisan, karena sebagian besar teman bloggerku adalah para penulis. Mulai dari penyampaian yang datar tentang kehidupan pribadinya seperti membahas aktivitas-aktivitas kecilnya disertai memajang foto-foto, ada pula yang menyampaikan dengan gaya penulisan yang cerdas tetapi sangat kocak hingga membuatku tertawa sendiri di depan monitorku, ada yang menumpahkan bahagianya karena sedang mengalami jatuh cinta, mengungkapkan kesyukuran hingga kisah pribadi yang menyakitkan dan mengharu biru perasaanku.
Aku pernah mengira, jika aku merasa telah kehilangan teman berbicara, teman terakhirku adalah tulisan.
Namun disini, aku menemukan teman justru karena tulisan dan demikian juga dengan mereka.
Namun disini, aku menemukan teman justru karena tulisan dan demikian juga dengan mereka.
Semoga bukan sekedar pekerjaan sia-sia
Bermain-main kalimat dan kata-kata
Berharap menjadi amal shalih yang bermakna
Menjadi bekal pulang ke asalnya
Bermain-main kalimat dan kata-kata
Berharap menjadi amal shalih yang bermakna
Menjadi bekal pulang ke asalnya
Tulisan telah menjadi tali persahabatan, menyambung cinta dan kasih sayang. Dengannya silaturahmi dijalinkan dan semoga tetap demikian adanya Bahkan Allah tambahkan dan tambahkan kebaikan disana
Allahumma aamiin
Bagai Ikan Dalam Samudra
Setiap lembar terbang daunMU
Setiap percik jatuh hujanMU
Setiap butir bergerak pasirMU
Tiada yang diluar KuasaMU
Setiap bisik suara makhlukMU
Setiap titik pandang hambaMU
Setiap desir rasa CiptaanMU
Tiada yang diluar JangkauanMU
Selalu menyertaiku
Selalu memelukku
Selalu bersamaku
Bagai ikan dalam samudra, KAU meliputiku
Tiada tabir perindu tuk bertemu
Tiada tempat pendosa tuk sembunyi
Tiada yang pantas tuk dicinta
Selain DIA, yang Allah asmaNYA
Setiap percik jatuh hujanMU
Setiap butir bergerak pasirMU
Tiada yang diluar KuasaMU
Setiap bisik suara makhlukMU
Setiap titik pandang hambaMU
Setiap desir rasa CiptaanMU
Tiada yang diluar JangkauanMU
Selalu menyertaiku
Selalu memelukku
Selalu bersamaku
Bagai ikan dalam samudra, KAU meliputiku
Tiada tabir perindu tuk bertemu
Tiada tempat pendosa tuk sembunyi
Tiada yang pantas tuk dicinta
Selain DIA, yang Allah asmaNYA
Jangan Yang Tersisa
Sejak seorang ibu mengandung putra/i dalam rahimnya dan sang ayah
menyadarinya, telah terkandung pula bersamanya tekad untuk memberikan
yang terbaik. Ibu makan makanan yang bergizi, dia minum minuman yang
bernutrisi. Ayah siapkan bekal untuk kehadiran tamu istimewa ini.
Dibelinya baju-baju untuk calon bayi yang terlucu yang bisa dia beli.
Disiapkannya segala perlengkapan untuk memuliakan kehadiran sang bayi.
Apabila waktu berjalan dan bayi dalam rahim Ibu semakin membesar, semakin bertambah cobaan di dalam diri. Mual dan pening setiap hari. Tidur telah tak nyenyak lagi. Sementara tugas sehari-hari tetap menanti. Seorang Ibu tak bisa barang sejenak berhenti dari kebaikan, apalagi jika ada anak-anak kandung lain yang meminta diberi perhatian dan kasih sayang. Ayah yang pemurah tempat berbagi tanggung jawab, ia menjadi teman dalam kerisauan menghadapi hari-hari saat tiba hari kelahiran. Bersama Ayah, Ibu menghadapi setiap cobaan Tuhan. Berharap yang terbaik bagi sang jabang bayi yang dirindukan.
Tiba saatnya perih pedih di perut Ibu. Seribu sakit dan derita menjadi satu. Tak ada yang dapat turut merasakan nyeri di tubuh rapuh. Hanya kepada Allah tempat Ibu mengadu.
Badan bergetar, sakit dan ngilu diseluruh badan, darah bersimbah mengiringi kelahiran. Terkadang Ayah harus mencari pertolongan agar Ibu dapat bertahan. Tak tertahan lagi taqdir dari Tuhan. Akhirnya sang bayi lahir di pangkuan. Disambut haru dan airmata bercucuran. Ayah mencium dan mengumandangkan Iqamah dan Azan. Agar Asmanya Tuhan yang pertama hadir di pendengaran.
Allaahu Akbar...
Tibalah hari-hari melelahkan. Hari-hari penuh cobaan. Sekaligus hari penuh pahala dan keberkahan.
Ibu merawat, menyusui dan menidurkan...
Mencuci pakaian dari segala kotoran...
Ayah bekerja menjemput harapan
Agar dapat memberi yang terbaik untuk istri dan anak
Jika anak telah dewasa, tak berhenti kasih sayang dan tanggung jawab diberikan
Untuk pendidikan terbaik sang anak, terkadang Ibu harus menjual perhiasan kesayangannya
Jika anak terbaring sakit, terkadang Ayah harus mendatangi pintu orang mengharap uang pinjaman
Jika anak menginginkan sesuatu "kelapangan dunia", Ayah dan Ibu rela menjadi "berkurang dan sempit dunianya" karenanya
Selama hayat dikandung badan
Ayah dan Ibu akan selalu berjuang
Diliputi do'a-do'a bertuah mereka
Untuk sang anak tumpuan harapan
KINI TINGGALAH PERTANYAAN BESAR
Mengapa Allah telah berfirman
Bahwa Ayah dan Ibu semua insan
Telah menjadi yang kedua setelah Tuhan
Tempat syukur setiap anak dipersembahkan
Walau bagaimanapun keadaan tuan
Baik kelapangan ataupun kesempitan
Jangan yang tersisa yang kau berikan
Kepada orang tua yang melahirkan membesarkan
Jika ada waktu dan tenagamu tersisa, baru kau luangkan untuk sekedar mengunjungi mereka
Jika ada uang dan hartamu tersisa baru kau sisihkan untuk "jajan" mereka
Jika ada ruang di rumahmu tersisa baru kau persilahkan menjadi tempat berteduh mereka
Jika ada sedikit bakatmu tersisa baru kau tuliskan puisi sederhana untuk mereka
Jika ada ingatanmu tersisa baru kau panjatkan do'a pendek untuk mereka
Sedang selama hidup sejak kita dilahirkan , Ayah dan Ibu selalu memberikan yang terbaik untuk kita
Masa muda mereka telah habis untuk mencintai kita dan mewujudkannya
Walau siapapun berkata itu telah menjadi kewajiban mereka
Namun tetaplah kita tak lebih berharga dibanding jerih payah mereka telah menyayangi dan mencinta
Seberapa besarpun kita berusaha menggantinya
Tak pernah bisa kita membayar harga pengorbanan dan ketulusan mereka
Hanya satu yang Tuhan berikan kesempatan untuk kita
Bahagiakan Ibu dan Ayah kita
Dengan yang terbaik yang kita bisa
Seperti yang terbaik yang kita beri untuk anak-anak kita
Serta menyertakan mereka selalu dalam setiap do'a
Jangan beri yang tersisa dari yang kita punya
Untuk insan yang berkorban nyawa dan harta
Sebelum tiba masanya...
Kita ingin memberi segala
Namun telah tak bisa
Karena mereka telah tiada.....
Semoga Allah selalu memberikan kebahagiaan untuk orang tua kita semua, aamiin
Apabila waktu berjalan dan bayi dalam rahim Ibu semakin membesar, semakin bertambah cobaan di dalam diri. Mual dan pening setiap hari. Tidur telah tak nyenyak lagi. Sementara tugas sehari-hari tetap menanti. Seorang Ibu tak bisa barang sejenak berhenti dari kebaikan, apalagi jika ada anak-anak kandung lain yang meminta diberi perhatian dan kasih sayang. Ayah yang pemurah tempat berbagi tanggung jawab, ia menjadi teman dalam kerisauan menghadapi hari-hari saat tiba hari kelahiran. Bersama Ayah, Ibu menghadapi setiap cobaan Tuhan. Berharap yang terbaik bagi sang jabang bayi yang dirindukan.
Tiba saatnya perih pedih di perut Ibu. Seribu sakit dan derita menjadi satu. Tak ada yang dapat turut merasakan nyeri di tubuh rapuh. Hanya kepada Allah tempat Ibu mengadu.
Badan bergetar, sakit dan ngilu diseluruh badan, darah bersimbah mengiringi kelahiran. Terkadang Ayah harus mencari pertolongan agar Ibu dapat bertahan. Tak tertahan lagi taqdir dari Tuhan. Akhirnya sang bayi lahir di pangkuan. Disambut haru dan airmata bercucuran. Ayah mencium dan mengumandangkan Iqamah dan Azan. Agar Asmanya Tuhan yang pertama hadir di pendengaran.
Allaahu Akbar...
Tibalah hari-hari melelahkan. Hari-hari penuh cobaan. Sekaligus hari penuh pahala dan keberkahan.
Ibu merawat, menyusui dan menidurkan...
Mencuci pakaian dari segala kotoran...
Ayah bekerja menjemput harapan
Agar dapat memberi yang terbaik untuk istri dan anak
Jika anak telah dewasa, tak berhenti kasih sayang dan tanggung jawab diberikan
Untuk pendidikan terbaik sang anak, terkadang Ibu harus menjual perhiasan kesayangannya
Jika anak terbaring sakit, terkadang Ayah harus mendatangi pintu orang mengharap uang pinjaman
Jika anak menginginkan sesuatu "kelapangan dunia", Ayah dan Ibu rela menjadi "berkurang dan sempit dunianya" karenanya
Selama hayat dikandung badan
Ayah dan Ibu akan selalu berjuang
Diliputi do'a-do'a bertuah mereka
Untuk sang anak tumpuan harapan
KINI TINGGALAH PERTANYAAN BESAR
Mengapa Allah telah berfirman
Bahwa Ayah dan Ibu semua insan
Telah menjadi yang kedua setelah Tuhan
Tempat syukur setiap anak dipersembahkan
Walau bagaimanapun keadaan tuan
Baik kelapangan ataupun kesempitan
Jangan yang tersisa yang kau berikan
Kepada orang tua yang melahirkan membesarkan
Jika ada waktu dan tenagamu tersisa, baru kau luangkan untuk sekedar mengunjungi mereka
Jika ada uang dan hartamu tersisa baru kau sisihkan untuk "jajan" mereka
Jika ada ruang di rumahmu tersisa baru kau persilahkan menjadi tempat berteduh mereka
Jika ada sedikit bakatmu tersisa baru kau tuliskan puisi sederhana untuk mereka
Jika ada ingatanmu tersisa baru kau panjatkan do'a pendek untuk mereka
Sedang selama hidup sejak kita dilahirkan , Ayah dan Ibu selalu memberikan yang terbaik untuk kita
Masa muda mereka telah habis untuk mencintai kita dan mewujudkannya
Walau siapapun berkata itu telah menjadi kewajiban mereka
Namun tetaplah kita tak lebih berharga dibanding jerih payah mereka telah menyayangi dan mencinta
Seberapa besarpun kita berusaha menggantinya
Tak pernah bisa kita membayar harga pengorbanan dan ketulusan mereka
Hanya satu yang Tuhan berikan kesempatan untuk kita
Bahagiakan Ibu dan Ayah kita
Dengan yang terbaik yang kita bisa
Seperti yang terbaik yang kita beri untuk anak-anak kita
Serta menyertakan mereka selalu dalam setiap do'a
Jangan beri yang tersisa dari yang kita punya
Untuk insan yang berkorban nyawa dan harta
Sebelum tiba masanya...
Kita ingin memberi segala
Namun telah tak bisa
Karena mereka telah tiada.....
"Rabbigfirly waaliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani shagiiraa...'
"Wahai
Tuhan kami ampunilah kami serta orang tua kami. Dan sayangilah orang
tua kami sebagaimana mereka telah menyayangi kami..."
Allahumma Aamiin
Semoga Allah selalu memberikan kebahagiaan untuk orang tua kita semua, aamiin
(Catatan ini didedikasikan khususnya untuk
orang tuaku tercinta Ibu Hj.Herawati dan Bpk H. Djadjang Koeryana serta
almh. Ibu Hj. Ayi Sumiati dan alm. Bpk H. Eman Masna Karnadimadja serta
para orang tua di seluruh dunia)
Mendengar Tapi Tak Bisa Mengenal Suara
Membaca sebuah artikel hari ini dari detikHealth tentang sesuatu yang baru saya dengar, tetapi membangkitkan ingatan lama saya tentang sesuatu. Isi artikel itu diantaranya adalah sebagai berikut :
* Manusia dikaruniai kemampuan
untuk membedakan suara tiap orang. Dengan kemampuannya itu, suara anak,
suara ibu, suara suami, suara teman mampu diidentifikasi dan
dibedakan. Ketika ada suara orang bicara bukan di depannya, manusia
mampu menebak suara siapa itu.
Tapi bagaimana jadinya jika sepanjang hidup, seseorang tidak pernah bisa membedakan suara, termasuk suara anggota keluarganya yang sehari-hari di dengar.
Kasus itu dialami wanita pengusaha asal Inggris yang sejak kecil tak mampu mengidentifikasi suara orang. Perempuan berinisial KH yang berusia 62 tahun itu tidak tuli. Dia mampu mendengar suara tapi di otaknya semua suara adalah sama sehingga tidak bisa mengenali ciri suara masing-masing orang.
Ketidakmampuan mengenali suara itu dalam dunia medis dikenal dengan istilah phonagnosia. Kasus ini pertama kali diteliti oleh ilmuwan University College London (UCL) yang telah diterbitkan dalam jurnal Neuropsychologia tahun 2008.
Tapi bagaimana jadinya jika sepanjang hidup, seseorang tidak pernah bisa membedakan suara, termasuk suara anggota keluarganya yang sehari-hari di dengar.
Kasus itu dialami wanita pengusaha asal Inggris yang sejak kecil tak mampu mengidentifikasi suara orang. Perempuan berinisial KH yang berusia 62 tahun itu tidak tuli. Dia mampu mendengar suara tapi di otaknya semua suara adalah sama sehingga tidak bisa mengenali ciri suara masing-masing orang.
Ketidakmampuan mengenali suara itu dalam dunia medis dikenal dengan istilah phonagnosia. Kasus ini pertama kali diteliti oleh ilmuwan University College London (UCL) yang telah diterbitkan dalam jurnal Neuropsychologia tahun 2008.
Hal yang paling menakutkan baginya adalah ketika menerima telepon. Sampai-sampai dia harus membat jadwal khusus siapa saja yang akan menelpon pada jam tertentu.
Scan otak yang dilakukan terhadap KH mengungkapkan bahwa bagian otak sebelah kanan yang dikenal sebagai daerah temporal suara ternyata bekerja kurang aktif, sementara aktivitas otak bagian kiri normal.
Penemuan ini menunjukkan bahwa dalam otak manusia, sisi kanan lebih penting dalam pengenalan suara sementara kiri digunakan untuk memahami kata-kata.
Sejauh ini Phonagnosia diketahui karena adanya gangguan lesi otak di belahan kanan setelah stroke atau kerusakan otak. Namuan dalam kasus KH, scan menunjukkan tidak ada bukti kerusakan otak di daerah yang terkait dengan suara atau persepsi pendengaran dan kemampuan pendengarannya ditemukan normal.
Menurut Profesor Belin Pascal, ilmuwan syaraf kognitif di Universitas Glasgow, mengidentifikasi suara adalah hal penting bagi seseorang terutama ketika ditelepon.
"Kita bisa menebak siapa orang di telepon tapi orang dengan phonagnosia tidak mampu melakukan ini," katanya seperti dilansir dari telegraph.
Otak manusia juga mampu mengenali suara berdasarkan ciri dari orang tersebut seperti suara serak, kasar, cempreng, merdu atau yang lainnya.
Subhanallah...
Sebuah pelajaran untuk saya. Bagaimana jika ternyata kejadian atau kelainan serupa telah terjadi pula kepada saya khususnya dan mungkin juga pada kebanyakan kita selama ini.
Setiap hari pada peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita, kita selalu mendengar suara-suara seperti suara anak menangis , suara pengemis menghiba, suara suami menasehati, suara istri mengungkapkan isi hati, suara orang tua mengungkapkan kerinduannya, suara kucing mengeong meminta makan, suara daun-daun di pepohonan berdesir saat ditiup angin sepoi, suara ombak menghempas karang hingga suara tsunami yang mengguncang, suara adzan berkumandang, suara orang berdzikir seperti suara lebah, suara hujan gerimis hingga curahnya menderas, suara petir dan guntur menggelegar, suara gemuruh gempa dan gunung meletus, suara presenter di televisi, suara orang sedang bernyanyi, suara tangis orang yang ditinggal wafat keluarganya dan ribuan suara lainnya di dunia ini.
Kita mendengarnya setiap hari, dan hampir tak memperdulikannya lagi karena telah terbiasa memilikinya.
Pada kenyataannya ternyata, kita punya telinga, namun tak bisa mengenali hakikatnya "suara siapakah" semua itu sebenarnya.
Karena bahkan pendengaran bathin kita pun telah terhijab oleh semua yang bisa terlihat oleh mata lahir ini. Kita mengira sudah berakhir segala yang terdengar ini hanya sampai disitu saja. Sehingga jika yang kita dengar itu "enak" maka kita habis-habisan menyimaknya, menikmatinya. Dan jika yang kita dengar itu "tidak enak" maka kita pun mati-matian menjauhinya, menutup telinga tak ingin menangkap suaranya.
Semua suara-suara yang kita dengar oleh pendengaran kita yang sangat lemah ini hakikatnya adalah "Suaranya Tuhan". Suara yang yang mengiringi kita dalam perjalanan kehidupan ini.
Kita tak pernah mengira
sesungguhnya semua suara itu adalah "SuaraNYA" yang memberi kabar kepada
kita tentang keberadaanNYA. Bahwa DIA itu ada, hadir dan senantiasa
menyertai dan meliputi kita. "SuaraNYA" membimbing kita seperti
mercusuar yang membimbing kapal-kapal di lautan di perjalanan malam tak
berbintang.
"SuaraNYA" menuntun kita seperti menara pengawas di Bandara
menuntun pesawat-pesawat yang akan lepas landas atau mendarat.
"SuaraNYa menyinari" langkah kita agar dapat pulang kembali kepadaNYA
dengan selamat sehingga sampai.
Sayang seribu sayang...
Jika mempunyai telinga tapi tak bisa mendengar
Tetapi lebih menyesal
Jika bisa mendengar tetapi tak bisa mengenal
Maha Besar Allah yang Maha Mendengar segala "suara" hamba-hambaNYA
Sayang seribu sayang...
Jika mempunyai telinga tapi tak bisa mendengar
Tetapi lebih menyesal
Jika bisa mendengar tetapi tak bisa mengenal
Maha Besar Allah yang Maha Mendengar segala "suara" hamba-hambaNYA
Negeri Di Ujung Pelangi
Ada suatu negeri...
Siangnya teduh...Malamnya bercahaya...
Penduduknya santun, keadaannya bersahaja...
Tak ada kebencian disana
Hanya damai dan gelak tawa...
Bunga-bunganya wangi semerbak
Jika disentuh memancarkan sinar dan warna
Burung dan ikan dapat berbicara
Angin dan hujannya mengalun-alunkan nada
Duhai tentramnya...
Di negeri itu senyuman bertebar dimana-mana
Setiap hari adalah hari raya
Sapa dan salam selalu ditaburkan
Kepada siapa saja menjadi sahabat dan saudara
Semua insan nampak belia
Menabur sayang memercikkan cinta...
Indahnya pemandangan di mimpi
Tentang negeri di ujung pelangi
Siangnya teduh...Malamnya bercahaya...
Penduduknya santun, keadaannya bersahaja...
Tak ada kebencian disana
Hanya damai dan gelak tawa...
Bunga-bunganya wangi semerbak
Jika disentuh memancarkan sinar dan warna
Burung dan ikan dapat berbicara
Angin dan hujannya mengalun-alunkan nada
Duhai tentramnya...
Di negeri itu senyuman bertebar dimana-mana
Setiap hari adalah hari raya
Sapa dan salam selalu ditaburkan
Kepada siapa saja menjadi sahabat dan saudara
Semua insan nampak belia
Menabur sayang memercikkan cinta...
Indahnya pemandangan di mimpi
Tentang negeri di ujung pelangi
Yang Pemurah
Pada suatu masa di suatu tempat di Persia, hidup dua orang pemuda yang
bersahabat. Keduanya sama bekerja sebagai pedagang disebuah pasar.
Seorang berjualan kain bernama Salman sedang yang lain berjualan tepung
gandum bernama Rustam.Keduanya tinggal di daerah yang sama hanya berbeda
apartemen.
Rustam:"Wah tumpah lagi, maafkan aku ya Salman..."
Rustam tidak menjawab mulutnya hanya meringis saja. Ini yang kesekian kali Salman menumpahkan sesuatu ke bajunya, karena memang tangan Salman agak lemah setelah diserang penyakit diwaktu masa kecilnya. Ayahanda Fahreza menuangkan gulai kedalam piring anaknya seraya berkata:
"Ya kalau cuma maaf gampang, tapi kalau sering tidak hati-hati begini, aku bisa rugi kawan,tuh tepungku jadi tumpah,pembeli mana mau tepung yang kotor".
Salman meringis, ia sangat menyesal telah menumpahkan dagangan kawannya karena keteledorannya.
Salman dan Rustam sama-sama menyukai seorang gadis yang mereka kenal di pasar, namun gadis itu ternyata telah memilih dan menerima pinangan Rustam. Walaupun Salman telah mengetahui hal tersebut dan hatinya merasa kecewa, namun jika mereka bertemu Salman berusaha tetap ramah kepada gadis itu sehingga menimbulkan kecemburuan Rustam. Pada suatu siang di depan kios mereka, Salman dan Rustam nampak sedang berbincang-bincang, terdengar Salman berkata:
"Tapi Salman, akupun minta maaf telah mencintai dan meminang gadis yang juga kau cintai. Ternyata dia menerima pinanganku,bukan pinanganmu. Aku harap kau tidak apa-apa".Rustam menepuk pundak Salman. Salman tersenyum lalu berkata:
"Tidak mengapa kawan, ini bermakna bahwa dia bukan jodohku,dialah jodohmu. Allah akan memilihkan untukku milikku.Insha Allah"
Keduanya tersenyum lalu Rustam meninggalkan Salman untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.
Tanpa keduanya sadari, Fahreza menyaksikan semuanya selama ini. Dia selalu berada di tempat ayahnya tidak jauh dari kios Salman dan Rustam, sehingga mengetahui apa yang sehari-hari terjadi.
"Paman, mengapa kau maafkan dia saat dia memintanya karena telah mengotori kain-kainmu dengan tepung gandumnya. Sedang dia belum memaafkanmu saat kau memintanya karena menumpahkan gulai ke kakinya?"
"Paman, mengapa kau maafkan dia saat dia memintanya padahal kau telah kehilangan pembeli karena membantu mengangkat karung gandumnya yang basah. Sedang dia belum memaafkanmu saat kau memintanya karena kau senggol tangannya sehingga tumpah gandumnya."
"Paman, mengapa kau maafkan dia saat dia memintanya karena telah mengambil gadis yang kau cintai, sedang dia belum memaafkanmu saat kau memintanya karena telah beramah-ramah dengan gadisnya?"
Mendengar pertanyaan-pertanyaan Fahreza, Salman tersenyum, lalu merangkul pundak anak itu dan mengajaknya duduk di kiosnya,lalu Salman berkata:
"Reza,kuharap kau mendengarkan kata-kataku agar kau mengerti. Paman Rustam tidak mudah memaafkan kesalahanku, karena ia ingin aku belajar dari kesalahanku supaya tidak aku ulangi lagi di lain hari. Sedang aku ingin mudah memaafkannya, karena aku ingin Allah Tuhanku-pun ,mudah memaafkanku saat aku memintanya. Dia Maha Pemurah, selalu terbuka maaf dan ampunannya bagi hamba-hambaNYA yang mau bertaubat. Aku ingin belajar memaafkan kesalahan orang tanpa perhitungan, karena aku merindukan Allah pun akan memaafkan kesalahanku tanpa perhitungan, sedang Dia itu Maha Pemurah, Maha Pengampun lagi Maha Bijaksana."
Fahreza mendapat pelajaran hari itu, kini ia mengetahui mengapa kedua pamannya begitu berbeda.
------------------------------------------------------------------------------
Bogor, 4 April 2010
Disamping mereka, ada juga seorang anak bernama Fahreza yang
sering bertemu keduanya di pasar,karena orang tua Fahreza juga berjualan
di pasar itu yang letak kiosnya bersebelahan dengan kios keduanya.
Pada suatu siang, seperti biasa Salman sedang membereskan gulungan kain-kainnya di kiosnya. Pada saat yang bersamaan Rustam membawa dua karung gandum ke kiosnya lalu menumpahkan isinya kedalam kotak terdepan di kiosnya,karena terburu-buru, isi karung tumpah sebagian keluar dari kotak penyimpanannya sehingga tepung gandum dan banyak "debunya" mengenai dan mengotori kain-kain jualan Salman.
Pada suatu siang, seperti biasa Salman sedang membereskan gulungan kain-kainnya di kiosnya. Pada saat yang bersamaan Rustam membawa dua karung gandum ke kiosnya lalu menumpahkan isinya kedalam kotak terdepan di kiosnya,karena terburu-buru, isi karung tumpah sebagian keluar dari kotak penyimpanannya sehingga tepung gandum dan banyak "debunya" mengenai dan mengotori kain-kain jualan Salman.
Rustam:"Wah tumpah lagi, maafkan aku ya Salman..."
Salman:" Tidak apa-apa kawan,biar kubersihkan lagi kainnya,yang kotor cuma sedikit kok"
Kejadian ini sering terjadi,namun Salman tidak keberatan karena Rustam selalu meminta maaf.
Pada hari yang lain,saat istirahat siang, Salman dan Rustam diajak makan bersama orang tua Fahreza di kiosnya, Keduanya dipersilahkan untuk mencicipi gulai kambing yang dimasak ibunda Fahreza. Saat Salman mengambil gulai ke dalam piringnya, gulai panas yang ada di sendoknya tanpa sengaja tumpah ke paha Rustam yang sedang bersila. Tanpa dikomando,Rustam mengaduh kepanasan.
Pada hari yang lain,saat istirahat siang, Salman dan Rustam diajak makan bersama orang tua Fahreza di kiosnya, Keduanya dipersilahkan untuk mencicipi gulai kambing yang dimasak ibunda Fahreza. Saat Salman mengambil gulai ke dalam piringnya, gulai panas yang ada di sendoknya tanpa sengaja tumpah ke paha Rustam yang sedang bersila. Tanpa dikomando,Rustam mengaduh kepanasan.
Salman:"Innalillahi, Rustam maafkan saya,saya tidak sengaja..."
Rustam tidak menjawab mulutnya hanya meringis saja. Ini yang kesekian kali Salman menumpahkan sesuatu ke bajunya, karena memang tangan Salman agak lemah setelah diserang penyakit diwaktu masa kecilnya. Ayahanda Fahreza menuangkan gulai kedalam piring anaknya seraya berkata:
"Ayo
silahkan dimakan nanti keburu dingin gulainya".Mereka berempatpun makan
dengan nikmatnya.
Dihari yang lain, dimana saat itu sedang hujan deras, Salman sedang didatangi pembeli yang menawar kainnya. Tiba-tiba datang Rustam menghampiri Salman seraya berbisik kepadanya:
Dihari yang lain, dimana saat itu sedang hujan deras, Salman sedang didatangi pembeli yang menawar kainnya. Tiba-tiba datang Rustam menghampiri Salman seraya berbisik kepadanya:
"Salman,tolong aku sebentar ,kiosku bocor atapnya,bisa kau bantu aku mengangkat karung-karung tepungku takut kebasahan ?".
Salman menatap pembelinya dan sahabatnya, tanpa waktu lama Salman pamit
sebentar kepada pembelinya untuk menolong sahabatnya karena fikirnya
tepung-tepung milik Rustam tidak akan laku terjual jika kebasahan kena
air hujan.
Saat tepung-tepung itu selesai dipindahkan, Salman kembali ke
kiosnya yang terletak disebelah kios Rustam, dilihatnya pembeli yang tadi
menawar dagangannya telah pergi dan tidak kembali lagi hingga sore
hari. Menyadari hal itu Rustam berkata:
"Salman,aku minta maaf,gara-gara aku kau kehilangan pelangganmu hari ini".
"Tidak apa-apa kawan, rezeki kita kan sudah diatur, yang tadi berarti belum rejekiku".
Rustam tersenyum,lalu melanjutkan lagi pekerjaannya.
Dihari berikutnya, Rustam sedang menimbang tepung gandumnya. Dari kejauhan ia melihat Salman sedang memikul gulungan panjang kain di pundaknya hendak dibawa masuk ke dalam kiosnya. tanpa sengaja, saat hendak berbelok ke pintu kiosnya, gulungan kain Salman yang panjang, ujungnya mengenai pundak Rustam agak keras,sehingga tangan Rustam yang sedang memegang cidukan tepung terlepas dan tepungnya berhamburan. Menyadari itu,Salman segera meminta maaf:
Rustam tersenyum,lalu melanjutkan lagi pekerjaannya.
Dihari berikutnya, Rustam sedang menimbang tepung gandumnya. Dari kejauhan ia melihat Salman sedang memikul gulungan panjang kain di pundaknya hendak dibawa masuk ke dalam kiosnya. tanpa sengaja, saat hendak berbelok ke pintu kiosnya, gulungan kain Salman yang panjang, ujungnya mengenai pundak Rustam agak keras,sehingga tangan Rustam yang sedang memegang cidukan tepung terlepas dan tepungnya berhamburan. Menyadari itu,Salman segera meminta maaf:
"Ya Allah,Rustam maafkan aku, aku tidak hati-hati, kamu tidak apa-apa kan?"
Salman bertanya khawatir. Rustam menepuk-nepuk tangannya yang penuh dengan tepung gandum yang tumpah:
Salman bertanya khawatir. Rustam menepuk-nepuk tangannya yang penuh dengan tepung gandum yang tumpah:
"Ya kalau cuma maaf gampang, tapi kalau sering tidak hati-hati begini, aku bisa rugi kawan,tuh tepungku jadi tumpah,pembeli mana mau tepung yang kotor".
Salman meringis, ia sangat menyesal telah menumpahkan dagangan kawannya karena keteledorannya.
Salman dan Rustam sama-sama menyukai seorang gadis yang mereka kenal di pasar, namun gadis itu ternyata telah memilih dan menerima pinangan Rustam. Walaupun Salman telah mengetahui hal tersebut dan hatinya merasa kecewa, namun jika mereka bertemu Salman berusaha tetap ramah kepada gadis itu sehingga menimbulkan kecemburuan Rustam. Pada suatu siang di depan kios mereka, Salman dan Rustam nampak sedang berbincang-bincang, terdengar Salman berkata:
"Rustam, bagaimanapun aku pernah mencintai gadis itu, maafkan aku jika aku telah lancang beramah-ramah kepadanya".
Rustam diam, wajahnya tak bergeming, lalu ia berkata:
Rustam diam, wajahnya tak bergeming, lalu ia berkata:
"Sudahlah jangan minta maaf dulu, lebih baik kamu fikirkan apa kesalahanmu supaya tidak kau ulang lagi dimasa yang akan datang".
Salman terdiam mendengar kata-kata sahabatnya. Rustampun melanjutkan :
"Tapi Salman, akupun minta maaf telah mencintai dan meminang gadis yang juga kau cintai. Ternyata dia menerima pinanganku,bukan pinanganmu. Aku harap kau tidak apa-apa".Rustam menepuk pundak Salman. Salman tersenyum lalu berkata:
"Tidak mengapa kawan, ini bermakna bahwa dia bukan jodohku,dialah jodohmu. Allah akan memilihkan untukku milikku.Insha Allah"
Keduanya tersenyum lalu Rustam meninggalkan Salman untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.
Tanpa keduanya sadari, Fahreza menyaksikan semuanya selama ini. Dia selalu berada di tempat ayahnya tidak jauh dari kios Salman dan Rustam, sehingga mengetahui apa yang sehari-hari terjadi.
Melihat Rustam
telah pergi, ia berlari menghampiri Salman.
Setelah keduanya bertemu,Fahreza bertanya kepada Salman:
Setelah keduanya bertemu,Fahreza bertanya kepada Salman:
"Paman, mengapa kau maafkan dia saat dia memintanya karena telah mengotori kain-kainmu dengan tepung gandumnya. Sedang dia belum memaafkanmu saat kau memintanya karena menumpahkan gulai ke kakinya?"
"Paman, mengapa kau maafkan dia saat dia memintanya padahal kau telah kehilangan pembeli karena membantu mengangkat karung gandumnya yang basah. Sedang dia belum memaafkanmu saat kau memintanya karena kau senggol tangannya sehingga tumpah gandumnya."
"Paman, mengapa kau maafkan dia saat dia memintanya karena telah mengambil gadis yang kau cintai, sedang dia belum memaafkanmu saat kau memintanya karena telah beramah-ramah dengan gadisnya?"
Mendengar pertanyaan-pertanyaan Fahreza, Salman tersenyum, lalu merangkul pundak anak itu dan mengajaknya duduk di kiosnya,lalu Salman berkata:
"Reza,kuharap kau mendengarkan kata-kataku agar kau mengerti. Paman Rustam tidak mudah memaafkan kesalahanku, karena ia ingin aku belajar dari kesalahanku supaya tidak aku ulangi lagi di lain hari. Sedang aku ingin mudah memaafkannya, karena aku ingin Allah Tuhanku-pun ,mudah memaafkanku saat aku memintanya. Dia Maha Pemurah, selalu terbuka maaf dan ampunannya bagi hamba-hambaNYA yang mau bertaubat. Aku ingin belajar memaafkan kesalahan orang tanpa perhitungan, karena aku merindukan Allah pun akan memaafkan kesalahanku tanpa perhitungan, sedang Dia itu Maha Pemurah, Maha Pengampun lagi Maha Bijaksana."
Fahreza mendapat pelajaran hari itu, kini ia mengetahui mengapa kedua pamannya begitu berbeda.
------------------------------------------------------------------------------
Bogor, 4 April 2010
Tersenyumlah Bumi
Bumi berkaca-kaca...
Rintihnya memilukan hati...
Ia bertanya-tanya....
Tiada satupun yang menjawabnya...
Ujarnya....
Wahai Hari ....
Mengapa tak kutemukan terangmu ?......
Kau tak tersenyum hari ini...
Sedang DIA menciptakanmu untuk menambah harapanku
Apakah kau melihat manusia melakukan dosa di sinarmu ?
Tersenyumlah matahariku...
Tak semua telah membuatmu nestapa...
Wahai Hujan....
Mengapa tak kutemukan basahmu ?....
Kau tak tersenyum hari ini...
Sedang DIA menciptakanmu untuk menyuburkanku
Apakah kau melihat manusia melakukan nista di pantulan airmu ?...
Tersenyumlah pelangiku...
Tak semua telah membuatmu lara....
Wahai Senja....
Mengapa tak kutemukan jinggamu ?....
Kau tak tersenyum hari ini...
Sedang DIA menciptakanmu untuk ketentramanku
Apakah kau melihat manusia melakukan khilaf di lembayungmu ?
Tersenyumlah kelamku...
Tak semua telah membuatmu duka...
Wahai Angin...
Mengapa tak kutemukan sejukmu ?
Kau tak tersenyum hari ini...
Sedang DIA menciptakanmu untuk mengasuhku...
Apakah kau melihat manusia melakukan ma'siyat di selendangmu ?
Tersenyumlah buaianku...
Tak semua telah membuatmu bermuram durja
Sshh.....sshh.....sshhh
Heninglah....!!!
Suara siapakah itu ?...
Sshh....sshh...sshh
Wahai Bumi....
Aku Embun di daun kering....
Aku datang dari negeri yang jauh...
Dituntun angin yang tak ingin kau tahu kehadirannya
Wahai Bumi....
Mengapa tak kutemukan ikhlasmu ?
Kau tak tersenyum hari ini...
Sedang DIA menciptakanmu untuk menangkup Qadha'-NYA
Kau tempat semua yang diberi kehidupan berjalan...
Kau tempat semua yang bernafsu terpuaskan...
Kau tempat semua yang pasti mati terkuburkan...
Tetapi...
Kau pun tempatnya semua yang yakin beramal shaleh
Kau jua tempatnya semua pendosa bertaubat
Kau lagi tempat semua perindu berdzikir
.............................................................
Tersenyumlah Permadaniku...
Tak semua telah membuatmu berputus asa...
Kisah Daun Salam
Ada sehelai daun salam .....Melayang-layang di langit senja...
Ia baru saja lepas dari pohonnya...
Yang memeluknya sejak awal kehadirannya...
Daun salam menangis pilu...
Perpisahannya telah ditentukan sang waktu...
Ingin menahan laju...
Namun ia semakin jauh....
Daun salam ditangkap angin malam...
Membawanya jauh menyebrangi lautan...
Daun salam bertanya...
Hendak kemana ia akan dilabuhkan...
"Hai angin hendak kemana kau bawa aku ?..."
"Aku hendak membawamu ke tempat yang jauh....
Ke tempat dimana ragamu akan semakin rapuh...."
"Hai angin malam, dapatkah yang akan rapuh mengajukan permintaan...?"
Angin malam gusar mendengar pertanyaan
"Apa yang kau inginkan ? sepanjang hidupku tak ada daun yang memiliki pilihan"
Daun salam berkata:
"Jatuhkan aku ke tengah lautan...
Disana aku memiliki teman...
Yang tak akan mengecewakan..".
Angin terheran-heran,
"Apa yang kau katakan ?...
Di sana hanya ada gelombang dan batu karang
Siapakah yang kau maksudkan ?"
"Dia adalah buih di lautan...
Makhluk yang disebut-sebut dalam Al-Qur'an...
Telah menjadi barang perumpamaan
Tentang ketidak-berartian dan kefaqiran "
"Dari ketinggian sana, aku telah sering menyaksikan...
Betapa banyak manusia ditelan kesombongannya...
Aku tak ingin hidup bersama mereka...
Yang telah dikelabui hawa nafsunya..."
"Mereka mengira diri sempurna...
Pandai dan cakap dengan sendirinya...
Kepada sesama hamba kikir, dengki, saling menjatuhkan...
Tak sadar semua hanya pinjaman..."
"Bawalah aku pada buih di lautan...
Yang sadar akan kurang dan kelemahan...
Diombang-ambing ombak di lautan...
Tenggelam dalam syukur dan rasa kefaqiran....
Tiada daya dan kekuatan melainkan karena bersama Tuhan..."
"Wahai angin malam...
Antarlah aku kepadanya...
Bersamanya aku ingin menghabiskan usiaku...."
Angin malam tertunduk kesedihan....
Tiada kata untuk menolak permohonan...
Dibentang sayap menuju samudra dalam...
Melepas daun yang kesusahan......
Rindu Terlarang
Seembun harapan
Terbang dijemput mentari
Jejaknya membekas
Di daun kenanganku...
Seberkas senyummu
Menggores kertas anganku
Bayangnya tertinggal
Di dawai hatiku...
Sekilas tatapmu
Menyentuh relung sukmaku
Biasnya berpendar
Di labirin khayalku
Reff:
Rindu rindu tlah terlarang kini...
Adakah satu penawar hati...
Meski tlah mengharu biru ...
Ku tak ingin luruh layu...
Gerobak Untuk Anakku
Sejak kepindahan keluarga kami dari kota Bandung, sudah sekitar dua
tahun lebih tidak melihatnya. Entah mengapa, sekarang aku teringat lagi
kepada mereka.
Seorang Bapak pemulung yang setiap hari memutari perumahan tempat kami tinggal untuk memungut apa saja barang-barang dari tempat sampah warga perumahan yang bisa ia jual kembali. Barang-barang bekas dari plastik atau kardus yang telah menjadi sampah itu diletakkannya di dalam gerobaknya yang ia tarik setiap hari kemanapun ia pergi.
Di dalam gerobak penuh barang-barang bekas itu duduk anak laki-lakinya yang berusia sekitar 2 tahun (pada saat itu) 'anteng' bermain-main dengan mobil-mobilan yang didapat ayahnya dari tempat mana lagi selain tempat sampah orang.
Dibelakang gerobak yang ditarik sang bapak, berjalan istrinya dengan menggendong seorang bayi perempuan. Berjalan mengikuti kemana saja suaminya pergi,sambil sesekali ia pungut juga sesuatu yang belum terambil oleh suaminya.
Demikian setiap hari, keluarga kecil itu beriringan berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain, "menyulap" sampah orang untuk dijadikan sebungkus nasi untuk keluarganya.
Suatu pemandangan yang menyentuh hati, menyaksikan ketabahan mereka.
Jika aku sedang merawat tanamanku, atau menyapu halaman, kulihat dari sudut mataku, sang bapak berdiri diam di pintu pagar rumahku. Tidak mengatakan atau meminta sesuatu apapun kecuali menyapaku dengan kata-kata yang kadang-kadang sulit kumengerti karena baru tersadari bapak pemulung ini ternyata kurang fasih dalam berbicara sehingga terkesan seperti sedang bergumam tapi aku tahu pasti dia berbicara dalam bahasa Indonesia.
Jika sudah demikian, aku hanya tersenyum dan mengangguk saja. Awalnya ada rasa 'takut', tetapi setelah melihat anak-anak dan istrinya, rasa itu berganti menjadi iba. Jika ditawarkan sesuatu, makanan atau barang, maka nampak mimik senang di wajahnya.
Semakin lama aku dan keluarga mereka semakin "akrab". Keakraban yang hanya bisa difahami oleh masing-masing hati kami, karena tidak pernah ada obrolan panjang diantara kami. Istrinyapun bahkan tidak pernah bicara, hanya mengggendong bayinya dan memperhatikan si sulung di dalam gerobaknya.
Jika telah selesai "urusan"nya di rumahku, maka mereka akan segera melanjutkan perjalanannya ke gang-gang lain, dari satu pintu pagar ke pintu pagar yang lain, mengais-ngais sampah di halaman orang.
Saat mereka menjauh, dari belakang sering kuperhatikan keluarga itu. Betapa hebatnya 'perumpamaan' yang Allah berikan melalui figur mereka. Seluruh "dunia" mereka hanya sepenuh gerobak yang ditarik sang pemulung. Tak punya walau segubuk kumuh untuk tempat berteduh, tak ada janji makanan apa yang bisa ditemukan hari ini untuk istri dan anak-anak balitanya, tak ada ganti untuk pakaian kotor dan kumal. Betapa menakjubkannya Allah Tuhanku, dimana mereka berteduh jika datang hujan lebat? kemana mereka pergi mendapatkan makan dan minuman? apakah berhasil menemukan nasi, yang cukup untuk empat orang? bagaimana dalam keadaan seperti itu, anak-anak mereka nampak gemuk dan sehat walau terlihat kotor dan lusuh?.
Sulit kubayangkan jika kucoba membandingkan dengan keadaanku, saat istri pemulung itu hamil lalu melahirkan. Dimana bersalinnya dan siapa yang menolongnya? Apakah mereka mendapatkan barang sedikit popok atau kain untuk bayinya?. Bagaimana jika salah satu atau kedua anak mereka sakit atau demam ? Apakah mereka tahu dan bisa membeli obat penurun panas untuk meredakan sakit anaknya? apakah mereka memiliki selimut untuk menghangatkan tubuh buah hatinya?
Maha Suci Allah yang Maha Agung
Jika DIA memberikan rezekyNYA kepada cacing-cacing tak bermata dalam tanah, atau belatung-belatung lemah dalam makanan busuk, atau dia berikan rezekyNYA kepada Kecoa, Kelabang, Tikus di got-got. Maka tentu telah DIA sediakan pula rezekiNYA yang Maha Luas bagi keluarga ini.Karena sesunguhnya DIA lah Sang Maha Pemelihara.
Kini aku telah tinggal di tempat yang jauh dari mereka. Tidak kusaksikan lagi salah satu ayat Tuhan itu. Tidak pernah kudengar lagi berita tentang mereka.
Kecuali pada suatu hari, alangkah gembiranya aku ketika mudik ke rumah orang tuaku dimana tidak jauh dari rumahku dulu. Allah pertemukan kembali aku dengan mereka. Tidak berbeda dengan masa yang lalu, sang Ayah menarik tali gerobaknya yang tersangkut di pundak dan tangan di tiang gerobaknya. Hanya saja kala itu yang berada dalam gerobak bukan hanya Sang Kakak yang telah tumbuh besar, tetapi juga sang adik perempuan yang telah berusia kira-kira dua tahun.
Tetapi ada yang kurang....Dimana sang Ibu?
Saat kutanyakan kepada bapak pemulung itu, dengan wajah murung ia mengabarkan bahwa ibu anak-anak telah pergi entah kemana. Meninggalkan suami dan anak-anaknya yang masih teramat kecil. Pergi karena tak kuat menahan penderitaan kehidupan mereka. Tanpa kabar,tanpa berita.
Aku menatap anak-anak itu di dalam gerobak sang pemulung, sedang asyik bercengkrama. Tidak tahu kemana ibu mereka pergi. Hanya kepada Ayah tempat mereka bergantung kini.
Kubayangkan anak-anakku sendiri. Rahma satu tahunku. Bagaimana keadaannya jika tiba-tiba kutinggalkan pergi dan tak kembali. Sedang sehari-hari 24 jam dia bersamaku, menikmati hari-harinya bersama orang yang bisa dipanggilnya ibu. Bagaimana dengan mereka? anak-anak yang sebaya dengan anak-anakku? anal-anak kita semua? Mereka balita, sangat polos dan lugu.
Tetapi pertanyaan itu tak pernah terjawab, seiring berlalunya sang pemulung. Membawa jauh seluruh "dunia"nya, barang-barang rongsokan dan kedua buah hatinya.
Semoga Allah selalu Melindungi mereka, Menyelimuti mereka dengan Kasih dan SayangNYA, Membekalkan Ilmu , mengaruniakan kesehatan dan kesejahteraan, serta menghadiahkan Keselamatan.
Allahumma ya Rabby,Aamiin.
Bogor 7 Maret 2010
*Bagi yang pernah tinggal di sekitar Jl.Kopo Bandung, mungkin mengenal sosok-sosok itu, silahkan untuk turut mendo'akan *
Seorang Bapak pemulung yang setiap hari memutari perumahan tempat kami tinggal untuk memungut apa saja barang-barang dari tempat sampah warga perumahan yang bisa ia jual kembali. Barang-barang bekas dari plastik atau kardus yang telah menjadi sampah itu diletakkannya di dalam gerobaknya yang ia tarik setiap hari kemanapun ia pergi.
Di dalam gerobak penuh barang-barang bekas itu duduk anak laki-lakinya yang berusia sekitar 2 tahun (pada saat itu) 'anteng' bermain-main dengan mobil-mobilan yang didapat ayahnya dari tempat mana lagi selain tempat sampah orang.
Dibelakang gerobak yang ditarik sang bapak, berjalan istrinya dengan menggendong seorang bayi perempuan. Berjalan mengikuti kemana saja suaminya pergi,sambil sesekali ia pungut juga sesuatu yang belum terambil oleh suaminya.
Demikian setiap hari, keluarga kecil itu beriringan berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain, "menyulap" sampah orang untuk dijadikan sebungkus nasi untuk keluarganya.
Suatu pemandangan yang menyentuh hati, menyaksikan ketabahan mereka.
Jika aku sedang merawat tanamanku, atau menyapu halaman, kulihat dari sudut mataku, sang bapak berdiri diam di pintu pagar rumahku. Tidak mengatakan atau meminta sesuatu apapun kecuali menyapaku dengan kata-kata yang kadang-kadang sulit kumengerti karena baru tersadari bapak pemulung ini ternyata kurang fasih dalam berbicara sehingga terkesan seperti sedang bergumam tapi aku tahu pasti dia berbicara dalam bahasa Indonesia.
Jika sudah demikian, aku hanya tersenyum dan mengangguk saja. Awalnya ada rasa 'takut', tetapi setelah melihat anak-anak dan istrinya, rasa itu berganti menjadi iba. Jika ditawarkan sesuatu, makanan atau barang, maka nampak mimik senang di wajahnya.
Semakin lama aku dan keluarga mereka semakin "akrab". Keakraban yang hanya bisa difahami oleh masing-masing hati kami, karena tidak pernah ada obrolan panjang diantara kami. Istrinyapun bahkan tidak pernah bicara, hanya mengggendong bayinya dan memperhatikan si sulung di dalam gerobaknya.
Jika telah selesai "urusan"nya di rumahku, maka mereka akan segera melanjutkan perjalanannya ke gang-gang lain, dari satu pintu pagar ke pintu pagar yang lain, mengais-ngais sampah di halaman orang.
Saat mereka menjauh, dari belakang sering kuperhatikan keluarga itu. Betapa hebatnya 'perumpamaan' yang Allah berikan melalui figur mereka. Seluruh "dunia" mereka hanya sepenuh gerobak yang ditarik sang pemulung. Tak punya walau segubuk kumuh untuk tempat berteduh, tak ada janji makanan apa yang bisa ditemukan hari ini untuk istri dan anak-anak balitanya, tak ada ganti untuk pakaian kotor dan kumal. Betapa menakjubkannya Allah Tuhanku, dimana mereka berteduh jika datang hujan lebat? kemana mereka pergi mendapatkan makan dan minuman? apakah berhasil menemukan nasi, yang cukup untuk empat orang? bagaimana dalam keadaan seperti itu, anak-anak mereka nampak gemuk dan sehat walau terlihat kotor dan lusuh?.
Sulit kubayangkan jika kucoba membandingkan dengan keadaanku, saat istri pemulung itu hamil lalu melahirkan. Dimana bersalinnya dan siapa yang menolongnya? Apakah mereka mendapatkan barang sedikit popok atau kain untuk bayinya?. Bagaimana jika salah satu atau kedua anak mereka sakit atau demam ? Apakah mereka tahu dan bisa membeli obat penurun panas untuk meredakan sakit anaknya? apakah mereka memiliki selimut untuk menghangatkan tubuh buah hatinya?
Maha Suci Allah yang Maha Agung
Jika DIA memberikan rezekyNYA kepada cacing-cacing tak bermata dalam tanah, atau belatung-belatung lemah dalam makanan busuk, atau dia berikan rezekyNYA kepada Kecoa, Kelabang, Tikus di got-got. Maka tentu telah DIA sediakan pula rezekiNYA yang Maha Luas bagi keluarga ini.Karena sesunguhnya DIA lah Sang Maha Pemelihara.
Kini aku telah tinggal di tempat yang jauh dari mereka. Tidak kusaksikan lagi salah satu ayat Tuhan itu. Tidak pernah kudengar lagi berita tentang mereka.
Kecuali pada suatu hari, alangkah gembiranya aku ketika mudik ke rumah orang tuaku dimana tidak jauh dari rumahku dulu. Allah pertemukan kembali aku dengan mereka. Tidak berbeda dengan masa yang lalu, sang Ayah menarik tali gerobaknya yang tersangkut di pundak dan tangan di tiang gerobaknya. Hanya saja kala itu yang berada dalam gerobak bukan hanya Sang Kakak yang telah tumbuh besar, tetapi juga sang adik perempuan yang telah berusia kira-kira dua tahun.
Tetapi ada yang kurang....Dimana sang Ibu?
Saat kutanyakan kepada bapak pemulung itu, dengan wajah murung ia mengabarkan bahwa ibu anak-anak telah pergi entah kemana. Meninggalkan suami dan anak-anaknya yang masih teramat kecil. Pergi karena tak kuat menahan penderitaan kehidupan mereka. Tanpa kabar,tanpa berita.
Aku menatap anak-anak itu di dalam gerobak sang pemulung, sedang asyik bercengkrama. Tidak tahu kemana ibu mereka pergi. Hanya kepada Ayah tempat mereka bergantung kini.
Kubayangkan anak-anakku sendiri. Rahma satu tahunku. Bagaimana keadaannya jika tiba-tiba kutinggalkan pergi dan tak kembali. Sedang sehari-hari 24 jam dia bersamaku, menikmati hari-harinya bersama orang yang bisa dipanggilnya ibu. Bagaimana dengan mereka? anak-anak yang sebaya dengan anak-anakku? anal-anak kita semua? Mereka balita, sangat polos dan lugu.
Tetapi pertanyaan itu tak pernah terjawab, seiring berlalunya sang pemulung. Membawa jauh seluruh "dunia"nya, barang-barang rongsokan dan kedua buah hatinya.
Semoga Allah selalu Melindungi mereka, Menyelimuti mereka dengan Kasih dan SayangNYA, Membekalkan Ilmu , mengaruniakan kesehatan dan kesejahteraan, serta menghadiahkan Keselamatan.
Allahumma ya Rabby,Aamiin.
Bogor 7 Maret 2010
*Bagi yang pernah tinggal di sekitar Jl.Kopo Bandung, mungkin mengenal sosok-sosok itu, silahkan untuk turut mendo'akan *
Halimun
Kepada
Dzul
di tempat
Dzul, malam ini aku diantar papaku ke Bandara, besok pagi aku naik pesawat pertama ke London, do’akan aku ya Dzul. Salamku juga buat Amir. Enam bulan lagi aku balik. Mau dibawain oleh-oleh apa ? (Hihi, belum berangkat udah ngomong oleh-oleh nih). Okay, see you later.
Sahabatmu
-Martha-
Dzul melipat kembali kertas itu,lalu menoleh ke arah Amir:
”Martha berangkat malam ini, dia salamin antum juga tuh”. Amir mendengar kata-kata Dzul sebentar kemudian beranjak untuk mengambil wudhlu. Martha berangkat ke London untuk melanjutkan pendidikannya di bidang sastra Inggris di sana. Sudah 3 tahun terakhir ini, Martha merasakan sesuatu yang istimewa kepada Dzul teman sedari kecilnya, ia tidak menemukan perasaan seperti itu kepada teman laki-lakinya yang lain baik di kampusnya maupun di desanya. Namun ia menyimpannya baik-baik sehingga Dzul tidak menyadarinya.
Pernah di masa yang lalu, saat mereka beranjak remaja Amir diam-diam menyimpan rasa simpati kepada Martha, namun gadis cantik berkulit terang ini tidak menyadarinya karena perhatiannya tertuju kepada Dzul, pemuda sederhana yang sopan dan cukup menarik hatinya. Sering didapati Amir, Martha selalu memperhatikan Dzul. Walaupun posisi itu tidak menghalanginya untuk dapat mengungkapkan perasaannya kepada Martha, namun perbedaan keyakinan di antara mereka menahan Amir untuk melangkah lebih jauh, apalagi disadarinya Martha nampak lebih menyukai Dzul daripada dirinya. Hingga kini, Amir seolah tak mempermasalahkan itu lagi. Sedangkan Dzul sendiri, walaupun di beberapa kesempatan ia menangkap seperti ada binar yang lain di mata Martha jika sedang berbincang dengannya, namun ia tidak mengartikannya sesuatu apapun, karena Dzul sendiri, telah lama hatinya tertambat kepada seorang gadis, salah seorang santri wanita di pesantrennya bernama Salima.
Salima gadis manis dari Priangan yang pemalu, merupakan salah satu santri putri di pesantren Miftahul Huda. Dititipkan orang tuanya untuk menimba ilmu disana. Sejak kedatangannya di pesantren itu,Salima dikenal sebagai gadis yang manis berkulit sedikit gelap namun memiliki mata bak bintang kejora, pandangan matanya seakan mengandung sinar yang dapat menembus hati siapa yang memandangnya. Tetapi Salima selalu menundukkan pandangannya yang bersinar setiap kali berpapasan dengan lawan jenisnya, sperti yang selalu diajarkan orangtuanya untuk menjaga izzahnya. Gadis ini tak pernah berani menampilkan diri jika tidak karena disuruh oleh para ustadz-ustadzahnya mengambil beberapa berkas ke kantor pusat bersama seorang santri wanita temannya di mana Dzul bekerja di sana sebagai sekretaris di Dewan Harian Pesantren Miftahul Huda. Di sanalah mereka pertamakali bertemu.
------------------------------------------------------------------------
Hari-hari berjalan tanpa ada yang dapat menghentikannya kecuali Sang Pemilik, keadaan berubah satu persatu yang dahulu dekat mulai menjauh. Menjauh disebabkan beraneka sebab. Seperti yang terjadi pada Amir, dalam beberapa tahun ini Dzul semakin jarang bertemu dengan sahabatnya ini. Bahkan saat ibunda Dzul sakit pun, Amir tidak ada datang menjenguk. Setiap kali Dzul mencari ke rumahnya, ibunda Amir hanya mengatakan ketidak tahuannya ke mana putranya pergi di setiap malam-malam tertentu. Sesuatu hal yang tidak biasa dari Amir yang dikenalnya dahulu, seseorang yang sangat perhatian kepada orangtuanya. Jika ditanyakan tentang perkara itu, Amir hanya menjawab selintas saja, membuat Dzul berfikir bahwa hal itu memang bukan urusannya. Suatu hari Dzul datang kembali hendak mencari Amir ke rumahnya, di halaman depan nampak ibunda Amir sedang mengangkat nampan-nampan bambu berisi daun-daun teh muda yang selesai dijemur,Dzul mengucap salam:
”Assalamu’alaikum Bu”, ibunda Amir menoleh dan melihat kawan anaknya berdiri dipintu pagar :
”Alaikumsalaam..eeh ada Dzul. Silahkan masuk nak, ayo..”. Ibunda Amir tersenyum ramah kepada Dzul.
“Terima kasih bu”. Dzul berjalan memasuki pekarangan rumah itu, lalu duduk di kursi teras yang tersedia di sana. Ibunda Amir menyimpan nampan bambunya di dapur,lalu bergegas menemui Dzul di terasnya
”Nak Dzul sudah darimana? Kok nggak pake motor ?”.Ibunda Amir celingukan ke arah pagar rumahnya .
”Ooh motor saya di bengkel Bu, biasa bannya bocor,jadi sambil menunggu saya kemari. Amir sedang di rumah Bu?”. Dzul menanyakan keberadaan Amir, Ibunda Amir menjawab :
” Ooh Amir di rumah temannya di Bandung, sudah tiga hari, Ibu juga nggak tahu kapan pulangnya, ada kegiatan katanya, tapi ibu juga nggak tahu kegiatannya apa nak, Amir juga nggak pernah cerita. Ya begitulah nak Dzul, kadang-kadang Ibu juga merasa gimana ya, sering kalau Ibu sedang perlu bantuannya, Amir nggak ada dan itupun sulit dihubungi, HPnya sering mati. Nggak tahu lah Dzul, maklum Ibu kan udah tua, Bapaknya Amir juga sakit-sakitan, maunya Amir bantu antar bapaknya ke Puskesmas. Atau bantu angkat karung-karung teh itu ke pangkalan, Ibu sekarang sering sakit punggung, sedang kita semua kan masih butuh makan, Amir sendiri pekerjaannya jadi sering terbengkalai”.
Ibunda Amir berterus terang tentang keadaanya, karena dia tahu Dzul adalah teman akrab Amir sejak kecil. Teriris hati Dzul dibuatnya, ia seorang pemuda yang amat berbakti kepada ibundanya, mendengar Ibunda sahabatnya mengadukan hal seperti ini membuatnya prihatin terhadap Amir. Dzulpun meminta izin kepada ibunda Amir untuk menjenguk ayah Amir yang sedang sakit. Saat Dzul memasuki kamar itu, hatinya berdesir, di kamar yang gelap itu karena hanya ada sebuah jendela kecil yang tertutup tirai lusuh, nampak laki-laki yang sudah sepuh itu terbaring lemah di atas kasur lepeknya, ada segelas air bening dan dua bungkus obat di atas meja kecil di sebelahnya. Dzul menghampiri orangtua itu dan mencium tangannya dengan takdzim bagai kepada ayahnya sendiri:
Assalamu’alaikum Bapak”. Lelaki yang dipanggil bapak itu membuka matanya lalu mengawasi siapa yang mengajaknya bicara.
”Saya Dzul Pak, teman Amir” Dzul mencoba mengingatkan khawatir orangtua itu telah lupa. Bapak itu mengangguk lemah lalu berkata:
”sendirian nak?”
“Ya Pak, bagaimana kabar Bapak? Maafkan saya baru menjenguk lagi. Sekarang apa yang terasa pak?”. Ditanya demikian ayahanda Amir menunjuk dadanya, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tiba-tiba orangtua itu berguncang pundaknya menangis tak tertahankan. Dzulpun memberanikan diri mengusap-usap tangan renta Pak Jaya, dan membisikkan do’a, dimohonnya bagi orangtua itu keringanan dari Allah dalam menghadapi penyakitnya. Suasana menjadi hening, hanya terdengar tangis lelaki tua yang dulu semasa Dzul dan Amir kecil sering mengajaknya naik ke bukit memetik teh sambil mengawasi mereka bermain. Ibunda Amir berdiri di pintu kamar, matanya meneteskan airnya. Dzul mencoba menghibur Ibunda Amir, dalam keadaan seperti ini tentulah semakin berat beban yang harus ditanggungnya, melihat suami yang dicintai sakit adalah penderitaan tersendiri bagi seorang istri. Perasaan ini amat difahami oleh Dzul, karena ia pun menjadi saksi betapa sedih Ibundanya dahulu saat menyaksikan sakitnya almarhum ayahnya :
”Ya gak apa-apa Ibu ,Ibu tidak usah khawatir, mudah-mudahan Ibu dan Bapak selalu diberi kesehatan, saya ikut berdo’a Ibu. Insya Allah, besok saya kesini lagi, mungkin saya bisa minta tolong kawan saya seorang dokter di Puskesmas. Ibu, jika Ibu memerlukan bantuan, jangan sungkan telepon saya ya, saya anak Bapak dan Ibu juga kan Bu?”,
Ibunda Amir terdiam, entah kenapa hatinya terharu, dari teman anaknya ini ia mendapat kata-kata yang menentramkan hatinya sebagai orang tua. Sungguh ia berharap mendapatkannya dari anaknya sendiri. Ibunda Amir menjawab terbata-bata:
”Terima kasih nak, kamu baik sekali,semoga Allah membalasnya, nanti Ibu sampaikan kedatanganmu kepada Amir kalau sudah datang ya”. Dzul pun berpamitan karena hari sudah mulai gelap dengan diiringi pandangan kasih dari Ibunda sahabatnya.
Di atas motornya dalam perjalanan pulang Dzul merenung, mengingat sosok Amir sahabatnya. Memang dalam setiap perbincangannya kini, Amir terasa lebih bersemangat saat menceritakan kondisi zaman, di mana telah terjadi banyak kerusakan di masyarakat sehingga harus dilakukan perubahan besar untuk memperbaikinya. Dzul merasa bersimpati atas semangat sahabatnya ini, walaupun kadang-kadang ada beberapa hal dimana Dzul sangat berbeda pendapat dengan Amir, jika sudah demikian maka biasanya Dzul selalu mengalihkan pembicaraan. Apakah kegiatan yang diikuti Amir itu ?, Dzul tak tahu pasti. Ini fenomena di depan matanya yang kesekian kali setelah banyak hal yang sama disaksikannya terjadi pada beberapa temannya di kampus dulu. Dzul membelokkan motornya ke rute menuju rumahnya yang kini telah diterangi lampu-lampu jalan, suara jangkrik dan katak mulai saling bersahutan menambah syahdu suasana malam di desa Cikahuripan.
------------------------------------------------------------------------
Hari itu awal musim penghujan, bumi Cikahuripan selalu diselimuti mendung, namun entah mengapa hati Salima terasa riang, apakah ini karena surat itu. Surat untuk Salima dari Dzul. Surat itu diterimanya melalui ustadzahnya Ibu Aminah yang juga bibi dari Dzul yang mengajar di pesantrennya. Hanya kepada bibinya itu rupanya Dzul mempercayakan suratnya untuk disampaikan kepada Salima. Malam ini sudah ke tujuh kali Salima membuka surat dari Dzul, antara percaya dan tidak, Salima berulangkali membaca deretan huruf-huruf yang ditulis pemuda yang selalu membuat lututnya terasa lemas itu jika bersua di kantor pusat Pesantren Miftahul Huda.
15 Januari 2000
Kepada
Salima Athifah
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ukhty Salima, saya Dzulkifly seseorang yang mungkin belum Ukhty kenal . Telah lama saya berhasrat mengirimkan surat ini. Namun rasa malu menahan saya beberapa bulan untuk melakukannya.
Kali ini saya memberanikan diri menulis sepucuk surat ini berharap semoga Ukhty tidak menjadi masgul sesudah membacanya nanti.
Ukhty yang shalihat, sesungguhnyalah saya telah lama memiliki mimpi, dan saya terus memohon kepada Allah agar ia dapatlah terwujud dalam kehidupan saya sesungguhnya .
Mimpi saya adalah bertemu Allah di syurga. Namun kata orang tetua kita, setiap insan wanita dan pria hanya miliki satu sayap di dunia. Bagaimanakah caranya saya dapat sampai ke syurganya apabila sayapku hanya satu saja ?
Apabila Ukhty berkenan, sudikah Ukhty menjadi sayap yang kedua, untuk kita dapat bersama-sama mencapai syurgaNYA ?
Sungguh-sungguh saya memohon dimaafkan telah lancang menghulurkan permintaan.Namun sudilah kiranya Ukhty menjawabnya agar tak gelisah hati ini nan penuh harapan.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Dzulkifly Hassan
Terbanglah hati Salima menembus awan-awan, meluncur di pelanginya dan melayang-layang di antara embun sejuknya. Kupu-kupu dari kapas membawanya jauh ke negeri awan, membiarkannya menyentuh pelangi berwarna-warni lalu melepasnya dari ketinggian melemparkannya ke dalam air telaga berair jernih dan berenang-renang didalamnya. Salima mendekap surat itu dalam-dalam seakan-akan benda yang amat berharga yang disayanginya. Ingatannya hinggap pada saat-saat di mana ia menangkap senyum pertama Dzul yang ditujukan kepadanya di pesantren saat ada perayaan Milad Pesantren tahun lalu dan senyum-senyum Dzul berikutnya pada kesempatan-kesempatan lain. Surat itu tidak seperti surat biasa, lebih serupa dengan prosa atau fiksi sekaligus teka-teki untuk Salima. Terpekur Salima kini, tak tahu hendak berbuat apa, mengapa Dzul menempatkannya pada keadaan membingungkan sekaligus membahagiakan seperti ini. Salima tak pernah menerima surat bermakna cinta dari seorang pria, kecuali sms-sms usil dari beberapa teman pria di pesantrennya yang ia pun tak tahu darimana mereka mendapatkan nomor hand phone-nya. Salima sungguh bimbang bagaimana ia harus mensikapi surat dari Dzul itu. Apakah harus dibalasnya ? orang mengirim surat tentulah mengharapkan balasan pikirnya. Namun, bagaimana ia akan menjawab “mimpi” seorang laki-laki yang sering membuatnya tergetar ini, sedang kali ini pun Salima merasa sedang bermimpi. Yang ada dalam hatinya jika membaca surat itu hanya perasaan tersanjung dan bahagia saja. Ah betapa rumitnya, tetapi indah rasanya. Salima beristighfar, sadar dirinya baru saja terlena, ia pun pergi ke pancuran asramanya dan mengambil air wudhlu, kemudian menggelar sajadah mengadukan senang sekaligus gundah hatinya kepada Tuhannya.
------------------------------------------------------------------------
Sejak itu hari-hari Salima terasa indah, lingkungan pesantren yang sudah hampir dua tahun dia tinggali itu kini bagaikan istana Taj Mahl baginya, dan menara Masjidnya seakan-akan menjadi Menara Eiffel yang dipersembahkan untuknya, orang-orang yang berpapasan dengannya seolah-olah turut merayakan kebahagiaannya membuat bibir Salima selalu menyunggingkan senyum termanisnya.
“Ahh Tuhan, segala Puji bagiMU…beginikah yang dinamakan orang jatuh cinta?” bathin Salima saat menatap air mancur di kolam pelataran asrama putri masih di lingkungan pesantren, Salima mendekap dua kitabnya sedang tas tergantung di pundaknya .” Assalamu’alaykum…!!!”. Salima terperanjat saat seseorang menepuk pundaknya, ternyata Lastry teman satu kelasnya,:
”Lagi ngapain Sal? Laper ya..” Lastry tersenyum menyapanya. Salima tergagap, tak mengira kehadiran temannya itu:
” oh eh….alaykumsalaam….hehehe nggak lah. Lastry kamu buka Shaum di mana nanti ? Ikut berbuka di Aula atau di kamarnya Hafsah?” Salima memperbaiki letak tasnya.
“Mmh belum tahu Sal, aku ada pertemuan di Baitul Muslimah, mungkin aku nggak bisa ikut yang di Aula, liat nanti aja deh insha Allah. Eh Sal, udah jam 1 nih, kita berangkat yuk”. Lastry mengajak Salima segera pergi untuk mengikuti jadwal berikutnya, mereka berdua bergegas menuju kelasnya yang terletak tidak jauh dari asramanya.
------------------------------------------------------------------------
Lima bulan kemudian
Dzul baru saja pulang sore itu setelah rapat yang membuat badannya penat di pesantren, saat ia melihat seseorang sedang berbincang dengan ibunya di ruang tamu,
”Martha…” bisik Dzul, diapun menghampiri keduanya di ruangan. Saat Dzul masuk, kedua wanita itu menoleh kepadanya, ibunda Dzul tersenyum dan berkata lembut, :
”Naah orangnya sudah datang, Dzul..nak Martha sudah lama nunggu, duduklah, Ibu bawakan teh dulu. Nak Martha, ibu tinggal ya..”.
Martha tersenyum kepada ibunda Dzul dan menganggukkan kepalanya:”O ya Ibu, silahkan..”.
Ibunda Dzul bangkit dari duduknya dan pergi ke dapur membawakan minuman untuk anaknya yang tampak kelelahan. Dzul pun tersenyum kepada Martha yang tampak lebih kurus setelah 6 bulan tinggal di London. Dia duduk di kursi menghadap ke arah Martha, diliriknya ada sebuah bungkusan di atas meja :
”Kapan datang Mar?, Papa jemput ke Jakarta?” Dzul bertanya, tangannya bergerak membuka jaketnya yang agak basah terkena gerimis di luar lalu sedikit merapihkan rambutnya. Martha tersenyum kembali:
” Tadi malam Dzul, aku dijemput Papa di bandara, Papa kirim salam buat kamu. Ini ada oleh-oleh buat kamu, mudah-mudahan kamu seneng yaa”.
Martha menyodorkan bungkusan di atas meja ke arah Dzul. Dzul tersenyum mengambil oleh-oleh dari Martha berbungkus kertas kado berwarna biru itu, lalu dibukanya ternyata isinya sehelai syal tebal berbahan wool.
“Alhamdulillah, bagus banget Mar, akhirnya punya juga barang dari luar negri hehehe” Dzul tertawa bersama Martha. Ibunda Dzul muncul dari pintu membawakan secangkir besar teh manis hangat untuk anaknya;
”Waah, apa itu Dzul, bagus bener. Ibu juga dikasi baju dari Inggris loo sama nak Martha”. Ibunda Dzul tersenyum menyodorkan teh kepada Dzul, Dzul menerimanya lalu diseruputnya teh manis buatan ibunya tercinta, hangat membuat tubuhnya lebih nyaman. Mereka bertiga berbincang seputar kegiatan Martha selama di London, tentang kuliah-kuliahnya yang padat, tentang dosennya yang serius, teman-temannya yang banyak juga berasal dari Indonesia, sampai apartemennya yang sederhana tidak jauh dari kampusnya.
Martha juga menanyakan kabar Amir, hanya saja Dzul tidak bisa menjelaskan lebih banyak, akhir-akhir ini mereka berdua memang semakin jarang bertemu, entah apa kesibukan Amir lainnya, Dzul sendiri sibuk sebagai salah satu pengurus di Pesantren. Selama kira-kira satu setengah jam mereka berbincang, kadang diselingi tawa, suasana yang hangat menyambut kepulangan Martha dalam liburannya kali ini. Tidak lama kemudian Martha pamit pulang, setelah bersalaman dengan ibunda Dzul, Martha pun pulang ditemani supirnya.
-------------------------------------------------------------------------
Malam itu jam menunjukkan pukul 2.00, Dzul terbangun dari tidurnya karena mendengar suara pesawat selulernya berbunyi beberapa kali. Dalam keadaan masih mengantuk, Dzul mengangkat hand phonenya:
”Hallo…”. Jeda beberapa detik, dari seberang sana tidak segera menjawab seakan-akan hendak memastikan Dzul-lah yang menerima teleponnya, tidak lama terdengar suara seseorang berkata seperti berbisik :
”Dzul, ini ana…Amir”. Dzul keheranan, tidak biasanya ia menerima telepon malam-malam begini kecuali dari pengurus kantor pusat jika sedang ada event-event penting, apalagi Amir dia belum pernah menelponnya malam-malam begini, kecuali ada sesuatu hal yang sangat penting. :
”Amir..? Ini betul Amir? Ada apa Mir?”. Di seberang sana Amir kembali berbisik:
”Dzul, bisa keluar sebentar? Ana tunggu di depan, dekat pohon Mangga. Tolong cepat ya”. Amir menutup teleponnya.
Masih keheranan, Dzul membetulkan sarungnya, dan mengenakan jaketnya lalu pelan-pelan ia keluar dari kamarnya, menengok sebentar kamar ibunya, Dzul agak khawatir sebentar lagi ibunya pasti bangun untuk shalat malam seperti kebiasaannya. Maka ia agak berjingkat keluar melalui pintu dapur menuju pekarangan rumahnya, di mana terdapat beberapa pohon mangga milik orang tuanya. Di sana ia mencari-cari di mana Amir berada, terdengar suara orang bersiul dua kali menyerupai suara burung dari arah sebuah pohon di sebelah barat, di situ rupanya Amir menunggunya. Dzul celingukan ke kanan dan kiri, tidak habis berfikir mengapa Amir harus bersembunyi seperti itu untuk menemuinya. Dzul mendekat, dan Amirpun berkata setengah berbisik:
”Dzul ana nggak lama, ana mau minta tolong, buku-buku ini tolong tak usah dibaca-baca dulu, langsung dibakar ya, pagi ini juga harus sudah dibakar, ana sudah gak sempat, harus pergi sekarang juga. Dan tolong jangan ceritakan pada siapapun kedatangan ana ini. Kapan-kapan ana cerita …tolong Dzul, demi persahabatan kita”.
Dzul melihat satu dus besar yang mungkin berisi buku-buku yang dikatakan Amir. Amir menatap mata Dzul, seakan meminta kepastian amanahnya akan terjaga di tangan Dzul dengan baik. Melihat mata itu, Dzul membaca, Amir tak bisa ditanya tentang apa dan mengapa dia berbuat seperti ini, persahabatan mereka sejak kecil dan rasa saling percaya di antara mereka membuat Dzul hanya bisa mengangguk dan tidak bertanya lebih lanjut kecuali satu:
” Antum mau kemana Mir?”. Tapi Amir tidak menjawab, dia sudah berbalik dan berlari kecil menuju ke arah jalan di mana seorang laki-laki tertutup jaket tebal dan helm berwarna gelap sedang menunggunya di atas motor, dalam sekejap mereka berdua hilang dalam kegelapan malam. Dzul tertegun, memandangi kawan akrabnya yang menjauh, entah mengapa hati Dzul merasa tak enak, rahasia apakah yang sedang disimpan Amir, dan ingatan Dzul pun melayang kepada orang tua Amir, apakah mereka mengetahui kepergian anaknya ini? Terbayang guratan kesedihan di wajah ibunda Amir saat Dzul menemuinya tempo hari. Semoga Amir tidak mengecewakan mereka harap Dzul. Angin malam yang menusuk kulit memaksanya untuk segera masuk, dijinjingnya ikatan dus besar berisi buku-buku milik Amir itu dan Dzul pun kembali masuk ke kamarnya.
------------------------------------------------------------------------
Tiga Hari Kemudian
Hari Kamis ini suasana pesantren Miftahul Huda sangat ramai, memang setiap hari kamis sampai jum’at pagi, juga hari sabtu hingga Ahad pagi, rutin diselenggarakan dzikir dan tafakur bersama ratusan jama’ah, yang dipimpin oleh Pemimpin umum pesantren Miftahul Huda Bapak KH. Misbach Arifin. Para jama’ah satu-persatu datang dari berbagai pelosok untuk mengikuti dan mendengar taujih dari sang Kyai. Pada saat-saat seperti itu para pengurus pondok pesantren serta para santri putra dan putrinya menjadi tuan rumah yang sangat sibuk, sebagian mengatur acara, sebagian lain mengatur penempatan para tamu di di dalam dan di luar Masjid Al-Arifin Billah, ada juga yang mengatur kendaraan para tamu di pelataran parkir. Tidak ketinggalan para pedagang kecil turut berbaur di dalam kompleks pondok pesantren. Cuaca hari itupun amat ramahnya, tidak ada panas terik, tidak pula mendung hanya sinar siang yang menaungi lingkungan pondok pesantren itu menjadi teduh, angin sepoi-sepoi bertiup mengusap penghuninya. Lantunan nasyid dan ayat-ayat Al-Qur’an dari Audio system mengalun pada selain waktu-waktu shalat, mencerahkan hati yang mendengarnya, di “kota santri” ini semua larut dalam suasana yang penuh semangat sekaligus menentramkan hati.
Salima dan kawan-kawan santri putrinya tengah sibuk menyusun penganan dan kudapan ke dalam toples-toples, kue-kue basah ia letakkan di atas piring-piring lebar. Yang lain menyusun minuman mineral gelas bertumpuk rapih di ujung meja. Sambil mengatur makanan di meja besar di tengah lapangan rumput bertenda besar itu, para santri putri sesekali bercanda dan tertawa. Demikian pula Salima, hanya saja akhir-akhir ini ia sering menjadi sasaran godaan teman-temannya yang ternyata ada beberapa yang telah mengetahui bahwa Salima tidak lama lagi akan disunting pemuda paling simpatik, pintar dan cakap di seantero pesantren anak santri kesayangan Kyai Misbach yang bernama Dzulkifly. Salima tak mengerti entah darimana mereka mengetahui semua itu,apakah Dzul bercerita kepada teman-temannya yang kemudian menyebar beritanya, atau mungkin juga ada yang memergoki saat Ustadzah Aminah berkunjung ke kamar santri putri untuk menemuinya. Ah Salima bingung ,yang ada kini gadis itu sibuk menepis berondongan pertanyaan-pertanyaan dari teman dan sahabat-sahabatnya.
Salima masih sibuk memasukkan makanan ke dalam toples, saat Lastry sahabatnya mencolek-colek tangan Salima dengan sikunya.
“Sal….Sal”. Lastry memanggil nama sahabatnya dengan suara pelan. Salima menoleh :
”Ya…kenapa Las?”.Salima memperhatikan sahabatnya itu sementara tangannya tidak berhenti bekerja.
“Sal, lihat, siapa tuh yang berdiri di bawah menara, liatin kamu terus kayaknya hihihi”. Salima mengarahkan pandangannya ke tempat yang ditunjukkan Lastry, berdegup dada Salima saat nampak olehnya orang yang dimaksud oleh Lastry itu ternyata Dzul.
Dzul bersama seorang kawannya sesama pengurus di kantor Dewan Harian pesantrennya terlihat sedang mengatur posisi speaker di pelataran depan Masjid. Salima diam-diam memperhatikan lelaki yang telah terpaut hatinya oleh dirinya itu, namun sedang asyiknya ia mencuri pandang, dari kejauhan Dzul pun nampak sekali-kali memperhatikannya. Jika sudah begitu, Salima akan segera menundukkan wajahnya karena malu yang tak terkira tertangkap mata sedang memperhatikan.
“Hey…ada yang lagi degdeg plas niih…aaahahaha”. Lastry tiba-tiba berseru membuat teman-teman yang lain tertuju perhatiannya kepada mereka berdua :
”Iiiih apaan sih…”. Salima mendorong bahu Lastry dengan sikunya, merah pipinya tak bisa mengelak dari godaan teman-temannya.
“Eh sssstt….ada yang datang tuh, ayo kerja kerja…”. Lastry tiba-tiba berbicara setengah berbisik.
Rupanya mendekat ke arah kumpulan santri-santri putri itu, Dzul orang yang baru saja mereka bicarakan. Salima terkejut, tak mengira Dzul akan berani mendekat kepadanya dihadapan kawan-kawannya. Salima salah tingkah, hendak berpura-pura sibuk sudah tidak bisa karena kue-kue itu sudah masuk toples dan tersusun di piring semua. Berdebar jantung Salima saat Dzul benar-benar berada di hadapannya dan mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum ….”. Serempak kawan-kawan Salima menjawab salam dari Dzul, tentu saja sambil senyum-senyum sambil melirik ke arah Salima. “Waalaikum salaam warahmatullah wabarakatuh kak Dzul, huk huk ehm ehm”,
Lastry menjawab salam paling keras diantara semua dan mengakhirinya dengan pura-pura batuk dan berdehem. Dzul tersenyum melihat reaksi teman-teman Salima, ada yang senyum-senyum, ada yang cekikikan ada pula yang ekspresif memperhatikan. Namun Dzul menjadi iba tatkala dilihatnya Salima bak kucing diguyur air kebasahan, duduk di sudut tak tahu harus berbuat apa. Dzul lalu mendekat kepada Salima :
” Apa kabar Ukhty ? sedang sibuk rupanya, mengerjakan apa?”. Salima menatap Dzul sekilas lalu berkata:” Alhamdulilah……mmh ini Kak, menyusun penganan untuk tamu”
Salima berusaha keras untuk tersenyum ramah namun mengapa sekarang ia merasa kulit wajahnya dilumuri semen yang keras dan apa pula yang terjadi dengan telapak tangannya yang kini banjir berkeringat.
“Oo begitu ya, mm…nanti malam Ukhty Salima datang ke masjid ikut taujihnya Bapak Kyai?”.Dzul mencoba bertanya lagi,:” Insha Allah Kak, bersama teman-teman”. Salima menjawab, suaranya hampir tak terdengar namun Dzul bahagia bisa menyapa gadis itu. Dzul tak ingin membuat Salima terus gelisah, bagaimanapun ini percakapan mereka berdua untuk pertama kali sejak Dzul berkirim surat dan demi menjaga kesopanan,maka Dzul pun cepat-cepat berpamitan;
”Kalau begitu silahkan diteruskan, maaf sudah mengganggu ya”. Senyum tak lepas dari bibir Dzul, sedang teman-teman lain berpura-pura sibuk membereskan meja sambil mencuri-curi dengar percakapan Salima dan Dzul. Salima tersenyum dan menganggukan kepalanya kepada Dzul. Dzulpun mengucapkan salam kembali kepada santri-santri putri itu.
Seiring langkah kaki Dzul yang menjauh entah mengapa terasa ada yang tercabut dari hati Salima, ini berhadapan-hadapan muka yang pertama baginya dan Dzul :
”Tapi, kenapa cuma begitu saja ya” hati Salima bertanya-tanya, walau hatinya tak menentu ketika dekat, namun ia tak mengharapkan pertemuan yang secepat itu, ah Salima tak mengerti keinginannya sendiri. Diambilnya nampan, lalu mengajak Lastry ke dapur umum menjauh dari teman-teman yang tak berhenti menggodanya.
------------------------------------------------------------------------
Satu Minggu Kemudian
Penduduk desa Cikahuripan gempar, salah seorang pemuda penduduk desa itu ditangkap polisi berpakaian preman. Dari desas desus yang beredar dikabarkan bahwa pemuda itu ditangkap di rumahnya tengah malam. Entah apa sebabnya, orang tua pemilik rumah yang disergap itu kini telah pindah ke rumah kerabatnya. Dzul tak habis fikir, ia mengenal pemuda yang bernama Irwan itu seorang yang baik, bahkan Dzul tahu Irwan merupakan kawan dekat Amir juga. Ingatan Dzul kembali pada saat Amir mendatanginya tengah malam itu, adakah semua ini berhubungan?. Tetapi apakah hubungannya dengan buku-buku yang Amir suruh membakarnya ?. Dzul merasa khawatir dengan keberadaan Amir, tetapi sejak terakhir bertemu, Amir tak pernah berkirim berita lagi kepadanya. Dzul menghela nafas panjang seraya berdo’a di dalam hatinya :
”Allahumma, lindungilah Amir. Tuntunlah dia dengan petunjukMU. Lindungi pula orang tuanya, Bapak dan Ibu. Tabahkanlah hati mereka berdua. Ya Rabby, kembalikanlah sahabatku ini kepada kami dalam keadaan yang Engkau ridhai… Allahumma aamiin”. Diusapkannya tangannya pada wajahnya yang bersih sebersih hatinya yang tulus.
------------------------------------------------------------------------
Salima masih merapihkan pakaiannya yang telah disetrika, dimasukkannya satu persatu ke dalam lemarinya. Salima membereskan kamarnya itu sendiri, teman satu kamarnya Lastry masih sibuk di perpustakaan mencari beberapa data untuk keperluan tugasnya. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya. Salima segera membenahi sprei tempat tidurnya dan merapihkan kerudungnya, dan bergerak membuka pintu kamarnya. Berdegup jantung Salima, ternyata yang datang adalah Ustadzahnya, Ibu Aminah, bibi dari Dzul yang tempo hari menyerahkan surat dari pemuda itu. Dengan gugup ia mencium tangan wanita berwibawa itu dan mempersilahkannya masuk, tangannya terasa bergetar saat menggelar tikar di lantai kamarnya yang sederhana, :
”Silahkan Ustadzah…”. Salima mempersilahkan Ibu Aminah duduk. Ibu Aminah tersenyum kepada Salima :
” O ya terima kasih, kamu sendirian nak? kemana temanmu?” Pertanyaan Ibu Aminah mencairkan suasana yang terasa kaku,:
”Oh, Lastry sedang ke Perpustakaan, Ustadzah. Suatu kehormatan untuk saya dikunjungi Ustadzah. Mmh, sebentar saya buatkan minum ya”. Salima hendak bangkit, tetapi tangan Ibu Aminah menahannya;
”Tidak usah nak, Ibu tidak akan lama hanya menyampaikan suatu amanah saja. Duduklah ”.
Baru pertama kali Salima mendengar Ustadzahnya ini memanggil dirinya sendiri ibu. Salima kembali duduk menghadap kepada ustadzah yang dihormati di pesantrennya ini walau hatinya tak menentu. Salima menundukkan wajahnya saat Ibu Aminah mulai berbicara:
” Anakku Salima, kau santriwati yang pintar dan shalehah di pesantren ini. Ibu senang dengan apa sudah kau capai dalam dua tahun ini. Orang tuamu pun tentu lebih bangga lagi bagaimana keadaan Bapak dan Ibumu nak?”. Salima tersenyum dan menjawab hati-hati, ia senang ustadzahnya itu menanyakan kabar Ayah dan Ibunya:”Alhamdulillah, Umy dan Aby baik-baik saja, tadi pagi saya sudah menelponnya Ustadzah”.
“ Ooo Alhamdulillaah, sampaikan salam Ibu untuk Umy dan Aby di rumah ya. Mm Salima, kedatangan Ibu ini sesungguhnya karena diminta oleh seseorang yang mengirimkan surat untukmu minggu yang lalu, Dzulkifly…..Dzul keponakan Ibu, tetapi dia bagai anak Ibu sendiri, Ibu tahu dia sejak kecil, pemuda yang baik, yang santun, yang shaleh. Ayahnya sudah meninggal waktu nak Dzul masih kecil usia 3 tahun”
Ibu Aminah menatap Salima sejenak, gadis itu hanya tertunduk saja mendengar setiap kata-katanya. Ibu Aminah pun melanjutkan ucapannya:
”Salima, Dzul sangat menghormatimu, oleh karena itu dia meminta Ibu menemuimu dan menanyakan bagaimana keadaanmu setelah membaca pesannya. Apakah Salima memahami maksudnya? Anakku, Dzul mempunyai niat ingin memperistrimu, dia meminta maaf jika ini terasa tiba-tiba, tapi dia mengatakan bahwa dia bersungguh-sungguh, apakah Salima menyetujuinya?”.
Salima diam, dia sungguh tak menduga, dari hari ke hari perkembangannya sedemikian cepat. “Memperistri ? Menikah ?” Salima bergumam dalam hatinya. Hatinya tak menentu membuat wajahnya semakin tertunduk, penghormatannya kepada Ustadzahnya ini membuatnya teramat malu untuk dapat berterus terang. Namun Ibu Aminah pun seorang wanita, yang dahulu pernah merasakan keadaan yang serupa, bahkan beliau memiliki anak wanita yang beberapa telah menikah sehingga amat memahami keadaan jiwa gadis itu saat ini. Dengan tangannya Ibu Aminah mengangkat pelan dagu gadis itu, ditatapnya wajah manis yang murni yang telah menjadi impian keponakannya .
“Salima, kau tidak perlu menjawabnya sekarang nak, Ibu hanya menyampaikan amanahnya saja. Sebaiknya kau fikirkan dahulu ya, Shalat Istikharah, ajak bicara orang tuamu, bulan depan mungkin nak Dzul sendiri yang akan menemuimu”.
Salima menatap wajah ibu Aminah,wajah yang teduh, membuat hatinya kembali tenang. Salima berkata:
” Baik Ustadzah, saya akan bicarakan ini kepada Ummy”. Setelah berbincang sedikit hal lain, Ibu Aminah pun berpamitan, dengan takdzim Salima mencium tangan ustadzahnya.
------------------------------------------------------------------------
Keesokan harinya, seperti biasa Dzul telah bersiap untuk pergi ke tempatnya bekerja, di meja makan telah terhidang sarapan paginya dan segelas teh pahit hangat. Ibunda Dzul muncul dari dapur membawakan sekaleng kerupuk kesukaan anaknya, seperti biasa senyum yang ramah selalu hadir di wajah ibu yang lembut ini:
”Dzuul, bagaimana…ada kabar apa dari bibimu semalam? Ibu sudah pengen cepet ketemu sama gadis itu, siapa namanya? Salma ya”.
Dzul tersenyum sambil menyelesaikan kunyahan di mulutnya ia meralat:
”Salima ibuu, bagus ya namanya”.
Dzul melanjutkan suapannya, lalu melirik ke arah ibunya, ia senang menggoda ibu yang disayanginya itu, Dzul tahu ibunya pasti sangat penasaran dengan pembicaraannya di telepon tadi malam dengan bibinya. Namun ia tidak tega membiarkan ibunya dalam kepenasaranannya, setelah meminum tehnya, Dzulpun bercerita apa pembicaraan dengan bibinya itu. Selesai menyantap sarapannya, Dzul pun berpamitan kepada ibunya, seteleh mencium tangannya - suatu kebiasaan yang hingga usianya yang ke 25 tahun ini tetap ia lakukan - Dzul menatap wajah orang tua yang dikasihinya itu:
”Ibu, do’akan Dzul berjodoh dengan Salima ya”. Ibunda Dzul menengadah menatap wajah putra satu-satunya ini, putra yang menemaninya selalu selama berpuluh tahun setelah suaminya meninggalkannya menghadap Sang Khaliq. Sambil mengusapkan tangannya yang telah berkeriput pada rambut Dzul, beliau berkata:
” Anak Yatimku, Allah mendengarkan harapan dan do’a-do’amu nak, tanpa diminta DIA sudah mengetahuinya, kita hanya disuruh menjalani saja dengan cara yang benar. Tentu saja Ibu selalu mendo’akanmu . Selagi Ibu masih ada, Ibu akan selalu mendo’akanmu. “Allahumma sally’alaa sayyidinaa Muhammad wa’ala aali sayyidina Muhammad, Allahumma irhamhuu … irhamhuu….irhamhuuu….Allaahumma aamiin”.
Dzulkifly damai hatinya dan matanya berkaca-kaca, mendengar Ibu yang melahirkannya berdo’a untuknya, seakan-akan seluruh pepohonan, daun-daun, rumput, awan dan burung-burung mengamininya turut memberi restu kepadanya.
------------------------------------------------------------------------
Selama sepuluh hari Martha dapat menikmati liburan di kampung halamannya, lusa ia harus berangkat lagi ke Cengkareng untuk “mengejar” penerbangan pagi. Namun roman mukanya tidak menampakkan keceriaan. Selama delapan hari berada di Cikahuripan ia merasa kecewa, tidak sekalipun Dzul menelponnya atau mengirim sms kepadanya, apalagi sampai datang bertandang ke rumahnya. Meski mereka berdua orang-orang “berpendidikan” tinggi, namun Martha menyadari Dzul bukanlah seperti pemuda kebanyakan yang ia kenal. Dzul seorang yang santun, memahami bagaimana menghormati orang lain, apalagi mereka seolah berdiri di dua pulau yang berbeda yang dinamakan ‘agama’ yang ditumbuhi banyak doktrin dan kredo yang berbeda, terpisah oleh lautan ‘keyakinan’ bak ombak ganas yang selalu menerjang, seolah tak akan memberi jalan bagi keduanya untuk dapat bertemu. Martha amat menyadari ini semua, itulah sebabnya ia tidak pernah berani bahkan dalam benaknya sekalipun untuk mendahului mengungkapkan perasaannya kepada Dzul, ia hanya menunggu dan menunggu “mu’jizat” itu datang. Hanya perhatian-perhatian kecil yang berani ia berikan kepada teman yang dikaguminya ini semisal memberi kado hadiah ulang tahun Dzul, mengirim kue-kue buatannya sendiri kepada ibunda Dzul, atau sekedar mengirim sms-sms ringan untuk menunjukkan perhatiannya. Entah apalagi yang harus Martha tunjukkan kepada Dzul, namun tetaplah sampai detik ini tak ada satu deringpun panggilan dari Dzul di hand-phone nya. Martha seorang yang dididik oleh ayahnya kehormatan diri dan penyerahan kepada Tuhannya. Selalulah Martha berdo’a baik saat kebaktian di gereja, saat menjelang tidur atau saat kapanpun dia merasakan kesedihan. Dia tak hendak larut dalam kekecewaannya dan mencoba selalu memaklumi apapun yang dialaminya. Ketabahan, adalah warisan paling berharga yang telah diajarkan orang tuanya. Martha memperhatikan sebuah potret ukuran postcard berbingkai di atas mejanya, foto itu selalu dibawanya kemanapun ia pergi. Di dalam foto itu terdapat gambar dirinya, Dzul dan ibunda Dzul yang diambil dalam sebuah kesempatan pernikahan seorang teman. Martha bergumam dagunya ia letakkan diatas punggung tangannya yang bersandar di meja :
”Dzul, apakah kamu tak bisa mengerti perasaanku sedikit saja. Kamu nggak pernah tahu betapa menderitanya aku setiap dekat denganmu tanpa bisa yakin bisa memilikimu. Hhhh…….”
Martha seakan mengajak berbicara gambar dalam foto itu, ia menghela nafas panjang seolah ada beban berat dipunggungnya yang ingin dilepaskannya. Masa liburan tinggal 2 hari lagi, Martha mulai membereskan beberapa buku yang ia bawa dari London ke dalam kopernya, bagaimanapun tugas-tugas kuliah itu tak bisa menunggunya mendapatkan cinta Dzul.
-------------------------------------------------------------------------
Dzul baru tiba di rumah sekitar pukul 9 malam, ia menaruh motornya di teras samping rumahnya yang rimbun dengan tanaman menjalar. Saat membuka pintu rumah dilihatnya Ibunya dengan kacamata menempel di hidung beliau, tengah duduk di kursi ruang tamu sedang menisik, menambal sarung bantalnya. Dzul mengucapkan salam dan menghampiri ibundanya, merunduk lalu mencium tangannya :
”Assalaamu’alaykum, koq Ibu belum tidur? Kenapa sarung bantalnya bu? Robek ya”. Ibunda Dzul tersenyum dan terus melanjutkan pekerjaannya :
” yaa, tadi siang Ibu belum sempat, ada tamu kemari nyari kamu Dzul, katanya teman waktu nyantri di pesantren dulu, siapa ya namanya…??” Ibunda Dzul mencoba mengingat-ingat:
”ooh Bahrudin…apa ya… mungkin Baharudin nak, Ibu bilang kamu di kantor. Tuh dilemari makan ada ikan goreng sama sambal, kamu udah makan belum nak?”
Ibunda Dzul matanya terus meneliti kain sarung yang sedang ditambalnya. Dzul tercenung, “Baharudin ?” tadi siang sekitar jam 2, Baharudin temannya itu memang datang “main” ke kantornya, tapi dia tidak ada menyebut telah mencarinya terlebih dahulu ke rumahnya. Dzul melangkah ke kamarnya dan menjawab pertanyaan ibunya:” ya Bu, nanti saya makan, mau mandi dulu.Dzul bergegas ke masuk ke kamarnya.
Pukul 11 malam, Dzul masih duduk bersila di atas sajadahnya sehabis melaksanakan shalat witir. Benaknya terus berputar mengingat pembicaraannya dengan Baharudin tadi sore di kantornya. Baharudin adalah kawannya dan kawan Amir juga sejak masih menimba ilmu di pesantren dulu. Dzul mengingat lagi pembicaraannya dengan Baharudin di kantornya. Dalam suasana hangat mereka berdua asyik berbincang, :
”Jadi kapan antum ketemu Amir Dzul?” tanya Baharudin.
Dzul mencoba berfikir cepat untuk menjawab pertanyaan ini, banyak hal yang misterius dengan Amir sekarang, membuatnya harus berhati-hati menjawab pertanyaan orang-orang yang mengarah pada hubungannya dengan Amir :
” wah sudah jarang sekali, nggak tau kemana dia, makin sibuk saja rupanya akhi kita satu itu”.
Baharudin terdiam lalu berkata lagi:
” Yaa, memang sudah tugas kita untuk sibuk kan? Sibuk ibadah maksud ane. Cuma ibadah yang bagaimana dulu”. Dzul tertarik dengan kata-kata Baharudin itu lalu bertanya :
” Jadi sibuk ibadah yang gimana nih harusnya akhy?”.
Baharudin tidak menjawab pertanyaan Dzul, dia hanya tersenyum sambil menghirup kopi panasnya, lagipula itu bukan pertanyaan yang harus dijawabnya, sebagai sesama anak didik K.H. Misbach Maulana Arifin, pemimpin umum Pesantren Miftahul Huda, Baharudin tahu Dzul tidak perlu diajari lagi pemahaman-pemahaman seperti itu. Namun Wajah Baharudin nampak berubah lebih serius sekarang, ia menggeser duduknya dan berbicara lebih pelan dari sebelumnya :
” Dzul, apakah buku-buku milik Amir sudah kau bakar?”.
Dzul terkejut, ia menatap Baharudin, tak mengerti bagaimana ia tahu tentang hal itu sedang tadi dia bersikap seperti sudah lama tak berkomunikasi dengan Amir.Baharudin menanyakan perkara buku milik Amir itu, rupanya ia mengetahui hal itu . Apakah Baharudin mempunyai urusan yang sama dengan Amir ?.Dzul mengangkat alisnya, mencoba menyusun kata-kata sewajar mungkin, ia teringat tidak semua buku milik Amir yang ia bakar sesuai permintaannya, ada beberapa dokumen yang ia penasaran ingin membacanya maka ia simpan rapat di lemarinya dan sudah dibacanya lalu Dzulpun berkata :
”ya tentu saja saya bakar Bahar, tapi Bahar ada apa ini sebenarnya ? Dimana Amir ?”.
Dzul menyemprot Baharudin dengan pertanyaannya. Baharudin kembali berbicara dengan suara yang terkesan sangat hati-hati :
”Dzul, dia percaya sekali pada antum, dan jaga ini tetap tertutup suatu saat dia akan menjelaskan. Tapi sedikit saja yang ingin ana sampaikan akhy, apa yang sedang kita bicarakan ini urusan besar, urusan menyangkut cita-cita besar. Ini ibadah yang ana maksud kawan, kalau saudaramu memintamu menyimpan rahasianya, maka simpanlah, ini demi keselamatannya ”.
Dzul menarik nafas dalam-dalam, ditenangkannya hatinya sambil berdzikir, ia sudah mengira semua ini adalah mata rantai dari sesuatu yang masih misteri baginya. Dzul pun lalu bertanya :
” Apakah penangkapan Irwan tempo hari ada hubungannya dengan ini semua Bahar ?”.
Dzul menatap mata Bahar dalam-dalam, mencoba menerka-nerka jawaban temannya ini yang ternyata merupakan teman satu kelompok dengan Amir dan Irwan. Baharudin balas menatap Dzul, lalu ia berkata:
” Dzul antum lebih memahami, segala pilihan itu ada resikonya dan “resiko” dari perjuangan ini adalah Syurga walaupun semua orang mencemooh. Kerusakan di negeri ini sudah sangat parah Dzul, sudah hancur aqidah dan moral di mana-mana, bencana sudah begitu rupa Allah turunkan dan orang-orang kafir, fasik, dzalim itu semakin bebas dan seenaknya saja berkeliaran. Kalau antum sedikit saja membantu perjuangan karena Allah ini, kau sudah berdiri di jalanNYA ,membela agamaNYA, Syurga balasannya akhy ?”.
Baharudin memberi tekanan pada kata terakhirnya. Dzul mencoba tetap tenang dan menjaga kata-katanya agar tidak menyinggung atau disalah fahami temannya itu :
”Bahar, ana tidak mempermasalahkan kewajiban membela Agama Allah. Tapi ada sedikit pertanyaan saja , bagaimana bisa antum memastikan mereka-mereka yang antum sebutkan itu adalah Kafir, Fasik, Dzalim ? Sebutan-sebutan itu kan ada konsekuensi hukumnya buat kita dalam bermu’amalah dengan mereka Akhy ?”
Dzul mencoba membangun sebuah diskusi. Baharudin menatap Dzul lalu ia mengutip sebuah ayat bahwa barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diperintahkan Allah maka ia telah fasik, dzalim bahkan kafir (Q.S Al-Ma’idah 44, 45,47).
Dzul langsung menggunakan ayat yang sama,ia berkata:” Jika demikian apakah antum atau pemimpin-pemimpin kelompok itu memutuskan menurut perintah Allah juga untuk mendakwa mereka itu fasik/dzalim/kafir walaupun sama telah mengucap Laailaahaillallah ? Apakah mereka itu perlu dianggap musuh walaupun mereka shalat,zakat,berpuasa dan berhaji hanya karena tidak mengikuti kelompokmu?
Baharudin nampak ingin menyela, namun Dzul meneruskan kata-katanya.
“Bahar, kita sesama saudara satu aqidah -terlepas dari apakah sudah sempurna aqidahnya atau tidak- apakah hanya karena tidak satu kelompok/ haraqah atau tidak seguru seilmu dengan kita, maka mereka layak kita nilai / sebut orang-orang fasiq, orang-orang dzalim, bahkan kafir? Sedang diantara mereka bisa jadi lebih bersih imannya, lebih tulus, lebih baik ibadahnya ? Yang seperti ini besar konsekuensinya akhy, banyak penderitaan ditanggung umat ini, banyak pertumpahan darah antar sesama saudara seaqidah akibat dari sikap-sikap ekstrim ini. Ingat peristiwa Usamah radiallahu anhu Bahar? Beliau dimarahi Rasulullah dalam perang Khaibar telah membunuh seorang musuh yang memelas tak ingin dibunuh oleh Usamah, padahal dalam peperangan membunuh atau terbunuh itu adalah sebuah konsekuensi kan?, lalu ia mengucapkan kalimah syahadah di depan Usamah, tapi Usamah tak mempercayai ketulusannya lalu dibunuhnya ia. Kau tahu Bahar sejarah itu ?, Rasulullah murka kepada Usamah. Ini kata-kata Rasululah saw
“APAKAH TELAH ENGKAU BELAH DADANYA LALU ENGKAU LIHAT ISI HATINYA ? bahwa musuh itu tidak bersungguh-sungguh syahadatnya hanya taktik saja agar selamat dari pedang Usamah?. Ini menunjukkan betapa beratnya urusan klaim iman, kafir, fasik dan dzalim itu, bukan hak kita. Kita di dunia ini hanya sebagai saksi saja, seorang saksi tidak punya hak untuk menghakimi siapapun. Bagaimana menurutmu Bahar, sedang banyak orang-orang yang tidak satu pemahaman atau satu kelompok dengan kita itu bisa jadi Ibu kita sendiri, yang sudah melahirkan, membesarkan kita. Atau ayah kita, family kita, ustadz-ustadzah kita, tetangga-tetangga muslim kita. Itu sebabnya, gelar-gelar fasik,dzalim, kafir itu ana bilang ada konsekuensi hukumnya. Sabda Rasulullah saw, JADILAH KALIAN HAMBA-HAMBA ALLAH YANG BERSAUDARA, sesungguhnya muslim itu haram darahnya, haram hartanya, haram kehormatannya bagi muslim lainnya. Maaf Bahar, itu hanya pandangan pribadi ana sendiri.”
Baharudin diam tak menjawab sepatah katapun tetapi ia menatap Dzul, meneguk sedikit air minumnya lalu berkata:
” Ciri-ciri itu sudah jelas dalam Al-Qur’an akhy, firman Allah, apa kau mau membantahnya? Dimana posisi antum? Ana kemari sebetulnya hanya amanat Amir saja, apa yang Amir katakan tentangmu ternyata berbeda dalam pandanganku. Ana kira antum bersama kami. Baiklah, ana hanya ingin memastikan apakah amanat Amir masih tetap aman ditangan antum? Karena jika tidak pasti akan ada konsekuensinya”. Baharudin menatapnya tajam, Dzul merasakan nada yang aneh dalam suara Baharudin. Kemudian Dzul berkata:
” Tenanglah akhy, bagi ana Amir tetaplah saudaraku karena Allah, apa yang dia amanatkan untuk membakar buku-buku itu saya sudah lakukan”. Dzul mencoba tetap tenang dan berjanji dalam hatinya bahwa ia akan membakar buku-buku Amir yang tersisa.
Dzul melihat jam di mejanya, sudah tengah malam rupanya ia menolehkan kepalanya, menatap lemari baju yang didalamnya terdapat beberapa tulisan-tulisan Amir. Ia berencana akan membakar semuanya besok pagi dan tak hendak mengetahui lagi apa penyebabnya. Kini Dzul teringat nasehat-nasehat Kyainya di pesantren, salah satunya adalah:
” Potensi terbesar dari Syaithan untuk menggelincirkan manusia itu adalah manakala manusia sudah berani ’Ngaku’, ngaku Ada (padahal yang Maha Ada itu hanya Tuhan karena asalnya kita makhluk ini memang tidak ada dan yang kekal abadi keberadaannya itu hanya Tuhan), Ngaku Punya (tidak sadar bahwa segala yang dia “genggam”dalam kehidupannya itu cuma milik dan titipan Tuhan), ngaku Pintar sendiri (merasa memang sudah bakatnya pintar/pandai), ngaku Benar sendiri (bahwa dirinya/kelompoknya berada di tempat yang paling benar sedang yang lain salah).
Miris hati Dzul, berawal dari berani “ngaku” inilah kata sang guru, bisa disaksikan banyak orang berkelompok-kelompok sesuai dengan pemahaman dan keyakinannya, setiap kelompok menyatakan dirinya di atas kebenaran, lalu satu sama lain saling menyakiti dan memerangi tanpa haq. Mengambil beberapa Nash Al-Qur’an maupun Hadist untuk melegalkan beberapa perbuatan yang justru dilarang agama. Pada akhirnya berujung kepada masalah kekuasaan. Sudah lupa kepada tujuan bertauhid yaitu menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan segala perbuatan, yang disembah, yang dicintai, yang diingat-ingat agar masing-masing diri bisa “pulang” kembali bertemu dengan Allah “sendiri” yang oleh sebab itu disebut Islam (selamat). Dzul menyungkur sujud merendahkan diri dihadapan Rabbul Izzaty seraya menghiba:
”Alaahumma, kasihanilah kami umat RasulMU ini, yang telah tertipu hijab dunia. Ya Rabb, jangan Engkau biarkan kami terpecah belah, menjadi mangsa empuk musuh yang sesungguhnya. Persatukanlah kami di dalam agama keselamatan ini dalam mahabbah kepadaMU. Tunjukanlah bagiku dan ahliku yang benar itu benar dan kokohkanlah hamba di dalam kebenaran itu, dan tunjukkanlah bagi hamba yang salah itu salah, dan jauhkanlah hamba sejauh-jauhnya, dan sampailkanlah hamba kepadaMU wahai yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dzul bangkit dari sajadahnya, menyetel jam bekernya lalu beranjak tidur..
------------------------------------------------------------------------
Waktu terus berjalan tanpa akan kembali lagi. Tiga bulan setelah lamarannya kepada Salima melalui surat diterima, Dzul dan Salima merasakan kebahagiaan tak terkira. Di dalam Pesantren tempat mereka bertemu dan jatuh cinta, di hadapan guru, orang tua dan kawan-kawannya sebagai saksi, Dzul dan Salima resmi mengikat tali pernikahan, Mitsaqan Ghaliza ikatan yang kokoh dengan niat yang suci melaksanakan ibadah kepada Illahi dalam ikatan rumah tangga yang diberkahi.Dzul dan Salima melaksanakan akad nikahnya di masjid Al-Arifin Billah yang dipenuhi kawan-kawan dan kerabat mereka, suasana pesantren sangat ramai, umbul-umbul yang dibuat dari janur oleh santri-santri putra dipancangkan di berbagai sudut kawasan pesantren.
Lantunan nasyid-nasyid ceria bertemakan pernikahan menggema, berpot-pot tanaman hias yang dipelihara para santri di pajang menambah segar suasana. Begitupun kursi-kursi dan tenda-tenda besar disiapkan untuk para tamu,karena bagaimanapun Dzul adalah orang yang cukup penting di pesantren itu serta banyak koleganya yang ingin turut merayakan kebahagiaannya. Semua turut bergembira dengan pernikahan kedua “Bintang dan “Bulan” Miftahul Huda itu, serta turut mendo’akan untuk kebahagiaan mereka. Salima dan Dzul untuk pertama kalinya saling memandang satu sama lain tanpa ada kecanggungan lagi, dan saling memberikan senyum yang paling manis, diam-diam dalam hati keduanya sama-sama mengucap syukur, telah Allah berikan “Hadiah” yang terindah.
Dalam satu kesempatan berdua, Dzul mengambil tangan istrinya dan berkata ;”Adik Salima, terima kasih telah berkenan menggenapi sayapku, mulai hari ini kita sama-sama “berjalan ke Syurga” ya”. Salima menatap mata suaminya dalam-dalam, tiada kata yang terucap dari bibirnya hanya mata yang berkaca-kaca dan anggukan kepalanya.
“Baarokallohulaka wabaroka ‘alaika wajama’a bainakumaa fiikhoir…Semoga Alloh memberi berkah kepadamu berdua baik dalam senang maupun susah dan mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan”
Kebahagiaan kedua insan itu disaksikan banyak orang dari desa Cikahuripan dan begitu pula Martha, namun ia tetap tak dapat merayakan kebahagiaan mereka itu, bermil-mil jauhnya dari tempat pernikahan mereka Martha bahkan ingin terbang sejauh-jauhnya ke ruang angkasa atau menyelam sedalam-dalamnya ke bawah samudra,agar ia tak bisa mendengar "suara ramainya" pernikahan Dzul dan Salima.
Di hari pernikahan Dzul dan Salima, Martha tengah mengasingkan dirinya di Apsley House, salah satu istana dari Duke of Wellington yang kini telah menjadi Museum dan Art Galerry di London. Martha berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan hatinya yang terserak saat mendengar kabar pernikahan sahabatnya dengan Salima. Kasih tak sampai, namun Martha akan tetap bertahan untuk bangkit kembali membangun cita-citanya dan demi kebahagiaan ayahnya. Martha berjalan menyusuri lorong museum itu, saat tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya. “Martha…!" , nampak dari kejauhan kawannya yang bernama Thelma melambaikan tangannya, Martha mengusap air mata di pipinya "Thelma..." kemudian berlari ke arah Thelma, seakan-akan ingin meninggalkan bekas lukanya yang tertinggal di kampung halamannya.
------------------------------------------------------------------------
Lima Bulan Kemudian
Hari itu hari yang kelabu bagi Dzul, telah datang kabar duka dari rumah yang dulu sering dikunjunginya, yang pernah menjadi tempat bermainnya bersama Amir dan Martha. Ayahanda Amir meninggal dunia, sakit paru-parunya yang lama diderita telah mengantarkannya kepada sang Pencipta. Dahulu ayahanda Amir sering mengajak mereka bertiga berjalan ke atas bukit, menerbangkan layang-layang atau membuat benda-benda lucu terbuat dari batang-batang teh. Sambil menemani mereka bertiga bermain, ayah Amir bekerja memetik teh milik perusahaan. Dahulu, Dzul sering berkhayal, ayah Amir adalah Ayahandanya sendiri karena dia sudah tak memilikinya lagi sejak usianya yang ke tiga tahun. Betapa pedih hati Dzul, saat masuk ke liang lahat itu bersama beberapa laki-laki yang lain hendak meletakkan jenazah laki-laki yang walaupun bukan orang tuanya namun amat ia kasihi, diterimanya jasad itu hati-hati dengan tangannya lalu dengan hati-hati diletakkannya di liang lahat, menghadapkan jasad itu ke arah kiblat. Dzul sendiri yang mengumandangkan adzan di kuburnya walau parau suaranya ditelan kesedihan, lalu Dzul menutup kembali kuburnya dengan tanah dan rangkaian bunga sebagai penghormatan terakhirnya. Dicari-carinya wajah Amir sang putra, namun Dzul tak menemukannya. Hanya sosok wanita tua yang terkulai lemas dipapah keponakannya, dialah Ibunda Amir, mengantar kepergian suaminya tanpa kehadiran anak kandungnya yang telah mereka rawat sejak kecil namun kini tiada kabar beritanya.
Maha Suci Allah yang Maha Agung, tidaklah Allah menciptakan segala kejadian dengan sia-sia. Bagi Dzul semua peristiwa memiliki makna besar bagi orang-orang yang “memperhatikan”. Ia menghampiri Salima yang kini tengah mengandung calon putranya di dalam rahimnya, digenggamnya jemari istrinya dalam-dalam seolah tak ingin lepas lagi, mereka berdua menyusuri tanah makam itu beriringan dengan yang lain, Dzul berjanji di dalam hati akan menjaga diri dan keluarganya dari hebatnya nafsu dunia dan gangguan syaithan yang ingin menghancurkan dan menggagalkan perjalanan sucinya menuju kepada yang Maha Besar yang Allah asmaNYA.
Desa Cikahuripan kini sedang diselimuti halimun, demikian pula hati Dzul, namun semoga halimun itu akan segera berganti dengan cerahnya sinar Mentari yang diberkahi, Allaahumma aamiin
Laahaula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adziim
------------------------------------------------------------------------
Dirampungkan penulisannya pada 25 February 2010, di Bogor
Subscribe to:
Posts (Atom)
Template by Blogger Perempuan