Bolehkah kuajak kamu membayangkan ?
Sedikit umpama yang acap kurasakan ?
Andai dirimu sedang melangkah di suatu jalanan, asyik berjalan dengan pikiranmu sendiri, tiba-tiba seseorang menabrakmu dari belakang, entah dengan bahunya atau sepedanya. Lalu orang itu membentakmu, mengata-ngataimu dan terus berlalu, tanpa tersenyum atau memberimu kesempatan bicara. Dan kamu hanya terpana, tak tahu harus berbuat apa.
...
Kadang kehidupan kurasakan seperti itu.
Suara-suara yang meninggi di sosial media.
Mengarah kepadaku.
Sedang asyik melakukan sesuatu atau kebiasaan sehari-hari. Baik di sosial media ataupun dunia nyata. Keadaan sedang baik-baik saja. Kulakukan apa yang kupikir baik dan perlu kulakukan. Kukerjakan apa yang kurasa menyenangkan kukerjakan.
Tiba-tiba sesuatu terjadi dari arah yang tak kusangka-sangka. Misalnya .... (Kuceritakan apa yang masih bisa kuingat).
Di sebuah grup WA seseorang bertanya atau melempar opini tentang sesuatu yang tidak berkaitan langsung denganku secara pribadi. Tetapi berkaitan dengan keberadaan grup dan kinerja anggotanya.
Beberapa menit atau jam kulihat tak ada yang merespon opininya, maka aku reply sekadar untuk menghargainya. Menghargai kawan satu grup dalam satu komunitasku.
Mungkin dia kurang puas dengan jawabanku, tiba-tiba "suara" ketikan kalimatnya kurasakan seperti meninggi ke arahku. Seolah-olah menyalahkan ku meskipun mungkin bukan padaku seorang.
Dan aku hanya bisa diam.
Hanya bisa menangis dalam hati karena tak seorangpun dalam grup yang bantu menjawab atau menanyakan menduduk persoalan. Grup yang biasanya ramai dan kritis saat membahas sesuatu.
Pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan tak pernah terjawab, padahal orang yang bersuara tinggi padaku barusan itu adalah salah satu orang yang kukagumi dan kuhormati dalam kapasitasnya sebagai sesama penulis.
Begitu dalamnya trauma itu, kadang kubisa tiba-tiba menangis dalam bis, atau dalam kendaraan apapun saat teringat peristiwa itu. Peristiwa yang terjadi di sosial media, di sebuah grup WA.
Mungkin sosial media tidak layak untuk orang sepertiku.
***
Yang kedua tentang foto videoku di sosial media. Seseorang bisa tiba-tiba mengirim text padaku dan berkomentar bahwa sebagai seorang yang religius ku tak pantas memajang foto-foto selfie atau semacamnya di Instagram atau Facebook atau platform mana saja berdasarkan ajaran agama.
Kucoba jelaskan perihal pekerjaanku saat itu sebagai seorang influencer kecil-kecilan yang memerlukan laku berfoto-foto itu (yang tentu masih sopan menurutku sebagai seorang yang berkerudung).
Ditambah lagi sebagai seorang penulis aku selalu berusaha melahirkan tulisan atau caption dengan konteks dan nilai2 kemanusiaan yang universal, kadang-kadang hanya sekadar puisi atau bahkan tulisan lucu dan iseng.
Namun jika kucoba berargumen tentang semua ini maka jawabannya akan lebih panjang dan lebih menohok hati.
Di saat aku pribadi happy melihat orang-orang berbahagia dengan caranya masing-masing berekspresi di sosial medianya.
Di saat aku selalu terharu dan bangga melihat dari akun sosmed mereka, teman-temanku, adik-adikku, keluargaku nampak cantik dan keren lalu aku bisa memujinya, menyampaikan kekaguman atas citra diri mereka.
Mungkin sosial media memang bukan tempatku.
***
Entah berapa kali lagi pernik peristiwa serupa yang membuatku harus menjauh dari sosial media berkali-kali lalu kembali lagi.
Kuakui kadang fitur unfriend atau blokir pada akhirnya harus kugunakan. Bukan karena sakit hati dan kebencian, namun sebagai bentuk mundurnya aku dari penglihatan beliau-beliau yang mungkin "terganggu" dengan postinganku. Yang buat mereka terusik sehingga memantik ucapan-ucapan yang melukai.
Meski masih saja kubertanya-tanya, mungkinkah sosial media bukan tempat untuk orang sepertiku ?.
***
Pernah satu kali terjadi , lalu terjadi sekali lagi beberapa hari terakhir ini. Tiba-tiba seorang teman mengirim chat WA mempertanyakan kenapa dia tak bisa melihat postinganku lagi di Instagram.
FYI akun instagramku memang di-set private. Tapi masalahnya aku tak tahu kenapa bisa seperti itu padahal aku sendiri masih follow orang itu. Kurasa itu hanya soal technological error saja.
Segera kumeminta maaf karena bisa jadi untuk sebagian orang follow memfollow IG orang itu matters, meski untukku sama sekali tidak. Orang bebas mau follow atau tidak akunku, itu sama sekali tidak akan mengganggu rasa persahabatanku pada orang tsb.
Bahkan lalu kukirim screen shoot bukti bahwa aku masih follow akun IGnya dan kujelaskan aku kurang mengerti kenapa hal itu bisa terjadi.
Tapi setelah kejadian itu aku merasakan ada yang berbeda dengan pribadinya. Aku merasa status-statusnya mulai seperti sedang menyindir seseorang. Yang bisa jadi terarah kepadaku atau bukan ? Aku tak tahu.
Tapi seiring dengan itu komentarnya di postinganku juga berubah, dari yang semula terasa akrab menjadi lebih tegas dan keras.
Komentarnya yang selalu support kini terasa lebih resistence, bernada menyanggah. Entahlah ...
Apakah dia pernah tersinggung olehku ? Aku tak tahu. Apakah dia terusik ? Aku juga tak mengejar untuk tahu. Karena aku merasakan dia kini menjauh.
Aku hanya bisa merenung, bahwa manusia sangat mungkin bisa berubah dengan cepat karena banyak hal yang mungkin kita tak perlu atau tak berhak tahu alasannya.
Tak peduli mungkin kita telah berusaha berbuat baik bahkan yang terbaik yang kita bisa. Jangan sekali-kali mengharap balasan serupa.
Air susu dibalas air tuba itu nyata.
Serupa cuaca di musim pancaroba ini yang bisa berubah tiba-tiba kapanpun dimanapun. Dan kita hanya harus siap menerimanya.
Suara-suara meninggi terarah kepadaku.
Mungkin ingin menyadarkan ku, aku tak layak diterima di sosial media.
SINYAL
Sinyal itu sederhana, adakalanya muncul lewat suara ...
warna ...
atau getaran ...
Sinyal terus muncul di hadapanku. Memberiku isyarat, bahwa tak ada yang aman selamanya di dunia ini.
(Jin Ha Kyung - Forecasting weather and love)
PS : Sekali ini saja aku sedikit mencurahkan, sesungguhnya aku sudah menghindari lama untuk tak bersuara dimanapun termasuk sosmed karena itu akan nampak menjadi serupa keluhan.
Dan kata orang tak berguna keluhan di sosmed. Karena semua orang menjadi tahu dan hampir semua orang juga tidak perduli.
Bahkan dengan resiko akan disalah sikapi, karena bisa jadi kita sedang bercurhat tentang sesuatu atau seseorang tapi yang salah paham dan sakit hati orang lain.
Hanya akan melahirkan masalah baru. It's useless.