Tiba-tiba angin bertamu, mengusap lembut paras dan kain mukenanya. Nay menengok jendela, ah ia lupa belum menutupnya sejak adzan Isya.
Dipeluknya lipatan sajadah dan beranjak menuju jendela. Tapi.....
Nay tercenung, tatapannya lekat pada sinar di luar yang sedang rembulan. Bola mata gadis itu sekilas berbinar.
"Sudah purnama lagi"
Bibir Nay membentuk sabit, tersenyum diiring hembusan napas panjang untuk melegakan hatinya.
Gadis itu meletakkan sajadah dan sikunya di kusen. Memperhatikan lukisan malam di kanvas langit yang hitam. Nay mengangkat lengan kanannya, membingkai rembulan dengan telunjuk dan ibu jarinya, seolah-olah memetiknya.
Nay menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Entah kenapa tiba-tiba kerinduan itu datang.
Nay mengeluh, namun tak terdengar. Teringat pada kata-kata Ben saat mereka menyusuri trotoar jalan Braga malam itu, meninggalkan mobilnya begitu saja di halaman parkir cafe.
"Berasa jaman SMA lagi ya kayak gini? "
Nay melihat Ben bertanya sambil tersenyum manis kepadanya dengan gaya meliriknya yang khas sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
"Oya? Kenapa? "
Nay pura-pura bertanya, padahal ia tak pernah lupa saat mereka dulu melipir berdua dari pelajaran olah raga, jalan berdua saja di lapangan Kresna.
"Kamu sudah lupa?" Ben menggaruk hidungnya yang tak gatal.
Nay tertawa kecil senang melihat reaksi Ben yang ternyata tak berubah sejak 12 tahun yang lalu mereka berpisah.
Tiba-tiba Ben menghentikan langkahnya. Nay bingung, matanya memperhatikan paras berpahat megah itu tercenung menatap sebuah pohon flamboyan di tepi jalan.
"Itu flamboyan kita dulu kan Nay?"
Nay tercekat, tak menyangka Ben akan menanyakan sesuatu menggunakan dua kata itu : flamboyan dan kita?
Apakah ini berarti Ben sedang coba membawanya pada masa lalu saat lelaki itu menyatakan cinta kepadanya di bawah pohon flamboyant di belakang SMA mereka ?
Ben tersenyum dan membalikkan tubuhnya yang tinggi menghadap ke arah perempuan yang pernah dan selalu dicintainya sejak SMA.
"Kupikir aku tak pernah bisa menemuimu lagi di kota ini. Aku dengar kamu sekarang tinggal di Swiss. Mungkin Tuhan kasian sama aku ya"
Suara dan cara Ben bertanya yang tak membutuhkan jawaban itu terdengar lucu di telinga Nay hingga membuat gadis itu tersenyum lebar menampakkan giginya yang rapi dan khas di hati Ben.
"Kamu denger dari siapa? Aku di sana cuma 2 tahun ikut Omku sambil nunggu announce kerjaanku di Jakarta." ujar Nay.
Mendengar itu kedua mata Ben mengerut, dan berkata :
"Jadi tiga tahun terakhir ini kamu di Jakarta?"
Nay menganggukkan kepalanya lugu. Ben berkata :
"Setiap tahun aku pulang ke Bandung. Setiap kali itu juga aku mencari kamu Nay, tapi keluargamu selalu bilang kamu di Swiss".
Nay tak tahu harus menjawab apa. Teringat pada Ayahnya yang tak pernah merestui hubungannya dengan Ben.
Tak lama kemudian tap ... tap... tap...
Tiba-tiba satu dua titis air menimpa hidung dan pipi Nay bergantian. Matanya yang bintang mengerjap 3 kedipan. Nay menadahkan telapak tangannya ke udara, sebentar lagi hujan rupanya. Angin pun terasa lebih kencang.
Gadis itu segera menutup jendela bercat hijau pupusnya. Terdengar rerincik suara gerimis yang menimpa genting sudah mulai melagu.
Tenram, setentram saat mereka berbincang di bawah flamboyan.
Kok berhenti?
ReplyDeleteSambungannya manaaaa....