Thursday, October 11, 2018

Suatu Senja di Oktober Kita

Bertemu kamu yang kedua kali setelah  sekian lembar hasrat ternyata bukan hal yang kuresahkan. Cafe yang kutunjuk sebagai tempat pertemuan kitalah yang sempat membuatku kecil hati.

"Kamu gapapa tempatnya disini ? Apa mau pindah? " segera kutanyakan kecemasanku melihat suasana cafe n resto itu tak sesuai dengan performanya selama ini sebagai seorang akademisi sekaligus motivator yang cukup terkenal di wilayah Jawa Tengah dan Timur sana.

"Ndaak. Gapapa. Ini bagus lho." Seringan   itu jawabanmu, terdengar bagiku seperti hanya untuk menutup rasa bersalahku yang memang kurang paham cafe yang bagus dan pas di kota ini untuk tempat kita bertemu.

Kamu segera mempersilakanku duduk di salah satu kursi sofa berlapis kain beludru berwarna hijau pupus itu.

Hingga makanan dan minuman datang,  ku masih merasa belum nyaman menanggapi obrolanmu. Aku mencari sesuatu di matamu yang kuragu apakah berwarna hijau ataukah abu2, tapi tak kutemukan itu.

Saat ku semakin sangsi,  tanganmu menyentuh jemari.  Sejak itu kutahu, kamu ternyata begitu merindu. Dan berikutnya hanyalah 5 jam tak terlupakanku.

Terminal bis itu. Aku tak mengerti untuk apa ada terminal bis di episode hidup kita ? Tapi tempat yang bising, panas dan ramai itu seketika menjadi background yang surga. Para calo dan pengamen itu berorchestra untuk kita.

Ahh masih kuingat bagaimana kamu berada di tempat itu dikerumuni calo penjual tiket dan tak membelinya satupun hanya untuk tetap bersamaku.

Kita berbagi cerita dan tawa sekaligus buah jeruk dan aqua. Sesekali menatap cemas jam tangan yang jarumnya terasa berputar terlalu cepat.

Kamu menungguiku sholat ashar di musholla, persis seperti kamu menungguiku selesai sholat maghrib bertahun-tahun yang lalu. Tak ada yang berubah darimu, kecuali sedikit uban di jambang dekat telingamu. Ya, sedikit uban yang menambah pesona dan kewibaanmu.

Lalu kita menuju mall hanya untuk menghabiskan waktu. Tanganmu tak henti menggenggam jemariku seakan tak ingin melepasku.

Hingga waktu yang telah kita sepakati mengingatkan perpisahan. Dan kecupmu di dahiku, kecupku di tanganmu menjadi salam terakhir di suatu senja Oktober kita. Lalu serupa awan yang dihela angin senja, kita berpisah tanpa suara. Tanpa air mata, namun menyisakan luka.