Pancasila dalam nostalgiaku - Pertama kali mengenal Pancasila bisa dibilang perkenalan tak disengaja saat saya sekolah di tingkat SD. Perkenalan yang ringan, sesederhana mendengar istilah Pancasila disebut-sebut saat upacara bendera. Selugas saat kami diminta menghafalkan butiran kata yang lima sila.
Saya melalui masa-masa kanak-kanak saya bersama orang tua dan adik-adik di sebuah perumahan sederhana di Bandung dimana jarak setiap rumah dengan rumah lainnya hanya dibatasi sebilah tembok setinggi dada anak ingusan.
Di masa kecanggihan gadget belum hadir, saya, adik dan anak-anak sebaya usia lainnya miliki banyak sekali kesempatan bermain bersama. Saking seringnya melewatkan waktu berseiringan rasanya tak puas jika ada satu teman yang absen. "Petualangan" ngelayap bareng jadi kurang sedap saat ada satu saja kawan yang tak ikut ambil bagian.
Itu sebabnya dulu kami sering saling menunggu. Ya setiap hari Minggu saya dan teman-teman selalu menunggu misalnya kedatangan Wanto dan adiknya dari sekolah minggu di gereja di lapangan dekat sekolah TK sambil mencicipi alat-alat permainan di sana. *Modus ya 😁😄
Itu sebabnya dulu kami sering saling menunggu. Ya setiap hari Minggu saya dan teman-teman selalu menunggu misalnya kedatangan Wanto dan adiknya dari sekolah minggu di gereja di lapangan dekat sekolah TK sambil mencicipi alat-alat permainan di sana. *Modus ya 😁😄
Sebaliknya Wanto dan beberapa saudaranya juga dengan sabar menunggu saya dan kawan-kawan lainnya pada waktu -waktu mengaji setiap hari di rumah guru kami atau dengan sabar menanti kami sholat tarawih setiap Ramadan di mesjid kecil perumahan untuk kemudian jika tarawih telah selesai kami semua termasuk Wanto dan adiknya bermain petak umpet dan kucing-kucingan lagi.
Malam-malam terang purnama adalah malam favorit kami anak-anak perumahan, karena hanya pada malam bercahaya rembulan seperti itu para orang tua mengizinkan anak-anaknya bermain hingga larut malam (kecuali di saat musim ujian sekolah).
Biasanya pada kesempatan serupa itu akan kami manfaatkan untuk bermain kucing galah, sondah (engklek) atau lompat tali dari karet di lapangan dekat rumah. Tak heran jika saya dan adik selalu pulang malam dalam keadaan terengah-engah dan berkeringat.
Biasanya pada kesempatan serupa itu akan kami manfaatkan untuk bermain kucing galah, sondah (engklek) atau lompat tali dari karet di lapangan dekat rumah. Tak heran jika saya dan adik selalu pulang malam dalam keadaan terengah-engah dan berkeringat.
![]() |
Doc : Pinterest |
Jika hari raya iedul fitri tiba, saya ingat tetangga depan rumah kami Pak Tedjo dan istri, yakni orang tua dari Wanto, mengunjungi rumah kami dengan pakaian batik pekalongannya yang rapi untuk sekedar mengucapkan selamat dan mengungkap rasa turut berbahagia kepada keluarga kami.
Saya sering mengintip dari balik gorden kamar dan diam-diam kegirangan jika salah satu kue kering yang disuguhkan Mama dimana notabene ada campur tanganku juga di dalamnya dicicipi ayah dan ibunya Wanto.
Di kali yang lain, pada hari raya Natal, gantian Papa dan Mama yang akan berkunjung ke rumah keluarga Tedjo untuk melakukan hal yang sama. Di saat seperti itu biasanya aku akan merayu-rayu Mama untuk ikut, hanya karena supaya bisa melihat secara langsung indahnya pohon Natal man berkelipan lampu hias mungil-mungil di rumah Wanto.
Ada hal yang menurutku lucu tapi membuat saya lalu bersimpatik. Yaitu di saat keluarga Tedjo mengundang semua tetangga dalam acara syukuran yang cukup besar dan meriah lengkap dengan panggung hiburan dan jamuan makanan & minuman.
Kalian tahu syukuran apakah yang diselenggarakan Pak Tedjo dan istrinya itu ? Syukuran khitanan Wanto dan adiknya sodara-sodara. 😱
Khitanan? Yup Khitanan. Terlepas dari kenyataan bahwa mereka adalah keluarga Nasrani yang mungkin berkhitan semata karena alasan kesehatan, atau bisa jadi bagian dari titah agamanya pula saya tak tahu. Yang pasti kenyataan itu dan pengalaman mengikuti prosesinya (prosesi syukurannya ya, jangan salah paham 😜), bagiku adalah keriangan tak terkirakan.
Yang saya rasakan, hidup memang penuh kejutan dan hati rasanya kesenengan terus waku itu karena jadi bisa ngeledekin Wanto nanti waktunya main bareng lagi.
Waktupun berlalu, saat saya dan kawan-kawan tumbuh semakin remaja, persahabatan tak jadi lekang. Meski kesibukan masing-masing semakin bertambah tapi selalu ada kesempatan yang membersamakan kami. Semisal terlibat dalam kepanitiaan peringatan hari kemerdekaan Indonesia atau kesempatan-kesempatan lain yang bahkan bernuansa religi. Saat mengurus acara peringatan Isra Mi'raj misalnya, beberapa sahabat Nasraniku bahkan banyak membantu meskipun sekedar menawarkan jasa antar jemput penceramah atau pengadaan audio system.
Masa-masa yang indah, masa-masa dimana tak lagi nampak perbedaan, yang terasa hanya ketulusan.
Yang saya rasakan, hidup memang penuh kejutan dan hati rasanya kesenengan terus waku itu karena jadi bisa ngeledekin Wanto nanti waktunya main bareng lagi.
Waktupun berlalu, saat saya dan kawan-kawan tumbuh semakin remaja, persahabatan tak jadi lekang. Meski kesibukan masing-masing semakin bertambah tapi selalu ada kesempatan yang membersamakan kami. Semisal terlibat dalam kepanitiaan peringatan hari kemerdekaan Indonesia atau kesempatan-kesempatan lain yang bahkan bernuansa religi. Saat mengurus acara peringatan Isra Mi'raj misalnya, beberapa sahabat Nasraniku bahkan banyak membantu meskipun sekedar menawarkan jasa antar jemput penceramah atau pengadaan audio system.
Masa-masa yang indah, masa-masa dimana tak lagi nampak perbedaan, yang terasa hanya ketulusan.
Pancasila dalam Nostalgiaku
Kini jarakku dan kenangan itu sudah berbilang puluhan warsa. Tapi saya masih selalu tersenyum dan merindukan sahabat-sahabat masa kecil saya. Mengharapkan kenangan saling berkunjung pada tetangga berlain keyakinan datang kembali. Menginginkan kedamaian dalam perbedaan apapun berkelindan lagi dalam kehidupan saya sekarang yang mulai nampak hilang, serta kehidupan anak-anak dan cucu-cucu saya nanti.
Bagi saya, betapa merugi ia yang lahir, hidup, mengabdi dan wafat di atas permukaan buminya dan di bawah naungan langitnya tapi tak bisa mencintainya.
Padahal tanah air, bangsa dan segala kebaikan yang ada di dalamnya adalah amanah dari Tuhannya yang menjadi bagian dari takdirnya.
Sedih sekali saat mulai bermunculan pemikiran yang membenturkan antara Pancasila dasar negara saya dengan Islam agama yang saya peluk dan cintai baik secara halus maupun terang-terangan. Seakan-akan keduanya berlawanan.
Terlebih, dalam sejarahnya dahulu kala, Pancasila sebagai dasar negara dirumuskan dengan melibatkan para ulama pendiri bangsa.
Terlebih, dalam sejarahnya dahulu kala, Pancasila sebagai dasar negara dirumuskan dengan melibatkan para ulama pendiri bangsa.
Saya cinta Indonesia Raya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sebagaimana Rasulullah Muhammad saw pun dahulu mencintai negerinya (Makkah Al-Mukaramah dan Madinah Darussalam)
Berikut ini ucapan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ “
Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau (Makkah) sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku darimu, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu,”
(HR Ibnu Hibban).
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدْرَانِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا
“Dari Anas RA bahwa Nabi SAW apabila kembali dari berpergian, beliau melihat dinding kota Madinah, maka lantas mempercepat untanya. Jika di atas kendaraan lain (seperti bagal atau kuda) maka beliau menggerak-gerakannya karena kecintaanya kepada Madinah,”
(HR Bukhari)
Tanpa saya sadari, rupanya Pancasila telah mewarnai dan membersamai perjalanan masa kecil hingga dewasa kami di negeri secantik dan semakmur Indonesia dengan segenap warna suku bangsa, agama dan bahasanya.
Keberagaman yang harmony yang menjadi identitas dan ciri yang tanpanya semua yang kita miliki ini bukan Indonesia lagi. Karunia Allah yang oleh para founding father kita di masa lalu telah jaga dengan merumuskan azas dan ideology negara untuk mempersatukan semua perbedaan itu agar generasi penerus bangsa yang akan hadir sesudahnya dapat hidup rukun bersama dan menikmati hak serta memenuhi kewajiban mereka secara sempurna tanpa tertindas lagi oleh penjajahan sesama manusia.
Teringat ucapan Bapak Ketua MPR RI Bapak Zulkifly Hasan dalam acara MPR RI Ngobrol Bareng Netizen pada tanggal 5 Juni 2017 yang lalu di gedung Nusantara IV MPR RI Jakarta, beliau mengatakan dalam pidatonya bahwa Pancasila itu kasih sayang, kekeluargaan dan gotong royong.
Keberagaman yang harmony yang menjadi identitas dan ciri yang tanpanya semua yang kita miliki ini bukan Indonesia lagi. Karunia Allah yang oleh para founding father kita di masa lalu telah jaga dengan merumuskan azas dan ideology negara untuk mempersatukan semua perbedaan itu agar generasi penerus bangsa yang akan hadir sesudahnya dapat hidup rukun bersama dan menikmati hak serta memenuhi kewajiban mereka secara sempurna tanpa tertindas lagi oleh penjajahan sesama manusia.
Teringat ucapan Bapak Ketua MPR RI Bapak Zulkifly Hasan dalam acara MPR RI Ngobrol Bareng Netizen pada tanggal 5 Juni 2017 yang lalu di gedung Nusantara IV MPR RI Jakarta, beliau mengatakan dalam pidatonya bahwa Pancasila itu kasih sayang, kekeluargaan dan gotong royong.
Pancasila adalah setiap perilaku yang memanusiakan manusia. Maka kapanpun dan dimanapun kamu melakukan kebaikan yang tulus kepada siapapun terutama saudara sebangsa tanpa memandang asal usulnya, suku dan bahasanya, warna kulit dan agamanya maka ketika itu kamu sedang melaksanakan nilai-nilai Pancasila.
Pada kesempatan berikutnya Sekretaris Jendral MPR RI Bapak Ma'ruf Cahyo juga memberikan masukan kepada para Netizen yang hadir untuk turut andil dalam memberikan kesejukan kepada bangsa ini. Seperti mungkin telah dirasakan dan tak bisa dipungkiri lagi betapa terutama pasca pilpres 2014 dan pilkada DKI Jakarta 2017 masyarakat kita terbelah secara masif.
Di dunia internet panasnya suhu politik seiring kompetisi pilpres dan pilgub Jakarta mewarnai hari-hari kita nyaris di setiap menitnya. Aneka berita hoax dan fitnah berseliweran merajai news feed. Hingga keadaan semakin tak terkendali menimbulkan ekses perpecahan yang sulit ditepis lagi. Aksi memutus jalinan pertemanan menjadi hal yang tak aneh lagi. Bahkan tali persaudaraan karena ikatan darah tak sedikit yang menjadi hancur dan lepas.
Namun dari kesempatan pertemuan para Netizen dan MPR RI yang lalu saya merasa optimis lagi melihat begitu banyak para penggiat dunia literasi memiliki pandangan dan tekad yang sama untuk mengembalikan kondisi bangsa pada kondisinya yang normal, pada Indonesia Raya yang lebih baik lagi.
Meski mungkin bukan hal yang mudah, tapi saya percaya dengan bersatu dan izin Tuhan kita akan bisa menyaksikan Indonesia Baru yang lebih baik lagi, aamiin.
![]() |
Ketua MPR RI Bapak Zulkifly Hasan |
![]() |
Sekretaris Jenderal MPR RI Bapak Ma'ruf Cahyo |
![]() |
Manifesto Indonesia |
![]() |
Bersama Bapak Zulkifly Hasan |
![]() |
Netizen foto bareng di akhir acara Doc. Febrianti Rachma |
Sebenarnya jaman skrng pun hubungan silaturahmi dan toleransi masih ok sih mbak di dunia nyata, cuma gak tau knp medsos kok rame ya. Kalau sya pribadi sih berusaha gak ikutan nyetatus atau komen hal2 yg sensitif, apalagi klo gk tau jelas masalahnya dmn. TFS ya informasinya :D
ReplyDeleteIya mbak April sikap menahan diri kita di media sosial itu penting, semoga kondisi panas di medsos gak nular ke dunyat ya
Delete