Saturday, January 28, 2017

Memastikan Maksud Postingan

Memastikan maksud postingan
"Ini bukan sombong ya, biarpun keliatan cuek tapi suamiku itu royal banget. Kemarin aja udah ngajak jalan-jalan lagi ke Paris padahal belum sebulan baru pulang umroh". 

??? ...

"Cuma seminggu aja pake ini (nyebut nama brand) kulitku beneran ngerasa jadi lebih halus, jerawat hilang dan glowing gitu. Ini bukan iklan". 

Krik krik krik ...


"Sstt tau nggak si ibu yang rumahnya di sebelah sana ?, dia itu kan *@^#^#^$^#%@$○«✩¦÷«※»◎². Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, ini rahasia". 

Tik tok tik tok ...


Pernah dengar orang bicara atau baca status mirip-mirip di atas ? Ya, seringkali tanpa disadari, orang melakukan hal yang tak sesuai dengan yang (baru saja)  diucapkannya atau mengerjakan sesuatu hal yang tak dimaksudkannya tapi di mata orang lain berkesan berbeda.

Seperti contoh kalimat-kalimat di atas, seseorang bilang bahwa ia tak sombong, tapi kalimat selanjutnya justru berkesan pamer.

Atau seseorang bilang ia bukan sedang mempromosikan suatu produk tapi kontennya memuji dan menyebutkan nama produknya.

Atau satu lagi seseorang meminta orang lain untuk menutupi sesuatu hal, tapi dia sendiri mengungkapkan hal yang harus ditutupi / dirahasiakan itu. ^_^

Nggak, inti tulisan saya BUKAN soal pamer, sombong, iklan dan atau menutupi rahasia , , bukan. Point tulisan ini ada pada soal apakah pada saat kita berbicara atau menulis sesuatu di ruang publik sudah sesuai dengan apa yang memang kita sendiri maksudkan.

Jujur, saya sendiri merasa masih belum mahir soal ini, itu sebabnya saya jarang sekali menulis opini di medsos karena khawatir orang menangkap lain maksud tulisan saya.

Kalau ada yang bilang :

"Kenapa takut sama penilaian orang ?".

Mmm saya merasa bukan soal takut sama penilaiannya, hanya sering merasa sesudah menimbang-nimbang lagi :

"Ini opini yang mau saya share bener nggak ?, baik nggak ?, perlu nggak ?, nulis nggak nulis nggak, nulis nggak ?"

Terus lebih berat ke nggak nulis ya udah gak jadi nulis.

Memastikan Maksud Postingan


Tiga hari ke belakang dari sejak saya menulis ini, di time line facebook saya tiba-tiba ada yang share sebuah video dengan caption sederhana :" Hahaha ... "

Ya sesederhana hahaha gitu aja memang. Berhubung saya penggemar dan kepo sama video-video lucu maka saya klik-lah video itu. 

Ternyata video itu berisi tentang seorang anak yang sedang ditanya oleh seorang kepala negara tentang sesuatu hal sebelum diberi hadiah sepeda oleh beliau. Tapi jawaban anak itu mengejutkan, saat dia salah menyebut salah satu nama ikan yang membuat penonton semuanya secara spontan tertawa. Saya sendiripun tertawa waktu itu, spontan aja, sekaligus merasa miris :

"How come ?. Koq bisa tahu ya istilah itu ? " dsb. 

Tapi, dia anak masih kecil. Mungkin seusia anak kelas 2 atau 3 SD. Mungkin sekali juga dia grogi. Jangankan anak kecil, saya aja pasti grogi ngebayangin dalam kondisi itu. Di hadapan presiden, dipandangi semua orang, ada banyak kamera dsb. Terbayang perasaan anaknya, Terbayang perasan orang tuanya. Kasihan. 

Tapi sesudah selesai videonya, selesai juga perhatian saya. Saat ada seorang teman FB yang saya lihat share video yang sama, saya prihatin mengingat hal memalukan buat si anak dalam video itu karena pastinya akan semakin banyak orang yang melihat. 

Tak sampai lewat semalaman, tiba-tiba bermunculan status-status keprihatinan pada anak itu. Status-status yang menghimbau orang agar tak membaginya lagi. Sampai di sini saya setuju. Setuju banget, bahwa kejadian memalukan gak usahlah diviralkan. 

Tapiii, koq tambah banyak ya status-statusnya. Status-status yang bersimpati dan berempati pada anak kecil ini semakin hari semakin banyak. Malah di timeline saya lebih banyak mereka yang membuat status bersimpati pada anak itu daripada yang share videonya. 

Belum lagi komentar-komentarnya yang ternyata banyak di antara kawan-kawan si pembuat status yang belum tahu kejadiannya. Saat ada komentator yang penasaran ada apa, lalu mereka diminta buat "googling". 

Nah kalo dari semua status yang berempati tadi malah bikin orang yang gak tahu jadi tahu, apakah itu bukan ikut membuat jadi viral juga ? 

Menurut pendapat saya, jika kita bermaksud untuk menahan sesuatu biar gak tersebar, sederhana aja ; "Jangan membahasnya, apalagi di ranah publik". Karena saat sudah terunggah di media sosial, mau nggak mau harus siap dengam konsekuensinya, yaitu orang-orang yang menanggapi dan sebagian yang belum tahu kejadiannya yang lalu jadi penasaran. Biarpun banyak komen positif tapi buat yang baca jadi tambah kebayang sosok anaknya. 

Dari sudut pandang saya, kalau mau mengingatkan yang suka ngeshare hal-hal yang gak baik, ingatkan secara private aja itu lebih aman. Orang kalau diingatkan dengan cara yang baik di tempat tertutup biasanya akan lebih menerima dibanding jika diingatkan di tempat terbuka, apalagi dengan cara yang kurang pas. 

Dan lebih-lebih lagi jika ingatan kita itu akan berdampak pada orang lain yang ingin kita lindungi, contohnya si anak dalam video tadi. 

Dari kejadian ini saya pribadi belajar tentang bagaimana saya harus memastikan bahwa jika saya beropini, saya yakin apa yang saya share itu sebisa mungkin sesuai dengan maksud yang diinginkan. Jangan sampai maksud saya A tapi karena kurangnya pertimbangan, akibatnya malah jadi B / C atau yang lain, bahkan bertentangan dengan tujuan sendiri. 

Terkadang, sebatang korek api harus padam, hanya agar batang korek api lain tak ikut terbakar. Sama dengan kita, terkadang perlu diam hanya agar sesuatu yang tak baik tak semakin tersebar. 




11 comments:

  1. iya setuju banget mbak dengan tulisan ini, semakin jengah saja dengan media sosial yang serba terlalu.. eh jadi bang Roma hehe. Kita gak mungkin lepas dari MEdsos karen memang sudah menjadi lifestyle, atau kebutuhan bisnis, tp kita bisa lebih banyak mem-filter diri untuk tidak gampang update, apalagi masalah RT .. nice post mbak :)

    ReplyDelete
  2. Tidak bisa tidak sepakat dengan tulisan ini. Saya setuju dan saya sering merasakan hal2 pada bagian awal. Entah mengapa pesan yang ingin saya sampaikan justru berujung pada kebalikannya.
    Pernah ada masanya saya ingin juga menulis status ttg sesuatu yg viral, sebuah opini yg beda dgn yg lain.
    Tapi, kemudian sayapikir lagi, dan saya bersyukur gak menuliskannya.

    ReplyDelete
  3. Ngerasa bersalah banget,,,awalnya saya ikut ketawa tapi setelah dipikir-pikir kasian juga sama anaknya.

    ReplyDelete
  4. Yup mbak kalo aib memang harusnya ditutupi. Salam kenal mbak, kunjungi juga blogku anasuciana.com

    ReplyDelete
  5. Benar mbak...baiknya kita kalau mau menegut, tegurlah secara diam2..biar yang ditegur nggak merasa digurui...

    ReplyDelete
  6. bagaimana pun kalau mau menasehati/memberi saran memang harus secara face to face mbak, ndak boleh di depan publik.

    eh, saya sekilas baca kalau anak SD tersebut menderita diseleksia lho

    ReplyDelete
  7. Tulisan yang menarik. Saya sendiri tak suka menulis opini di medsos, mending di blog, ya kan? Hehehehhe

    Btw, (tema/tampilan) blognya gak responsif, dibuka pake hape harus scroll sana-sini.

    ReplyDelete
  8. Iya, ternyata anaknya disleksia, Alhamdulillah ngga ikut nyebarin..

    ReplyDelete
  9. Betul mbak, harus saling mengingatkan tentang share atau posting sesuatu ke media sosial. Terutama juga menjaga diri sendiri terlebih dahulu untuk tidak "gatal" asal share atau posting sesuatu tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu.

    Salam,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ya pak yg susah itu menjaga diri, penasaran pengen share2 aja yg sesuai kecenderungan kita.

      Delete

Terima kasih sudah singgah di Goresanku ya ^_^