Dibalik secarik daluang - Selalu merasakan
suasana berbeda setiap kali mengunjungi gedung museum. Begitu juga kali itu,
saat melintasi gerbang Museum Textil Jakarta pada pagi hari di 2 Desember 2016 yang
lalu bersama seorang teman blogger untuk menghadiri workshop doodle pada
Daluang.
Dari jauh saya melihat
beberapa orang sudah berkumpul di teras museum berarsitektur kuno itu. Salah
seorang teman blogger yang sangat ramah menyambutku menghangatkan hatiku.
Segera pandangan saya menyapu sekeliling, fasad museum yang didominasi cat
berwarna putih pada dindingnya dan warna hijau pada kayu pintu-pintu dan jendelanya
seolah mempersilakan saya untuk terbawa pada masa yang telah lalu.
Sambil menunggu
dimulainya acara saya menyempatkan diri meliihat-lihat area museum yang di
dalamnya digelar rupa-rupa karya dari kriya busana Indonesia yang memiliki usia
sejarahnya yang begitu panjang.
Apa itu Daluang ?
Sesuatu yang akan menjadi media berkarya doodle dalam workshop itu menarik rasa
ingin tahuku.
Daluang ternyata
adalah sebutan untuk kain kulit kayu di daratan Jawa (di Sulawesi Tengah kain
kulit kayu ini dikenal dengan nama Fuya) yang telah ditemukan sejak ribuan
tahun yang lalu. Mengalami proses yang panjang dan rumit dari mulai berupa
kulit pohon hingga menjadi kain yang bertekstur halus dan tipis pada masa dimana
masa kemajuan teknologi belum sampai. Diperkirakan, budaya mmengolah dan
memproduksi Daluang telah dimulai sejak bangsa Austronesia melakukan perjalanan
6800 tahun yang lalu dari Cina Selatan menuju Macau dengan menempuh dua jalur
yaitu jalur darat melewati Vietnam dan jalur laut melintasi Philipina.
Dalam perjalanan itu
konon mereka membawa bibit pohon Saeh yang merupakan bahan dasar pembuatan
Daluang dan peralatan pembuatan Daluang berupa batu yang disebut dengan batu
Ike. Mungkin itu sebabnya terdapat persamaan yang ditemukan saat ini pada batu
Ike di Sulawesi Tengah dengan batu Ike yang digunakan di Taiwan.
Di tanah asalnya,
Daluang atau Fuya ini banyak digunakan sebagai pelindung tubuh alias pakaian meski
jika mengingat teksturnya yang halus dan rapuh agak sulit bagi kita memahami
bagaimana kulit kayu itu memenuhi kebutuhan orang-orang di masa lalu dalam
melindungi tubuh mereka. Tetapi di Jawa berbeda, Daluang kebanyakan digunakan
sebagai media menulis. Hal ini diketahui setelah ditemukannya naskah-naskah
kuno yang ditulis di atas Daluang (Daluwang).
Menurut data dari Kriya
Indonesia saat ini para pengrajin Daluang menjualnya dalam bentuk lembaran,
Harga di tingkat pengrajin berkisar antara 150 ribu hingga 350 ribu rupiah. Jika
dibuat langsung dari kulit pohon Saeh harganya bisa lebih mahal lagi karena
kualitasnya yang memang bagus. Harga yang cukup rendah mengingat telah
langkanya kriya busana dari bahan kulit kayu seperti ini.
Dan saat diperkenan
menyentuh lembaran kecil daluang sebagai media untuk melukis di workshop doodle
itu saya sangat takjub, ini kertas kecil teramat berharga, dibuat dengan cinta
oleh tangan-tangan kreatornya yang kini jumlahnyapun telah banyak menyusut dan
usia mereka rata-rata telah tua.
Semoga karya kulit kayu berusia purba ini
terus lestari di bumi Indonesia ya, aamiin.
Di bawah ini rangkaian
acara workshop doodle on Daluang di Museum Textil Jakarta :
- Laporan kegiatan oleh Kepala Museum Seni DKI Jakarta Ibu Esti Utami
- Pengenalan Kartini Blue Bird oleh mbak Nova
- Penyerahan lukisan kepada : Asisten Deputi Bidang Kebudayaan DKI Jakarta – Bapak Usmayadi Rameli oleh mbak Tanti Amelia, kepada Prof. Sakamoto, ahli kertas dari Jepang oleh mbak Nova, Kartini Blue Bird dan kepada Kepala Mueseum Seni, Ibu Esti Utami oleh Astri Damayanti; Founder Kriya Indonesia
- Pembukaan workshop sekaligus penutupan pameran Beaten Bark oleh Asisten Deputi bidang Kebudayaan DKI Jakarta Bapak Usmayadi Rameli.
- Menggambar doodle bersama seluruh peserta dengan mentor mbak Tanti Amelia
Bener Bener keren bnget ce hehehe
ReplyDeleteDmna saya bisa dapatkan bibit daluang, mohon ingomasi nya yulirangamphu@gmail.com
ReplyDelete