Thursday, March 31, 2016

Masa Kecil dan Keajaiban

Bicara masa kecil, buatku seperti bicara keajaiban. Iya, dulu semuanya terlihat ajaib buatku, ajaib apa aneh ya ? Pokoknya aku sangat menikmati masa kecilku yang rada absurd itu hihi.

Usiaku sekitar balita, tapi sudah dikarunia dua adik perempuan. Dulu itu, serasa diberi Tuhan sekaligus dua boneka. Si bungsu Vita masih bayi, tak boleh pengen ikut gendong, hanya bisa dipandang dari dekat, Tinna adikku kedua yang hanya berjarak  2 tahun usianya dariku baru seru, hanya dia yang bisa jadi teman bermainku. Dan kurasa hanya Tinna ini yang paling sering jadi korban percobaanku kalau sedang main salon-salonan atau rumah-rumahan di rumah hehe. Meski dia adik kecilku, tapi dia juga tempat pelipuranku jika aku dibuat sedih oleh teman. Dan dia juga teman tidurku satu pembaringan, yang jika aku ketakutan teringat cerita seram, aku hanya tinggal memegangi tangannya sambil komat-kamit merapal semua bacaan. Adikku, adalah keajaiban Tuhan buatku.

Saat itu keluarga kami tinggal menumpang di lahan milik nenek. Jadi orang tuaku dan anak-anak tinggal di sebuah pavilyun yang letaknya terpisah dari rumah utama Nenek. Meskipun begitu, kami merasa satu rumah saja dengan nenek dan kakekku karena setiap hari dari pagi sampai sore jika aku tak pergi ke sekolah pastilah bermain di dalam rumah Nenek. Ada sebuah pohon alpukat besar di halaman rumah nenek yang hampir setiap hari aku selalu duduk di bawahnya berjam-jam cuma buat liatin semut dan membayangkan mereka ngobrol satu sama lain. Kadang-kadang, aku bermaksud baik membuatkan mereka gua tempat berlindung dari pecahan genting dan batu, tapi herannya tak satupun yang berminat masuk ke dalamnya. Kalau sudah begitu, aku akan buatkan gua yang baru yang lebih bagus meski kakiku lama-lama terasa gatal dan pegal. Semut, adalah keajaiban Tuhan buatku.

Meskipun rumah nenek besar dan berada di perumahan dengan lingkungan dan rumah tetangga yang berkecukupan tapi kehidupan keluarga besar kami sendiri sebenarnya sangat sederhana. Sebagai keluarga yang mulai dari Nenekku, Mamaku, dan Papaku yang berprofesi guru (kecuali kakekku seorang pegawai di badan usaha milik pemerintah) gaya hidup kami jauh lebih terbatas  dari para tetangga yang waktu itu bisa dibilang serba ada.

Berkali-kali pernah bermain dengan teman-teman di rumah mereka dan aku selalu takjub melihat isinya. Sering terpukau bukan dengan mainan milik teman, malah asyik perhatikan petugas Telkom yang datang khusus hanya untuk membersihkan pesawat telepon putar milik ayah temanku itu. Memperhatikannya membuka cangkang gagang telpon dengan hati-hati, lalu mengeluarkan semacam tissue dan sebotol parfum lalu melap pesawat telpon itu pada setiap detailnya perlahan. Ahh, melihat itu jantungku berdebar-debar dibuatnya. Setelah selesai, lalu ia merapikan kembali gagang telepon itu dengan hati-hati dan meletakkannya di meja kembali.Berpuluh tahun kemudian,  dipikir-pikir, sampai saya besar dan punya rumah serta pesawat telpon sendiri, belum pernah tuh ada petugas yang datang ke rumah sengaja buat bersihin pesawat telponku. Aneh deh. Pesawat telepon temanku ternyata keajaiban Tuhan juga buatku.

Saat bulan Ramadhan tiba, di awal-awal  aku dan adikku diajarkan Mama Papa mulai berpuasa, duduk bersandar dekat lemari makan yang terkunci sekitar jam 2 siang adalah ritualku. Entah kenapa lemari makan yang di bulan-bulan lain terlihat dan terasa biasa-biasa saja, maka di bulan Ramadhan magnetnya begitu kuat luar biasa. Pernah di salah satu harinya Mama membeli dodol durian yang wanginya melelehkan iman, dan seperti biasa Mama mengeluarkan jurus teganya, mengunci dodol durian itu di dalam lemari makan. Meski masih kelas satu SD, tak ada niatku membatalkan puasaku, aku cuma ingin mencium aroma wanginya. Masalahnya, saking kepinginnya cium wangi itu dodol durian aku sampai mengerahkan kursi-kursi makan bertumpuk-tumpuk hingga akhirnya ambruk dan kepalaku benjol dibuatnya. Waktu itu, aku mengakui kuatnya benteng lemari makan. Buatku, lemari makan Mama adalah keajaiban Tuhan juga.

Saat bulan Ramadhan menjelang di penghujungnya, Papa membawa Mama, aku dan adik-adikku mudik ke kampungnya. Mudik bukan memakai mobil pribadi, tapi menumpang mobil umum (kami menyebutnya mobil Elf) yang penumpangnya dijejer lebih dari ikan pindang. Wah itu pengalaman seru sekali, karena jalanan menuju kampung Papaku jalannya berbatu-batu, maka jadilah di sepanjang jalan itu kami terguncang-guncang ke sana kemari, tapi berhubung penumpang Elf itu padat sekali yang ada sering buat aku dan adikku geli dan tertawa-tawa kencang dibuatnya, dan itu menular membuat penumpang lain tak bisa menahan senyum bahkan ikut tertawa bersama kami. Kamu tahu ? bagiku Elf adalah keajaiban.


Tiba di terminal akhir, biasanya aku dan adikku sering meminta Papa untuk menempuh sisa perjalanan dengan berjalan kaki, meskipun jarak dari terminal ke rumah Kakek dan Nenek di kampung Papa masih cukup jauh. Alasannya Cuma satu, karena ingin menyusuri sungai kecil di sepanjang perjalanan menuju rumah Kakek dan membayangkan ada bangsa liliput yang hidup di sepanjang sungai itu. Ya, aku punya liliput dalam sungai rumah Kakek yang selalu kurindukan dan buatku semangat setiap jelang lebaran. Buatku, sungai Kakek dan liliput adalah keajaiban.

Ya, bicara masa kecil buatku bermakna bicara keajaiban. Bahkan hingga sekarang kurasa keajaiban itu terus mengikutiku. Saat melihat anak-anakku mulai bertingkah sepertiku. Aahh, Tuhan, buatku anak-anakkupun adalah keajaiban kehidupan. 

2 comments:

  1. mbak winny apa kabarrr lama rasanya nggak main kemari :D

    ReplyDelete
  2. setuju banget mba Winny, anak-anak selalu jadi keajaiban buat kita orangtuanya yaa :)

    ReplyDelete

Terima kasih sudah singgah di Goresanku ya ^_^