Bicara masa kecil, buatku seperti bicara keajaiban. Iya,
dulu semuanya terlihat ajaib buatku, ajaib apa aneh ya ? Pokoknya aku sangat
menikmati masa kecilku yang rada absurd itu hihi.
Usiaku sekitar balita, tapi sudah dikarunia dua adik
perempuan. Dulu itu, serasa diberi Tuhan sekaligus dua boneka. Si bungsu Vita
masih bayi, tak boleh pengen ikut gendong, hanya bisa dipandang dari dekat,
Tinna adikku kedua yang hanya berjarak 2
tahun usianya dariku baru seru, hanya dia yang bisa jadi teman bermainku. Dan
kurasa hanya Tinna ini yang paling sering jadi korban percobaanku kalau sedang
main salon-salonan atau rumah-rumahan di rumah hehe. Meski dia adik kecilku,
tapi dia juga tempat pelipuranku jika aku dibuat sedih oleh teman. Dan dia juga
teman tidurku satu pembaringan, yang jika aku ketakutan teringat cerita seram,
aku hanya tinggal memegangi tangannya sambil komat-kamit merapal semua bacaan.
Adikku, adalah keajaiban Tuhan buatku.
Saat itu keluarga kami tinggal menumpang di lahan milik nenek.
Jadi orang tuaku dan anak-anak tinggal di sebuah pavilyun yang letaknya
terpisah dari rumah utama Nenek. Meskipun begitu, kami merasa satu rumah saja
dengan nenek dan kakekku karena setiap hari dari pagi sampai sore jika aku tak
pergi ke sekolah pastilah bermain di dalam rumah Nenek. Ada sebuah pohon
alpukat besar di halaman rumah nenek yang hampir setiap hari aku selalu duduk
di bawahnya berjam-jam cuma buat liatin semut dan membayangkan mereka ngobrol
satu sama lain. Kadang-kadang, aku bermaksud baik membuatkan mereka gua tempat
berlindung dari pecahan genting dan batu, tapi herannya tak satupun yang
berminat masuk ke dalamnya. Kalau sudah begitu, aku akan buatkan gua yang baru yang lebih bagus meski kakiku lama-lama terasa gatal dan pegal. Semut, adalah keajaiban Tuhan buatku.
Meskipun rumah nenek besar dan berada di perumahan dengan
lingkungan dan rumah tetangga yang berkecukupan tapi kehidupan keluarga besar
kami sendiri sebenarnya sangat sederhana. Sebagai keluarga yang mulai dari
Nenekku, Mamaku, dan Papaku yang berprofesi guru (kecuali kakekku seorang
pegawai di badan usaha milik pemerintah) gaya hidup kami jauh lebih
terbatas dari para tetangga yang waktu
itu bisa dibilang serba ada.
Berkali-kali pernah bermain dengan teman-teman di rumah
mereka dan aku selalu takjub melihat isinya. Sering terpukau bukan dengan
mainan milik teman, malah asyik perhatikan petugas Telkom yang datang khusus
hanya untuk membersihkan pesawat telepon putar milik ayah temanku itu.
Memperhatikannya membuka cangkang gagang telpon dengan hati-hati, lalu mengeluarkan
semacam tissue dan sebotol parfum lalu melap pesawat telpon itu pada setiap
detailnya perlahan. Ahh, melihat itu jantungku berdebar-debar dibuatnya.
Setelah selesai, lalu ia merapikan kembali gagang telepon itu dengan hati-hati
dan meletakkannya di meja kembali.Berpuluh tahun kemudian, dipikir-pikir, sampai saya besar dan punya
rumah serta pesawat telpon sendiri, belum pernah tuh ada petugas yang datang ke
rumah sengaja buat bersihin pesawat telponku. Aneh deh. Pesawat telepon temanku
ternyata keajaiban Tuhan juga buatku.
Saat bulan Ramadhan tiba, di awal-awal aku dan adikku diajarkan Mama Papa mulai
berpuasa, duduk bersandar dekat lemari makan yang terkunci sekitar jam 2 siang
adalah ritualku. Entah kenapa lemari makan yang di bulan-bulan lain terlihat
dan terasa biasa-biasa saja, maka di bulan Ramadhan magnetnya begitu kuat luar
biasa. Pernah di salah satu harinya Mama membeli dodol durian yang wanginya
melelehkan iman, dan seperti biasa Mama mengeluarkan jurus teganya, mengunci
dodol durian itu di dalam lemari makan. Meski masih kelas satu SD, tak ada
niatku membatalkan puasaku, aku cuma ingin mencium aroma wanginya. Masalahnya,
saking kepinginnya cium wangi itu dodol durian aku sampai mengerahkan
kursi-kursi makan bertumpuk-tumpuk hingga akhirnya ambruk dan kepalaku benjol
dibuatnya. Waktu itu, aku mengakui kuatnya benteng lemari makan. Buatku, lemari
makan Mama adalah keajaiban Tuhan juga.
Saat bulan Ramadhan menjelang di penghujungnya, Papa membawa
Mama, aku dan adik-adikku mudik ke kampungnya. Mudik bukan memakai mobil
pribadi, tapi menumpang mobil umum (kami menyebutnya mobil Elf) yang
penumpangnya dijejer lebih dari ikan pindang. Wah itu pengalaman seru sekali,
karena jalanan menuju kampung Papaku jalannya berbatu-batu, maka jadilah di
sepanjang jalan itu kami terguncang-guncang ke sana kemari, tapi berhubung
penumpang Elf itu padat sekali yang ada sering buat aku dan adikku geli dan
tertawa-tawa kencang dibuatnya, dan itu menular membuat penumpang lain tak bisa
menahan senyum bahkan ikut tertawa bersama kami. Kamu tahu ? bagiku Elf adalah
keajaiban.
Tiba di terminal akhir, biasanya aku dan adikku sering
meminta Papa untuk menempuh sisa perjalanan dengan berjalan kaki, meskipun
jarak dari terminal ke rumah Kakek dan Nenek di kampung Papa masih cukup jauh.
Alasannya Cuma satu, karena ingin menyusuri sungai kecil di sepanjang
perjalanan menuju rumah Kakek dan membayangkan ada bangsa liliput yang hidup di
sepanjang sungai itu. Ya, aku punya liliput dalam sungai rumah Kakek yang
selalu kurindukan dan buatku semangat setiap jelang lebaran. Buatku, sungai
Kakek dan liliput adalah keajaiban.
Ya, bicara masa kecil buatku bermakna bicara keajaiban. Bahkan hingga sekarang kurasa keajaiban itu terus mengikutiku. Saat melihat anak-anakku mulai bertingkah sepertiku. Aahh, Tuhan, buatku anak-anakkupun adalah keajaiban kehidupan.