Papa bisa tinggalkan Nana sekarang Pa.
"Wowww" ....
Hanya itu yang kuucapkan, meski apa yang buncah di dadaku mungkin melebihi letusan Gunung Merapi. Kupandangi sepeda mini yang selalu kuinginkan dan selalu kumohon-mohonkan penuh hiba kepada Mama dan Papa sejak berbulan-bulan yang lalu. Tak kusangka, sesuatu yang ditilam plastik lebar bergambar di kamarku tadi malam adalah sepeda yang kuimpikan.
Dan kini Papa telah berada di sampingku, tepat disisi lenganku yang mencengkeram erat sepedaku. Seakan ia merasakan degup di dadaku, Papa menentramkan hatiku.
Tuesday, December 31, 2013
Wednesday, December 25, 2013
Perdu Rindu
Seraut wajah memandang gegana nan putih berlayangan di angkasa raya
Merupa kanvas biru teramat biru di langit kotanya
"Kamu kangen aku tha mas ?". Tanya hatinya
Lalu coklat bola matanya mencermati kuntum-kuntum bunga perdu yang tadi dipetiknya. Ada satu, dua, tiga, empat, ahh tujuh bunga perdu ada diantara ujung-ujung jemarinya.
Tiba-tiba dua alis indah itu seakan hendak membentuk kurva. Sayu menjelajahi parasnya. Angin savana hampir-hampir menenggelamkan suaranya yang lirih :
"Maaf ..."
Ia menghembuskan satu tiupan, dan bunga-bunga perdu beterbangan. Terbang pada bayangan yang terus melibat sukmanya.
Rindu.
Merupa kanvas biru teramat biru di langit kotanya
"Kamu kangen aku tha mas ?". Tanya hatinya
Lalu coklat bola matanya mencermati kuntum-kuntum bunga perdu yang tadi dipetiknya. Ada satu, dua, tiga, empat, ahh tujuh bunga perdu ada diantara ujung-ujung jemarinya.
Tiba-tiba dua alis indah itu seakan hendak membentuk kurva. Sayu menjelajahi parasnya. Angin savana hampir-hampir menenggelamkan suaranya yang lirih :
"Maaf ..."
Ia menghembuskan satu tiupan, dan bunga-bunga perdu beterbangan. Terbang pada bayangan yang terus melibat sukmanya.
Rindu.
Thursday, October 3, 2013
Yang Lebih Tinggi Dari Cinta
May mengelus lembut rambut
lelaki itu, memandang kelopak matanya yang pejam dan sudut bibir yang
tersenyum damai. Ingin membangunkannya, dan menatap kembali danau
menyejukkan di kedalaman tatapannya. Namun May tak kuasa, ia hanya
menitiskan air mata.
Dulu ia tak percaya, taqdir kan mengikuti kata hati. Namun rupanya, kali ini hasratnya beriringan dengan ketetapan langit. Begitu saja, serupa kedipan mata, semudah tersenyum, tiba-tiba Dzaky hadir dalam hidupnya. Rupawan dan kemapanan lelaki itu tak membuatnya terjebak dalam haru biru cinta semu.
Dzaky bukan seperti lelaki kebanyakan yang ia kenal. Yang membuatnya putus asa memaknai kasih sekaligus kesetiaan. Cinta Dzaky sesederhana fajar pagi, selalu menawarkan asa, bahwa semua akan baik-baik saja.
"Gak apa-apa sayang. Luka seperti ini biasanya enggak lama. Dinda tak akan ingat, tahu-tahu sudah sembuh saja. Jangan difikirkan terlalu dalam, kasihan Abang sudah rindu ingin lihat senyum dinda tanpa masker oksigen itu"
Kata-kata meneduhkan dituturkan Dzaki dalam nada pelan yang diiring renyah tawa khasnya. Sikap yang membuat May lupa, bahwa saat itu ia tengah disergap penyakit yang menyerang sistem pertahanan tubuhnya yang membuat kedua kakinya layu, tak berdaya menopang tubuhnya. Dan sejak itu, setiap ia terjatuh sakit, selalu Dzaky berada di sisinya. May tak bisa menghitungnya, yang ia tahu, dirinya membawa hari-hari pernikahannya dengan Dzaky penuh dengan aroma rumah sakit dan obat-obatan.
Suatu kali, May tak tahan tuk berkesah mengeluhkan sakitnya, dan khawatirkan cinta belasan tahun mereka bersama penyakit dan kesunyian tanpa buah hati belahan jiwa. Hingga terucap izinnya bagi kekasihnya seperti yang dituturkannya :
"Jika abang menghendaki, silakan abang mencari yang terbaik untuk dijadikan istri"
Kata-kata yang membuat Dzaki terdiam dalam getar hatinya yang ombak. Direnanginya palung dalam bola mata istri yang tulus dicintainya. Diraihnya lembut jemari May yang penuh bakti kepadanya dalam segenap keterbatasannya. Dzaki lirih berkata bersama kejujurannya.
"Siapa yang terbaik itu ? Tak ada yang terbaik untuk abang selainmu. Allah sendiri yang merancang cinta kita. Tak satupun yang diciptakanNYA sia-sia. DIA tak kan buat cinta dan kesetiaanku melemah dan hilang hanya karena penyakitmu. Aku mencintaimu karena Allah. Cinta kita berhulu dan bermuara kepadaNYA."
May mulai terisak, diusapnya kening Dzaky nan bercahaya kearifan. Taqdir adalah rahasia Allah, hampir sepanjang pernikahan mereka Dzaky selalu mendampingi duka dan luka dalam berat penyakitnya, siapa menduga, dia juga yang lebih dahulu dijemputNYA.
"Sudah kusimpan cinta kita di tempat paling terjaga, abang. Di hatiku. Kan kita buka kelak jika kita kembali berjumpa. Tunggu dinda di syurga ya bang".
May mengecup ujung jemarinya, lalu dilekatkan jejaknya pada senyum yang tersemat di bibir Dzaki. Bersama derai air mata yang menganak sungai di pipinya yang pualam. Hingga sebuah sentuhan dan bisikan ibunya di telinga menyadarkannya.
"Nak, sabarlah sayang. Jenazah akan dishalatkan."
#Dalam hidup, terkadang ada yang lebih tinggi dari cinta.
Bogor, 13 Juli 2013

Dulu ia tak percaya, taqdir kan mengikuti kata hati. Namun rupanya, kali ini hasratnya beriringan dengan ketetapan langit. Begitu saja, serupa kedipan mata, semudah tersenyum, tiba-tiba Dzaky hadir dalam hidupnya. Rupawan dan kemapanan lelaki itu tak membuatnya terjebak dalam haru biru cinta semu.
Dzaky bukan seperti lelaki kebanyakan yang ia kenal. Yang membuatnya putus asa memaknai kasih sekaligus kesetiaan. Cinta Dzaky sesederhana fajar pagi, selalu menawarkan asa, bahwa semua akan baik-baik saja.
"Gak apa-apa sayang. Luka seperti ini biasanya enggak lama. Dinda tak akan ingat, tahu-tahu sudah sembuh saja. Jangan difikirkan terlalu dalam, kasihan Abang sudah rindu ingin lihat senyum dinda tanpa masker oksigen itu"
Kata-kata meneduhkan dituturkan Dzaki dalam nada pelan yang diiring renyah tawa khasnya. Sikap yang membuat May lupa, bahwa saat itu ia tengah disergap penyakit yang menyerang sistem pertahanan tubuhnya yang membuat kedua kakinya layu, tak berdaya menopang tubuhnya. Dan sejak itu, setiap ia terjatuh sakit, selalu Dzaky berada di sisinya. May tak bisa menghitungnya, yang ia tahu, dirinya membawa hari-hari pernikahannya dengan Dzaky penuh dengan aroma rumah sakit dan obat-obatan.
Suatu kali, May tak tahan tuk berkesah mengeluhkan sakitnya, dan khawatirkan cinta belasan tahun mereka bersama penyakit dan kesunyian tanpa buah hati belahan jiwa. Hingga terucap izinnya bagi kekasihnya seperti yang dituturkannya :
"Jika abang menghendaki, silakan abang mencari yang terbaik untuk dijadikan istri"
Kata-kata yang membuat Dzaki terdiam dalam getar hatinya yang ombak. Direnanginya palung dalam bola mata istri yang tulus dicintainya. Diraihnya lembut jemari May yang penuh bakti kepadanya dalam segenap keterbatasannya. Dzaki lirih berkata bersama kejujurannya.
"Siapa yang terbaik itu ? Tak ada yang terbaik untuk abang selainmu. Allah sendiri yang merancang cinta kita. Tak satupun yang diciptakanNYA sia-sia. DIA tak kan buat cinta dan kesetiaanku melemah dan hilang hanya karena penyakitmu. Aku mencintaimu karena Allah. Cinta kita berhulu dan bermuara kepadaNYA."
May mulai terisak, diusapnya kening Dzaky nan bercahaya kearifan. Taqdir adalah rahasia Allah, hampir sepanjang pernikahan mereka Dzaky selalu mendampingi duka dan luka dalam berat penyakitnya, siapa menduga, dia juga yang lebih dahulu dijemputNYA.
"Sudah kusimpan cinta kita di tempat paling terjaga, abang. Di hatiku. Kan kita buka kelak jika kita kembali berjumpa. Tunggu dinda di syurga ya bang".
May mengecup ujung jemarinya, lalu dilekatkan jejaknya pada senyum yang tersemat di bibir Dzaki. Bersama derai air mata yang menganak sungai di pipinya yang pualam. Hingga sebuah sentuhan dan bisikan ibunya di telinga menyadarkannya.
"Nak, sabarlah sayang. Jenazah akan dishalatkan."
#Dalam hidup, terkadang ada yang lebih tinggi dari cinta.
Bogor, 13 Juli 2013

Wednesday, June 12, 2013
Dalam Naungan Awan
Surabaya, 6 Desember, 17.10
Kereta senja mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun Surabaya. Mata Kapten Bhirawa nanap mjenatap keluar jendela, memandang gemawan yang berarakan, serupa naungan dari kapas ditiup bayu di bulan Desember.
Setengah jam lalu awan-awan itu masih berwarna keperakan, kini perlahan menjingga diantara rona biru langitnya. Setiap ia menatap mega-mega, hati marinir bermata teduh ini lindap pada sesosok bayangan berparas lembut dengan lengkung sabit pada senyum diantara dekik di kedua pipinya. Hana namanya. Sebuah nama sederhana yang telah lama bersemayam didalam sukmanya. Beberapa jam lagi akan ditemuinya separuh jiwanya itu, entah seperti apa nanti rasanya , perwira muda ini tak berani menerka.
Hana, gadis yang telah dekat kepadanya selama ini. Bukan dekat dalam ruang yang bisa saling memandang, bukan dekat dalam ceruk yang bisa saling memeluk, ini tentang rasa yang telah melebur segala sekat. Hanya sebentuk smartphone dan sebentang frekuensi yang menjadi loka perjumpaan maya mereka selama enam bulan terakhir. Kadang serius, kadang tertawa, kadang merajuk, kadang memanja. Aah, siapa bisa tak terbuai cinta ?
Kenangan Bhirawa hinggap pada masa satu tahun yang lalu saat ia pertama berkesempatan berbincang dengan gadis itu.
"Aku suka memperhatikan mereka"
tutur Hana saat Bhirawa bertanya mengapa gadis itu sering ia dapati sedang merenungi cakrawala saat senja di geladak kapalnya.
"Kenapa ?"
lembut Kapten Bhirawa bertanya. Hana tersenyum, rambut di keningnya berkelebat dipermainkan pawana senja. Dalam lirih, Hana berujar :
"Karena awan itu lembut dan indah kapten, tapi dalam rahim mereka menyimpan kekuatan. Awan itu ibu dari
petir dan hujan. Aku ingin jadi perempuan seperti itu , lembut tetapi kuat".
Bhirawa terpana, "The Smiling Capten' itu orang yang terbiasa dengan cuaca seperti apapun, terbiasa dengan angin, terbiasa dengan hujan, bahkan dengan badai dan gelombang lautan. Tapi ia tak pernah mendengar seseorang berbicara seperti Hana.
Bandung, 7 Desember, 06.12
Bhirawa memanggul ranselnya di pundak dan melangkah dengan cepat, seakan tak ingin kehilangan walau sedetik waktunya untuk sampai kepada bidadari yang ditujunya. Ia mencegat sebuah taxi, dan meminta sopirnya mengantarnya pada sebuah alamat di belahan utara kota Bandung. Masih disimpannya secarik kertas dari Hana, sehelai surat cinta dari kekasihnya yang menjadi alasannya kini bergegas hendak menjumpainya.
Bhirawa terpana, "The Smiling Capten' itu orang yang terbiasa dengan cuaca seperti apapun, terbiasa dengan angin, terbiasa dengan hujan, bahkan dengan badai dan gelombang lautan. Tapi ia tak pernah mendengar seseorang berbicara seperti Hana.
Bandung, 7 Desember, 06.12
Bhirawa memanggul ranselnya di pundak dan melangkah dengan cepat, seakan tak ingin kehilangan walau sedetik waktunya untuk sampai kepada bidadari yang ditujunya. Ia mencegat sebuah taxi, dan meminta sopirnya mengantarnya pada sebuah alamat di belahan utara kota Bandung. Masih disimpannya secarik kertas dari Hana, sehelai surat cinta dari kekasihnya yang menjadi alasannya kini bergegas hendak menjumpainya.
Kau tahu mas, betapa cintaku padamu. Jangan pernah ragukan itu.
Tapi aku tak bisa janjikan impian kita terwujud.
Ini bukan tentang kamu, ini tentang diriku yang belum bisa kusampaikan sebabnya padamu. Tapi kuyakin, suatu hari nanti kau akan mengerti.
Tapi aku tak bisa janjikan impian kita terwujud.
Ini bukan tentang kamu, ini tentang diriku yang belum bisa kusampaikan sebabnya padamu. Tapi kuyakin, suatu hari nanti kau akan mengerti.
Aku hanya akan terus mencintaimu disini, dimanapun dan sampai kapanpun. "
-Hana--
Kapten Bhirawa berdiri tegak di teras rumah nan asri dan sejuk dengan banyak jendela itu. Sebuah rumah sederhana namun berpekarangan cukup luas.
Dalam hening, dilihatnya beraneka rupa kupu-kupu beterbangan diantara bunga-bunga yang sedang rekah di halaman. Mata Bhirawa melihat ke sekeliling rumah dan halaman, tiada nampak sesiapa barang seorang.
Dalam getar hatinya, ditekannya bel rumah yang tersemat di kusen pintu bercat putih itu. Beberapa detik menunggu, seakan berbulan-bulan lamanya penantian.
Dalam getar hatinya, ditekannya bel rumah yang tersemat di kusen pintu bercat putih itu. Beberapa detik menunggu, seakan berbulan-bulan lamanya penantian.
Namun akhirnya pintu terbuka, seraut wajah wanita paruh baya muncul dibaliknya.Sejenak Bhirawa terpana, namun seketika hatinya meyakini wanita ini adalah ibunda Hana, sangat jelas kemiripan tertera di parasnya.
Mata sepuh itu menatapnya dengan pandangan penuh tanda tanya, namun tak sampai sekian detik, tiba-tiba wanita itu merangkulnya dalam tangisan.
"Bhirawa, kamu Bhirawa Nak ?."
Lalu wanita itu tersedu, dalam deru dadanya, sang ibu bertutur :
"Hana sudah meninggal dunia Nak. Sebulan yang lalu. Dia ingin sekali bertemu denganmu, tapi Hana tak ingin merusak harapanmu. Kanker darah semakin buat dia lemah. Semua pesan bbm-mu Ibu bacakan untuknya, dan anak itu hanya bisa meneteskan air mata. Dia mencintaimu Nak".
Kapten Bhirawa tiba-tiba lunglai, semesta terasa menjadi kelam, dan dunia berubah senyap.
"Bhirawa, kamu Bhirawa Nak ?."
Lalu wanita itu tersedu, dalam deru dadanya, sang ibu bertutur :
"Hana sudah meninggal dunia Nak. Sebulan yang lalu. Dia ingin sekali bertemu denganmu, tapi Hana tak ingin merusak harapanmu. Kanker darah semakin buat dia lemah. Semua pesan bbm-mu Ibu bacakan untuknya, dan anak itu hanya bisa meneteskan air mata. Dia mencintaimu Nak".
Kapten Bhirawa tiba-tiba lunglai, semesta terasa menjadi kelam, dan dunia berubah senyap.
Ditatapnya sebuah arah yang ditunjuk jemari ibunda Hana. Pusara kekasihnya. Terhampar anggun seperti jasad yang terbaring didalamnya. Pusara yang teduh dinaungi awan-awan yang dahulu dicintainya.
Terkadang, seseorang pergi bukan karena ia tak mau bersamamu. Melainkan karena ia tak bisa.
Monday, June 3, 2013
Lelaki Yang Baik Untuk Rara
Berkali-kali Melly memeriksa jam yang melingkar di lengannya yang bertulang ramping, sudah hampir satu jam menanti di mesjid kampus berarsitektur indah itu, namun Rara belum jua nampak. Tak sampai satu jam lagi ia harus sudah menemui sesama teman panitia untuk mempersiapkan seminar keputrian yang diselenggarakan unit kemahasiswaan Salman ini.
Melly memperhatikan gemerisik dedaunan yang meliputi reranting pohon di sekitar pelataran mesjid itu, ia selalu menyukai teduh dan sepoi angin yang disebabkannya. Dan ia selalu memilih sudut ini untuk bertemu dengan sesiapa yang hendak bertemu dengannya. Sebagai bagian dari rohis kampus yang santun, lembut dan berparas ayu, Melly tak pelak menjadi salah satu tempat curhat paling favorite adik-adik mahasiswinya.
"Assalamu'alaikum Kak"
Tiba-tiba satu sentuhan di pundaknya mengejutkannya, Melly menoleh ke arah suara yang lembut menyapanya.
"Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh sayang"
Saling memeluk dan bersentuhan pipi, Melly merasakan hal yang tak seperti biasanya. Diperhatikannya mata Rara yang sembab. Kantung matanya menunjukkan kelelahan yang sangat.
"Hmm, ada yang chat lagi ni semalam, hati-hati lhooo hehehe"
Rara menjulurkan lidahnya kepada Melly, namun rona merah jambu yang tetiba muncul di pipinya membuat Melly semakin ingin menggodanya.
"Mana coba, kakak mau lihat fotonya. Udah tiga bulan lho kamu curhat, masa kakak gak boleh tahu orangnya sih ?"
Rara menggelengkan kepalanya, raut wajahnya berubah sendu.
"Akupun tak begitu tahu Kak, terkadang aku ragu-ragu. Banyak hal yang buat aku aku penasaran tapi apa dayaku, tak bisa menilainya cuma dari postingannya atau fotonya kan. Tapi aku yakin dia orangnya baik"
Melly mengernyitkan alisnya yang tebal, mulutnya membentuk palung yang indah di kedua sudutnya.
"Kalau kakak si, nggak percaya cinta di dunia maya dek, kamu hati-hati aja ya sayang".
Rara menoleh, diperhatikannya sang aisyah di kampusnya yang dikenal lembut namun tegas ini kembali menekuni program di layar laptopnya..
"Kenapa Kak ?, maya atau nyata cinta ya cinta Kak. Ada di perasaan kita kan ?"
"Ya itu kan kamu dek, Kakak sih nggak, boleh kan kita beda ?" Melly menunjukkan deretan giginya yang rapi, kepada Rara tersenyum lucu.
"Kalo Rara masih percaya Kak, buktinya kak Syifa dan kak Muller dari Jerman ketemunya di dumay juga kan ?" Rara menyebut nama teman mereka yang telah menikah dua bulan yang lalu.
"Ya, mereka salah satu pasangan yang baik. Nanti deh kita cerita so'al itu. Sekarang Kakak mau tanya, darimana kamu tahu kalau dia itu orang yang baik dek ?" Melly mencoba mengembalikan percakapan pada "khittah"nya.
"Yaa baiklah Kak, kan keliatan dari kata-katanya, perhatiannya."
Melly mengangguk-anggukan kepalanya, lalu matanya mengerling ke arah langit-langit masjid.
"Mmm gitu ya ...,"
"Iih Kakak kayak yang gak percaya gitu deh."
"Lalu, kenapa koq status-statusmu selalu menggalau dek, hehehe?" Melly mencolek lengan Rara pelan.
Rara meringis, entah mengapa jemarinya tiba-tiba ingin menggaruk hidungnya yang tak gatal.
"Hehe yaa kan itu cuma status Kak" Rara mencoba beralibi.
"Mmm jadi cuma status yaaa" Melly terus menggoda
"Iyaaaa ....." Rara menutup kedua telinganya.
"Itu salah satu alasan Kakak tak percaya cinta dunia maya"
"Lhooo, eh Kak, itu Kak Syifa sama kak Muller ampe nikah gara-gara dumay lho Kak. Aku siap koq kayak mereka"
Melly, menghentikan gerakan jemarinya di tuts laptopnya, menatap adik kelas yang akhir-akhir ini dekat dan sering berbagi cerita padanya.
"Jadi kamu berencana menikah dengannya dek ?"
Rara terkesiap, matanya menatap bola di kelopak Melly nanap
"Belum sejauh itu lah Kak.Tapi aku yakin dia laki-laki yang baik" Rara terdiam sejenak, lalu melanjutkan ucapannya.
"Mmm, Kak, katanya wanita yang baik itu, untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik itu untuk wanita yang baik. Semoga dia juga laki-laki yang baik ya Kak, kan aku juga perempuan yang baik ya, tul gak ?"
Rara mengedip-ngedipkan matanya yang indah kepada Melly, ganti Melly yang menjulurkan lidahnya kepada Rara.
"Kakak harap begitu dek" dan kembali Melly memperhatikan layar laptopnya.
"Iiiihhh, kakak kalo diajak ngomong cuek deh, bikin aku tambah kepo. Komen dong Kak."
Hati Melly geli melihat wajah Rara menekuk serupa kertas yang baru diremas.
"Komen apa si dek ?"
"Yang tadiii, laki-laki yang baik untuk wanita yang baik dan sebaliknya ituuuhhh" jawab Rara gemas.Membuat Melly terkekeh.
"Ya, itu kan rumus. Tuhan sudah merumuskan begitu. Tapi, kenyataannya belum tentu begitu kalau salah memprosesnya sayang. Gak selalu, perempuan baik sepertimu akan dapat lelaki yang baik juga, begitu"
"Salah memproses gimana maksudnya Kak ?" nada suara Rara memelan, seolah tak ingin suaranya didengar semut yang melintas di jendela perlahan.
"Kamu tuh mahasiswi fakultas MIPA, kura-kura dalam perahu ya" Melly memijit hidung Rara penuh sayang. "Maksudku, begini dek, uhuk ... Melly pura-pura terbatuk.
"Kalo misalnya, kamu baru pulang ke rumah jam 12 malam, dimarahi ayah gak dek ?"
Rara mengangguk :"Iya lah Kak, kecuali kalo memang jelas keperluannya dan ada temennya"
"Hmm, kira-kira kenapa ya ayahmu marahin kamu kalo pulang jam segitu ?"
"Yaa, aku kan perempuan Kak, nggak baik keliaran malam-malam, nanti ada yang jail atau jahatin aku gimana"
Kini Melly menatap mata Rara dalam-dalam :
"Hmm, apa ayah juga memarahimu kalo kamu berkeliaran di dunia maya tengah malam dek ?"
Tiba-tiba Rara tertunduk :
"Aku mengerti maksudmu kak"
Melly menatap gadis berkerudung lembut itu dan berkata lirih :
"Itu cuma pemisalan.Mungkin bukan so'al dunia maya atau nyatanya ya dek, tapi pada sejauh mana kita bisa menempatkan diri. Batasan Tuhan itu sebetulnya untuk menjaga kita ya dek, supaya kita bisa tetap berada dalam fithrahNYA. Wanita yang baik akan bertemu laki-laki yang baik kalau bertemu di tempat yang baik dan pada waktu yang baik juga. Begitu juga sebaliknya. Hormatilah dirimu sendiri, nanti orang lainpun kan menghormatimu. Ini bukan tentang dia atau siapapun yang akan jatuh cinta kepadamu , ini tentangmu sendiri yang akan menjadi tempat berlabuh seseorang yang terbaik dalam hidupmu. Kamu tak akan dapatkan cinta dan kesetiaan dari orang yang hanya menjadikanmu pembunuh rasa sepinya. Jika bosan melandanya, dicarinya pembunuh kesepian selainmu. Ada baaanyaaak sekali tanda-tanda lelaki yang baik dari Tuhan"
"Apa aja itu tanda-tanda lelaki yang baik itu Kak ?"
Melly mendekat dan berbisik di telinga gadis yang sudah seperti adiknya sendiri itu lama sekali. Dan sesaat kemudian Rara pun tersenyum. Melly mendekap Rara erat dan lirih bertutur :
"Pastikan dia lelaki yang baik untukmu ya dek. Yang menghormatimu. Tak usah kamu hiraukan apa yang dia ucap atau tuliskan dalam janji-janjinya. Lelaki yang mudah mengumbar janji dan rayuan padamu, tak sulit mengumbarnya juga untuk perempuan yang lain. Hatimu hanya satu, berikan dia pada lelaki yang hanya menyerahkan jiwa dan raganya hanya untukmu"
Rara membalas dekapan Melly erat, ada hangat yang menelusup ke dadanya setiap ia memeluk aisyahnya lekat. Namun tiba-tiba Rara melepas pelukannya :
"Ini bukan pengalaman pribadi kan Kak ? hehehehe ...Kakak curcol ni yee"
Melly terkesiap, mata bulatnya membelalak.
"What ? idih, Kakak udah ada yang punya lha yaa" Melly menjelih.
"Ah curcol deh kayaknya" tukas Rara, kakinya bersiap mengambil langkah seribu.
"Raraa ... apaan sih ?"
Melly hendak mencubit hidung Rara, tapi gadis itu terlanjur mengambil langkah sejuta. Meninggalkan senyum di sudut bibir bak mawar itu. Seiring desir angin Salman menerpa matanya nan sayu.
Melly memperhatikan gemerisik dedaunan yang meliputi reranting pohon di sekitar pelataran mesjid itu, ia selalu menyukai teduh dan sepoi angin yang disebabkannya. Dan ia selalu memilih sudut ini untuk bertemu dengan sesiapa yang hendak bertemu dengannya. Sebagai bagian dari rohis kampus yang santun, lembut dan berparas ayu, Melly tak pelak menjadi salah satu tempat curhat paling favorite adik-adik mahasiswinya.
"Assalamu'alaikum Kak"
Tiba-tiba satu sentuhan di pundaknya mengejutkannya, Melly menoleh ke arah suara yang lembut menyapanya.
"Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh sayang"
Saling memeluk dan bersentuhan pipi, Melly merasakan hal yang tak seperti biasanya. Diperhatikannya mata Rara yang sembab. Kantung matanya menunjukkan kelelahan yang sangat.
"Hmm, ada yang chat lagi ni semalam, hati-hati lhooo hehehe"
Rara menjulurkan lidahnya kepada Melly, namun rona merah jambu yang tetiba muncul di pipinya membuat Melly semakin ingin menggodanya.
"Mana coba, kakak mau lihat fotonya. Udah tiga bulan lho kamu curhat, masa kakak gak boleh tahu orangnya sih ?"
Rara menggelengkan kepalanya, raut wajahnya berubah sendu.
"Akupun tak begitu tahu Kak, terkadang aku ragu-ragu. Banyak hal yang buat aku aku penasaran tapi apa dayaku, tak bisa menilainya cuma dari postingannya atau fotonya kan. Tapi aku yakin dia orangnya baik"
Melly mengernyitkan alisnya yang tebal, mulutnya membentuk palung yang indah di kedua sudutnya.
"Kalau kakak si, nggak percaya cinta di dunia maya dek, kamu hati-hati aja ya sayang".
Rara menoleh, diperhatikannya sang aisyah di kampusnya yang dikenal lembut namun tegas ini kembali menekuni program di layar laptopnya..
"Kenapa Kak ?, maya atau nyata cinta ya cinta Kak. Ada di perasaan kita kan ?"
"Ya itu kan kamu dek, Kakak sih nggak, boleh kan kita beda ?" Melly menunjukkan deretan giginya yang rapi, kepada Rara tersenyum lucu.
"Kalo Rara masih percaya Kak, buktinya kak Syifa dan kak Muller dari Jerman ketemunya di dumay juga kan ?" Rara menyebut nama teman mereka yang telah menikah dua bulan yang lalu.
"Ya, mereka salah satu pasangan yang baik. Nanti deh kita cerita so'al itu. Sekarang Kakak mau tanya, darimana kamu tahu kalau dia itu orang yang baik dek ?" Melly mencoba mengembalikan percakapan pada "khittah"nya.
"Yaa baiklah Kak, kan keliatan dari kata-katanya, perhatiannya."
Melly mengangguk-anggukan kepalanya, lalu matanya mengerling ke arah langit-langit masjid.
"Mmm gitu ya ...,"
"Iih Kakak kayak yang gak percaya gitu deh."
"Lalu, kenapa koq status-statusmu selalu menggalau dek, hehehe?" Melly mencolek lengan Rara pelan.
Rara meringis, entah mengapa jemarinya tiba-tiba ingin menggaruk hidungnya yang tak gatal.
"Hehe yaa kan itu cuma status Kak" Rara mencoba beralibi.
"Mmm jadi cuma status yaaa" Melly terus menggoda
"Iyaaaa ....." Rara menutup kedua telinganya.
"Itu salah satu alasan Kakak tak percaya cinta dunia maya"
"Lhooo, eh Kak, itu Kak Syifa sama kak Muller ampe nikah gara-gara dumay lho Kak. Aku siap koq kayak mereka"
Melly, menghentikan gerakan jemarinya di tuts laptopnya, menatap adik kelas yang akhir-akhir ini dekat dan sering berbagi cerita padanya.
"Jadi kamu berencana menikah dengannya dek ?"
Rara terkesiap, matanya menatap bola di kelopak Melly nanap
"Belum sejauh itu lah Kak.Tapi aku yakin dia laki-laki yang baik" Rara terdiam sejenak, lalu melanjutkan ucapannya.
"Mmm, Kak, katanya wanita yang baik itu, untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik itu untuk wanita yang baik. Semoga dia juga laki-laki yang baik ya Kak, kan aku juga perempuan yang baik ya, tul gak ?"
Rara mengedip-ngedipkan matanya yang indah kepada Melly, ganti Melly yang menjulurkan lidahnya kepada Rara.
"Kakak harap begitu dek" dan kembali Melly memperhatikan layar laptopnya.
"Iiiihhh, kakak kalo diajak ngomong cuek deh, bikin aku tambah kepo. Komen dong Kak."
Hati Melly geli melihat wajah Rara menekuk serupa kertas yang baru diremas.
"Komen apa si dek ?"
"Yang tadiii, laki-laki yang baik untuk wanita yang baik dan sebaliknya ituuuhhh" jawab Rara gemas.Membuat Melly terkekeh.
"Ya, itu kan rumus. Tuhan sudah merumuskan begitu. Tapi, kenyataannya belum tentu begitu kalau salah memprosesnya sayang. Gak selalu, perempuan baik sepertimu akan dapat lelaki yang baik juga, begitu"
"Salah memproses gimana maksudnya Kak ?" nada suara Rara memelan, seolah tak ingin suaranya didengar semut yang melintas di jendela perlahan.
"Kamu tuh mahasiswi fakultas MIPA, kura-kura dalam perahu ya" Melly memijit hidung Rara penuh sayang. "Maksudku, begini dek, uhuk ... Melly pura-pura terbatuk.
"Kalo misalnya, kamu baru pulang ke rumah jam 12 malam, dimarahi ayah gak dek ?"
Rara mengangguk :"Iya lah Kak, kecuali kalo memang jelas keperluannya dan ada temennya"
"Hmm, kira-kira kenapa ya ayahmu marahin kamu kalo pulang jam segitu ?"
"Yaa, aku kan perempuan Kak, nggak baik keliaran malam-malam, nanti ada yang jail atau jahatin aku gimana"
Kini Melly menatap mata Rara dalam-dalam :
"Hmm, apa ayah juga memarahimu kalo kamu berkeliaran di dunia maya tengah malam dek ?"
Tiba-tiba Rara tertunduk :
"Aku mengerti maksudmu kak"
Melly menatap gadis berkerudung lembut itu dan berkata lirih :
"Itu cuma pemisalan.Mungkin bukan so'al dunia maya atau nyatanya ya dek, tapi pada sejauh mana kita bisa menempatkan diri. Batasan Tuhan itu sebetulnya untuk menjaga kita ya dek, supaya kita bisa tetap berada dalam fithrahNYA. Wanita yang baik akan bertemu laki-laki yang baik kalau bertemu di tempat yang baik dan pada waktu yang baik juga. Begitu juga sebaliknya. Hormatilah dirimu sendiri, nanti orang lainpun kan menghormatimu. Ini bukan tentang dia atau siapapun yang akan jatuh cinta kepadamu , ini tentangmu sendiri yang akan menjadi tempat berlabuh seseorang yang terbaik dalam hidupmu. Kamu tak akan dapatkan cinta dan kesetiaan dari orang yang hanya menjadikanmu pembunuh rasa sepinya. Jika bosan melandanya, dicarinya pembunuh kesepian selainmu. Ada baaanyaaak sekali tanda-tanda lelaki yang baik dari Tuhan"
"Apa aja itu tanda-tanda lelaki yang baik itu Kak ?"
Melly mendekat dan berbisik di telinga gadis yang sudah seperti adiknya sendiri itu lama sekali. Dan sesaat kemudian Rara pun tersenyum. Melly mendekap Rara erat dan lirih bertutur :
"Pastikan dia lelaki yang baik untukmu ya dek. Yang menghormatimu. Tak usah kamu hiraukan apa yang dia ucap atau tuliskan dalam janji-janjinya. Lelaki yang mudah mengumbar janji dan rayuan padamu, tak sulit mengumbarnya juga untuk perempuan yang lain. Hatimu hanya satu, berikan dia pada lelaki yang hanya menyerahkan jiwa dan raganya hanya untukmu"
Rara membalas dekapan Melly erat, ada hangat yang menelusup ke dadanya setiap ia memeluk aisyahnya lekat. Namun tiba-tiba Rara melepas pelukannya :
"Ini bukan pengalaman pribadi kan Kak ? hehehehe ...Kakak curcol ni yee"
Melly terkesiap, mata bulatnya membelalak.
"What ? idih, Kakak udah ada yang punya lha yaa" Melly menjelih.
"Ah curcol deh kayaknya" tukas Rara, kakinya bersiap mengambil langkah seribu.
"Raraa ... apaan sih ?"
Melly hendak mencubit hidung Rara, tapi gadis itu terlanjur mengambil langkah sejuta. Meninggalkan senyum di sudut bibir bak mawar itu. Seiring desir angin Salman menerpa matanya nan sayu.
Thursday, May 23, 2013
Orang Baik
Orang baik
Mengapa orang baik sering tersakiti ?
Karena orang baik selalu mendahulukan orang lain dalam ruang kebahagiaannya.
Ia tak menyediakan untuk dirinya sendiri kecuali hanya sedikit.
Mengapa orang baik kerap tertipu ?
Karena orang baik selalu memandang orang lain tulus seperti dirinya
Ia tak menyisakan sedikitpun prasangka bahwa orang yang ia pandang penyayang mampu mengkhianatinya
Mengapa orang baik acap dinista ?
Karena orang baik tak pernah diberi kesempatan membela dirinya.
Ia hanya harus menerima, meski bukan dia yang memulai perkara
Mengapa orang baik sering menitiskan air mata ?
Karena orang baik tak ingin membagi pedih hatinya
Ia terbiasa mengobati sendiri lukanya, dan percaya bahwa suatu masa Tuhan kan mengganti kesedihannya
Namun orang baik tak pernah membenci yang melukainya
Karena ia selalu memandang bahwa diatas semua, Tuhanlah hakikatnya
Jika Tuhan yang menggiringnya, bagaimana ia akan mendebat kehendakNYA
Itu sebabnya orang baik tak memiliki almari dendam dalam kalbunya
Jika kau buka laci-laci dihatinya, akan kau temukan hanya cinta yang dimilikinya.
*Kamu pasti orang yang baik itu :-)
Mengapa orang baik sering tersakiti ?
Karena orang baik selalu mendahulukan orang lain dalam ruang kebahagiaannya.
Ia tak menyediakan untuk dirinya sendiri kecuali hanya sedikit.
Mengapa orang baik kerap tertipu ?
Karena orang baik selalu memandang orang lain tulus seperti dirinya
Ia tak menyisakan sedikitpun prasangka bahwa orang yang ia pandang penyayang mampu mengkhianatinya
Mengapa orang baik acap dinista ?
Karena orang baik tak pernah diberi kesempatan membela dirinya.
Ia hanya harus menerima, meski bukan dia yang memulai perkara
Mengapa orang baik sering menitiskan air mata ?
Karena orang baik tak ingin membagi pedih hatinya
Ia terbiasa mengobati sendiri lukanya, dan percaya bahwa suatu masa Tuhan kan mengganti kesedihannya
Namun orang baik tak pernah membenci yang melukainya
Karena ia selalu memandang bahwa diatas semua, Tuhanlah hakikatnya
Jika Tuhan yang menggiringnya, bagaimana ia akan mendebat kehendakNYA
Itu sebabnya orang baik tak memiliki almari dendam dalam kalbunya
Jika kau buka laci-laci dihatinya, akan kau temukan hanya cinta yang dimilikinya.
*Kamu pasti orang yang baik itu :-)
Tuesday, May 21, 2013
Bidadari Syurgaku
Yasmin masih menguntai tasbih di jemari, kelopak matanya yang
dibingkai alis bak semut beriring terpejam mengawal wirid yang terus
melafal di basah lisannya. Menikmati syahdu dzikir diantara lambaian
tudungnya yang dipermainkan angin yang menelusup diantara pilar-pilar
masjid Nabawi. Sesekali disibaknya kerudung yang menggoda halus pipinya. Sedang suara qari' melantunkan ayat-ayat suci yang mengalun dari seluruh sudut menara mengusap-usap hatinya nan sendu.
Tiada yang mampu mengusik tadzakurnya, sampai suara berat seseorang membangunkan khusyuknya. Suara seorang pria di sudut timur dari tempat ia duduk. Pada mulanya hanya serupa gumam namun rupanya itu suara seseorang sedang menyampaikan taujihnya pada sekelompok jama'ah. Yasmin menggeser posisi duduknya mendekat pada dinding pilar. Ditutupnya kitab al-qur'an kecil yang selalu dibawanya kemana ia pergi. Mengasah pendengarannya, mencoba menangkap apa yang sedang disampaikan. Adalah hal teramat berharga bagi wanita bermata bak purnama ini mendapat cucuran ilmu di negeri para nabi, meski harus ia jala diam-diam.
Semakin lama semakin dalam, Yasmin merasa dibawa pada negeri tak bernama. Hatinya bagai disentuh salju yang meluruhkan bening air matanya. Meruntuhkan seluruh sudut kesombongan yang ia sebut ketegaran. Sungguh, seakan sebuah anak panah telah dilesatkan dari sebelah timur tempatnya berdiam, tepat di hatinya terdalam.
Tiada yang mampu mengusik tadzakurnya, sampai suara berat seseorang membangunkan khusyuknya. Suara seorang pria di sudut timur dari tempat ia duduk. Pada mulanya hanya serupa gumam namun rupanya itu suara seseorang sedang menyampaikan taujihnya pada sekelompok jama'ah. Yasmin menggeser posisi duduknya mendekat pada dinding pilar. Ditutupnya kitab al-qur'an kecil yang selalu dibawanya kemana ia pergi. Mengasah pendengarannya, mencoba menangkap apa yang sedang disampaikan. Adalah hal teramat berharga bagi wanita bermata bak purnama ini mendapat cucuran ilmu di negeri para nabi, meski harus ia jala diam-diam.
Semakin lama semakin dalam, Yasmin merasa dibawa pada negeri tak bernama. Hatinya bagai disentuh salju yang meluruhkan bening air matanya. Meruntuhkan seluruh sudut kesombongan yang ia sebut ketegaran. Sungguh, seakan sebuah anak panah telah dilesatkan dari sebelah timur tempatnya berdiam, tepat di hatinya terdalam.
Wednesday, May 15, 2013
Seuntai Rasa
Hanya gugusan bintang-bintang
Entah kali keberapa kumemandang
Dan selalu serindu ini
Mungkin karena terlalu rupawannya
Atau mungkin karena kumerasa menemukanmu setiap menatapnya
Ada sunyi yang tak senyap
Ada dingin yang menghangatkan hati
Serupa daun yang didekap bayu
Tak kuasa melihat, namun ia lekat
Larut dalam tautan nan pekat
Ada senyuman yang tanpa alasan
Ada penantian yang harapkan entah
Serupa musik tanpa lirik
Hanya nada dan rima
Namun aku hanya bumi
Ada penantian yang harapkan entah
Serupa musik tanpa lirik
Hanya nada dan rima
Namun aku hanya bumi
Dan kamu adalah asterix yang tersenyum di langit paling sunyi
Kita tertabir selapis jarak dan waktu
Entah kamu siapa
Tak tahu kamu dimana
Tak tahu kamu dimana
Bagaimana kau bisa menemukanku
Sedang aku hanya sebutir debu di bentang langitmu
Selamanya aku hanya bayangan pada batas pandangmu
Dan kamu adalah pertanyaan tak terjawabku
Hanya gugusan bintang-bintang
Entah sampai kapan kumemandangnya
Mungkin untuk selamanya
Karena kutak ingin kehilangan rindu
Karena kutak ingin kehilangan rindu
Yang menjalin jarak ribuan tahun cahaya
Yang menyulam masa berjuta windu
Yang menyulam masa berjuta windu
Hanya seuntai rasa
Selembar Pengertian
"Bundaaa .... ini
adek berisik bundaaa, aku jadi nggak konseenn ..." terdengar suara
teriakan Fahry dari ruang tengah memanggil manggil ibunya.
Ima masih mengaduk-aduk nasi yang baru matang di rice cooker agar lebih tanak, tubuhnya gesit kesana kemari, memindahkan sayur dari dalam panci ke dalam mangkuk besar, memindahkan piring-piring dan gelas ke atas meja makan, merapihkan dapur bekas memasak, tak diperdulikannya keringat yang telah mengembun di dahinya karena udara panas di dapur yang mengepungnya.
"Bundaaaa ..... adek nakal bundaaaa ..."
Fahry berteriak kembali dengan suara yang lebih kencang karena menimpali suara kaleng yang dipukul bertalu-talu oleh Idzhar adiknya yang masih berusia 4 tahun.
Ima melepas kain memasak dari pinggangnya yang ramping, lalu buru-buru menghampiri si kecil Idzhar yang sibuk menabuh genderang mainan sambil mulutnya yang mungil menyanyikan entah lagu apa. Diraihnya Idzhar ke atas pangkuannya :
"Sayang, yuk mainnya di kamar Bunda, kesian abang kan lagi belajar" tutur Ima lembut lalu bangkit menjauhkan putra bungsunya dari Fahry yang terus menekuni pekerjaan rumahnya dari sekolah.
Belum sampai ke kamarnya tiba-tiba kaki Ima menyentuh cairan yang licin di lantai, tubuhnya terhuyung sejenak sampai tangannya berhasil mencengkram pegangan pintu di dekatnya :
"Astaghfirullah ..., apa ini ?"
Diperhatikannya cairan yang membuatnya hampir membahayakan diri dan anaknya Idzhar tadi. Rupanya tumpahan sabun kental mainan Delisa putri sulungnya yang tadi belum sempat dibersihkannya karena sibuk memasak. Dilihatnya si sulung sedang asyik menemani temannya yang berkunjung di ruang depan, tak ingin ia mempermalukan putrinya dengan memarahinya di depan temannya. Biarlah nanti Delisa ia nasehati di waktu yang tepat.
Meski Delisa anak yang paling tua, namun usianya yang masih kanak-kanak tak mengizinkannya untuk melarangnya bermain, meski permainan gelembungan Delisa ini sering membuatnya terkesal karena sering tumpah ke lantai seperti ini.
Sesudah menyimpan Idzhar di atas sofa, dipungutnya gelas plastik wadah sabun gelembungan Delisa, dibuangnya ke dalam tempat sampah di dapur, lalu diambilnya lap kering di atas jemuran untuk mengeringkan dan membersihkan bekas tumpahan itu.
Tiba-tiba, pandangannya berkunang-kunang, dengan sisa tenaga yang ada, dicarinya sofa untuk kemudian terhempas diatasnya. Menikmati denging yang lembut melintas di pendengarannya, menarik nafasnya dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan. Sementara Idzhar di sampingnya mulai merengek mencari pelukannya.
Dalam masih samar pandangannya, ditatapnya jarum jam yang terus bergerak. Ah ya, waktu makan siang sudah berlalu lebih dari setengah jam. Ima harus menyuapi Idzhar, sedang Fahry dan Delisa pun nampaknya belum beranjak dari aktivitasnya semula untuk makan.
Dalam keadaan seperti itu, Ima hanya bisa menenangkan hatinya dengan al-fatihah kecintaanya, membacanya berulang-ulang dalam bisik di ruang hatinya. Penyakit pusing kepalanya yang acapkali datang tak terduga, dihadapinya dengan hanya meneguk air bening saja, itu sudah cukup memulihkannya.
Hingga waktu beranjak, dan haripun menyenja, Ima masih menyempatkan mempercantik diri. Ia senang Raditya suaminya pulang dalam keadaan ia telah wangi dan segar. Tak diizinkannya anak-anak bertengkar di hadapan ayah mereka yang lelah dari menjemput rezeky mereka. Karenanya, secantik apapun penampilannya sesudah mandi petang, mestilah Ima harus terus bekerja merapihkan jejak aktivitas anak-anak, walau hanya sekedar menyapu atau membenahi kertas-kertas terserak.
"Ayaaaaaahhhh pulaaanngggg ....... !!!!"
Serempak Fahry dan Idzhar berteriak kala mendengar suara kendaraan ayahnya menderum lembut di garasi. Saling mendahului keduanya berlari menemui ayah. Ayah selalu membawa pulang sesuatu yang seru dalam pandangan mereka, entah itu sekotak roti yang sengaja tak ia makan dalam rapat di kantor, entah itu permainan baru yang didownload di laptopnya, atau hanya sekedar candaannya saja. Entahlah, rasanya ayah selalu membuat anak-anak ceria.
Ima mencium punggung tangan Raditya lembut, di tangannya secangkir teh hangat menebarkan aroma yang menghangatkan hati. Lalu seperti biasa menggiring anak-anak untuk kembali :
"Ayo Fahry, teruskan mengajinya nak"
Tak sabar rasanya ingin ia duduk berdua dan menyampaikan banyak hal kepada suaminya. Namun Ima menahan keinginannya. Raditya nampak kelelahan. Dibiarkannya suaminya menyesap tehnya sambil bercengkrama dengan Idzhar di depan televisi.
Sedang Ima membereskan buku-buku yang bertebaran di atas permadani, tiba-tiba Idzhar menangis, mencoba merebut buku bergambar yang sedang dipegang Fahry. Sementara Fahry tak ingin mengalah dipertahankannya buku itu dengan terus membacanya tak perduli tangisan adiknya. Delisa yang merasa terganggu dengan tangisan Idzhar mengomeli adiknya :
"Duuuuh, kasih aja kenapa sih ? adek jadi nangis tuuuh" rutuk Delisa kepada Fahry. Fahry yang merasa tak punya perso'alan dengan Delisa tersinggung.
"Apaan sih ? kakak ikutan marah-marah. Aku belum selesai baca ini tauu ...!
""Huuuhhh" Delisa mendelik, sementara Idzhar semakin keras menangis.
Ima mencoba menenangkan anak-anak, dilihatnya suamiinya tak bergeming, terus menekuni pekerjaannya di layar komputer, seakan tak terpengaruh oleh suasana gaduh disekelillingnya.Dalam kelelahan raganya, Ima terus membangun suasana, melerai anak-anak agar lebih tenang, namun ia tak kuasa menahan benteng didalam hatinya sendiri, di sudut matanya mulai bertitisan bening airnya. Rasa lelah itu membuat bathinnya lebih cepat retak. Diam-diam ia mengusap air matanya, sungguh ia tak ingin anak-anak menyaksikan kelemahan hatinya, dibawanya gundah itu ke dalam kamarnya.
Berbaring pada harum dan lembut bantalnya sedikit melipur kesedihannya. Tak lama, Raditya muncul di pintu kamar, menatapnya lama, dan menghampiri. Diusapnya ikal rerambut yang menutup kening bening istrinya :
"Dinda kenapa ? koq nangis ?" Raditya hafal benar sifat istrinya apabila sedang seperti ini.
Ima hanya menggelengkan kepalanya dan semakin menelusupkan wajahnya ke dalam bantal, membuat Raditya tersenyum memandang istrinya merajuk.
"Hmm, sedang cari si sabar ya dibawah bantal ?" tanya Raditya menggoda sambil menggelitik pinggang istrinya. Ima menggelinjang kegelian, ditepisnya tangan suaminya. Raditya lalu memijit lembut pundak istrinya, ia tahu beban yang dipikul wanita yang dicintainya itu tak ringan. Menjadi seorang istri dan ibu adalah hal termahal yang telah dipilih Ima, dan semua orang tahu, itu berarti cinta dan pengorbanan selamanya.
"Dinda istirahatlah kalau sudah lelah, nanti anak-anak biar abang yang hadapi. O. K ?" ujar Raditya dengan mimik muka lucu, alis matanya bertaut dan bibir terkatup, digulungnya lengan bajunya tinggi-tinggi, seolah akan menyapu sarang laba-laba diatas awan dan mengepel lautan.
Ima tak tahan untuk tak merasa geli hati. Meski masih ingin menampakkan kemanjaan, namun ia ingin menghargai candaan suaminya.
Tiba-tiba, denting bel pintu rumah mereka bersuara, tanda ada orang hendak singgah. Raditya menempelkan telunjuk tangannya pada bibirnya sejenak.
"Siapa tuh ? Abang liat dulu ya"
Ima mengangguk pelan, masih tak bersuara, ditatapnya punggung Raditya menjauh. Ada sunyi di hatinya, namun gelora itu telah reda.
Ima masih mengaduk-aduk nasi yang baru matang di rice cooker agar lebih tanak, tubuhnya gesit kesana kemari, memindahkan sayur dari dalam panci ke dalam mangkuk besar, memindahkan piring-piring dan gelas ke atas meja makan, merapihkan dapur bekas memasak, tak diperdulikannya keringat yang telah mengembun di dahinya karena udara panas di dapur yang mengepungnya.
"Bundaaaa ..... adek nakal bundaaaa ..."
Fahry berteriak kembali dengan suara yang lebih kencang karena menimpali suara kaleng yang dipukul bertalu-talu oleh Idzhar adiknya yang masih berusia 4 tahun.
Ima melepas kain memasak dari pinggangnya yang ramping, lalu buru-buru menghampiri si kecil Idzhar yang sibuk menabuh genderang mainan sambil mulutnya yang mungil menyanyikan entah lagu apa. Diraihnya Idzhar ke atas pangkuannya :
"Sayang, yuk mainnya di kamar Bunda, kesian abang kan lagi belajar" tutur Ima lembut lalu bangkit menjauhkan putra bungsunya dari Fahry yang terus menekuni pekerjaan rumahnya dari sekolah.
Belum sampai ke kamarnya tiba-tiba kaki Ima menyentuh cairan yang licin di lantai, tubuhnya terhuyung sejenak sampai tangannya berhasil mencengkram pegangan pintu di dekatnya :
"Astaghfirullah ..., apa ini ?"
Diperhatikannya cairan yang membuatnya hampir membahayakan diri dan anaknya Idzhar tadi. Rupanya tumpahan sabun kental mainan Delisa putri sulungnya yang tadi belum sempat dibersihkannya karena sibuk memasak. Dilihatnya si sulung sedang asyik menemani temannya yang berkunjung di ruang depan, tak ingin ia mempermalukan putrinya dengan memarahinya di depan temannya. Biarlah nanti Delisa ia nasehati di waktu yang tepat.
Meski Delisa anak yang paling tua, namun usianya yang masih kanak-kanak tak mengizinkannya untuk melarangnya bermain, meski permainan gelembungan Delisa ini sering membuatnya terkesal karena sering tumpah ke lantai seperti ini.
Sesudah menyimpan Idzhar di atas sofa, dipungutnya gelas plastik wadah sabun gelembungan Delisa, dibuangnya ke dalam tempat sampah di dapur, lalu diambilnya lap kering di atas jemuran untuk mengeringkan dan membersihkan bekas tumpahan itu.
Tiba-tiba, pandangannya berkunang-kunang, dengan sisa tenaga yang ada, dicarinya sofa untuk kemudian terhempas diatasnya. Menikmati denging yang lembut melintas di pendengarannya, menarik nafasnya dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan. Sementara Idzhar di sampingnya mulai merengek mencari pelukannya.
Dalam masih samar pandangannya, ditatapnya jarum jam yang terus bergerak. Ah ya, waktu makan siang sudah berlalu lebih dari setengah jam. Ima harus menyuapi Idzhar, sedang Fahry dan Delisa pun nampaknya belum beranjak dari aktivitasnya semula untuk makan.
Dalam keadaan seperti itu, Ima hanya bisa menenangkan hatinya dengan al-fatihah kecintaanya, membacanya berulang-ulang dalam bisik di ruang hatinya. Penyakit pusing kepalanya yang acapkali datang tak terduga, dihadapinya dengan hanya meneguk air bening saja, itu sudah cukup memulihkannya.
Hingga waktu beranjak, dan haripun menyenja, Ima masih menyempatkan mempercantik diri. Ia senang Raditya suaminya pulang dalam keadaan ia telah wangi dan segar. Tak diizinkannya anak-anak bertengkar di hadapan ayah mereka yang lelah dari menjemput rezeky mereka. Karenanya, secantik apapun penampilannya sesudah mandi petang, mestilah Ima harus terus bekerja merapihkan jejak aktivitas anak-anak, walau hanya sekedar menyapu atau membenahi kertas-kertas terserak.
"Ayaaaaaahhhh pulaaanngggg ....... !!!!"
Serempak Fahry dan Idzhar berteriak kala mendengar suara kendaraan ayahnya menderum lembut di garasi. Saling mendahului keduanya berlari menemui ayah. Ayah selalu membawa pulang sesuatu yang seru dalam pandangan mereka, entah itu sekotak roti yang sengaja tak ia makan dalam rapat di kantor, entah itu permainan baru yang didownload di laptopnya, atau hanya sekedar candaannya saja. Entahlah, rasanya ayah selalu membuat anak-anak ceria.
Ima mencium punggung tangan Raditya lembut, di tangannya secangkir teh hangat menebarkan aroma yang menghangatkan hati. Lalu seperti biasa menggiring anak-anak untuk kembali :
"Ayo Fahry, teruskan mengajinya nak"
Tak sabar rasanya ingin ia duduk berdua dan menyampaikan banyak hal kepada suaminya. Namun Ima menahan keinginannya. Raditya nampak kelelahan. Dibiarkannya suaminya menyesap tehnya sambil bercengkrama dengan Idzhar di depan televisi.
Sedang Ima membereskan buku-buku yang bertebaran di atas permadani, tiba-tiba Idzhar menangis, mencoba merebut buku bergambar yang sedang dipegang Fahry. Sementara Fahry tak ingin mengalah dipertahankannya buku itu dengan terus membacanya tak perduli tangisan adiknya. Delisa yang merasa terganggu dengan tangisan Idzhar mengomeli adiknya :
"Duuuuh, kasih aja kenapa sih ? adek jadi nangis tuuuh" rutuk Delisa kepada Fahry. Fahry yang merasa tak punya perso'alan dengan Delisa tersinggung.
"Apaan sih ? kakak ikutan marah-marah. Aku belum selesai baca ini tauu ...!
""Huuuhhh" Delisa mendelik, sementara Idzhar semakin keras menangis.
Ima mencoba menenangkan anak-anak, dilihatnya suamiinya tak bergeming, terus menekuni pekerjaannya di layar komputer, seakan tak terpengaruh oleh suasana gaduh disekelillingnya.Dalam kelelahan raganya, Ima terus membangun suasana, melerai anak-anak agar lebih tenang, namun ia tak kuasa menahan benteng didalam hatinya sendiri, di sudut matanya mulai bertitisan bening airnya. Rasa lelah itu membuat bathinnya lebih cepat retak. Diam-diam ia mengusap air matanya, sungguh ia tak ingin anak-anak menyaksikan kelemahan hatinya, dibawanya gundah itu ke dalam kamarnya.
Berbaring pada harum dan lembut bantalnya sedikit melipur kesedihannya. Tak lama, Raditya muncul di pintu kamar, menatapnya lama, dan menghampiri. Diusapnya ikal rerambut yang menutup kening bening istrinya :
"Dinda kenapa ? koq nangis ?" Raditya hafal benar sifat istrinya apabila sedang seperti ini.
Ima hanya menggelengkan kepalanya dan semakin menelusupkan wajahnya ke dalam bantal, membuat Raditya tersenyum memandang istrinya merajuk.
"Hmm, sedang cari si sabar ya dibawah bantal ?" tanya Raditya menggoda sambil menggelitik pinggang istrinya. Ima menggelinjang kegelian, ditepisnya tangan suaminya. Raditya lalu memijit lembut pundak istrinya, ia tahu beban yang dipikul wanita yang dicintainya itu tak ringan. Menjadi seorang istri dan ibu adalah hal termahal yang telah dipilih Ima, dan semua orang tahu, itu berarti cinta dan pengorbanan selamanya.
"Dinda istirahatlah kalau sudah lelah, nanti anak-anak biar abang yang hadapi. O. K ?" ujar Raditya dengan mimik muka lucu, alis matanya bertaut dan bibir terkatup, digulungnya lengan bajunya tinggi-tinggi, seolah akan menyapu sarang laba-laba diatas awan dan mengepel lautan.
Ima tak tahan untuk tak merasa geli hati. Meski masih ingin menampakkan kemanjaan, namun ia ingin menghargai candaan suaminya.
Tiba-tiba, denting bel pintu rumah mereka bersuara, tanda ada orang hendak singgah. Raditya menempelkan telunjuk tangannya pada bibirnya sejenak.
"Siapa tuh ? Abang liat dulu ya"
Ima mengangguk pelan, masih tak bersuara, ditatapnya punggung Raditya menjauh. Ada sunyi di hatinya, namun gelora itu telah reda.

Thursday, May 9, 2013
Epilog Rumah Sunyi
Lagu itu mengalun lagi di bilik pendengarannya, mengingatkannya
pada perjalanan panjang 15 jam ke timur Jawa. Membayang di pelupuk
pandangannya, lelambai padi di pesawahan, atau paduan rona ungu dan dan
jingga saat senja disejauh mata memandang. Dari jendela kereta ia bisa
menatap anak-anak mengayuh sepeda mereka atau jejeran rumah-rumah
berdinding bata. Tiba-tiba, asyik lamunannya pecah.
"Sudah kau lihat lagi rumah itu Nak ?"
"Tak usahlah Bu. Aku sudah tak ingin lagi melihatnya"
Ratri tertunduk menatap cangkir berisi teh hangat yang diseduhkan ibunya membentuk lingkaran-lingkaran kecil disaput uap tipis yang mengantarkan kepadanya aroma melati yang khas. Diaduknya pelan isi cangkir itu sambil memasukkan dua bongkah kecil gula batu
"Kenapa begitu ? kamu sudah bersusah payah membangunnya, masak mau kamu tinggal begitu saja Nak ?"
"Rumah itu terlalu sunyi Bu. Aku merasa asing didalamnya. Jarang ada tetangga." Ratri mencoba berdalih.
"Kan lama-lama juga tetangga bakalan bertambah Tri"
"Nggak apa-apa Bu, biar nanti aku minta orang disana mengurusnya"
Ibu menatap Ratri dalam-dalam, tak mengerti apa yang tengah berkecamuk di benaknya, tapi Ibu tahu ada yang bergejolak di hatinya.
"Ya sudah, minumlah tehmu, nanti keburu dingin lho" Ibu mengusap lembut pundaknya, ada getar aneh yang Ratri rasakan. Getar yang menghangatkan hatinya, disetiap Ibu menyentuhnya.
Ratri menatap sosok ibunya yang berjalan membawa nampan kembali ke arah dapur. Ingin digapainya, agar Ibu tetap disisinya, namun perempuan sepuh itu seperti ditelan ombak di selat Sunda.
Tiba-tiba ia melihat sekelilingnya tak sebagai ruang makan di rumah Ibunya. Ini ruang tamu rumah yang belum lama dibelinya.
"Dan ponsel itu, hei ... bukankah itu ponsel milik Arya ?" Ponsel itu tergeletak begitu saja di atas sofa.
Ratri menolehkan kepala, mengarahkan pandang memutari ruangan, namun tak ada Arya disana. Mungkin dia sedang memeriksa pekarangan rumah itu, atau berbincang sejenak dengan calon tetangga mereka.
Tiba-tiba, ada suara bedenting-denting dari arah ponsel itu. Berkali-kali berdenting, namun Arya tak kunjung datang. Ratri meraih ponsel itu perlahan, diperiksanya siapa yang memanggil Arya di ponselnya.
Oh rupanya hanya SMS. Disya ? Siapa Disya ? Nama itu tak pernah diceritakan Arya kepadanya, padahal ia mengenal hampir semua teman lelaki itu. Ratri semakin curious, dibukanya pesan terkirim itu. Ada deretan isi percakapan dalam display , dan ditelusurinya perlahan.
Disya :
"Tolong jangan paksa aku menjawabnya"
19.35 / Des. 13,
Arya :
"OK, silakan diam dan pergi, tapi jangan harap aku akan meninggalkanmu !"
19. 47 / Des, 13
Ratri tercenung, seperti pertengkaran dua sejoli. Namun ia berusaha menepisnya, dibacanya lagi kelanjutan percakapan itu :
Disya :
"makasih bunganya ya"
23.11 / Des, 15
Sepertinya mereka sudah berbaikan kembali.
Arya :
"Apapun, akan kuberikan untukmu, sayang :)"
23.20 / Des, 15
List percakapan itu masih panjang, namun rasanya Ratri telah tak mampu menopang tubuhnya lagi, tiba-tiba lemas tak berdaya. Di rumah sunyi yang mereka berdua bangun dan hampir selesai itu seluruh kekuatan bathinnya limbung. Hingga suara gagah Arya dibelakangnya menegurnya pelan :
"Dek, ada apa ? kok mukamu pucat ?"
Ratri tercekat, tak sanggup menjawab. Rinai di matanya mulai nampak dan ia berjalan mundur mencoba menjauh dari gapaian tangan lelaki itu.
"Nak, koq nggak dihabiskan tehnya ? sudah dingin tuuh"
Suara Ibu membelah kesunyian, Ratri terkesiap dari lamunan, diusapnya sedikit air mata yang tak bisa ditahannya, lalu ia segera meraih cangkirnya dan menyeruput sebagian isinya. Bibirnya yang mawar lengkungkan senyuman kepada wanita sepuh yang dicintainya itu, lalu bertutur :
"Yuk Bu, bukannya Ibu mau ke rumah tante Vina nengok anaknya yang sakit ? Biar Ratri yang antar" Ratri menunjukkan dan memutar-mutar kunci mobilnya dihadapan Ibu. Ibu mengangguk riang dan berkata :
"Ayuk, kalo begitu Ibu ganti baju dulu ya Nak"
Ratri mengangguk, senyumnya lebih manis dari bulan sabit senja itu. Tak kan ia biarkan hati Ibu dan hatinya menyendu, karena sebuah peristiwa di rumah sunyi nan biru.

# Sebuah Fiksi
Bogor, 8 Mei 2013
"Sudah kau lihat lagi rumah itu Nak ?"
"Tak usahlah Bu. Aku sudah tak ingin lagi melihatnya"
Ratri tertunduk menatap cangkir berisi teh hangat yang diseduhkan ibunya membentuk lingkaran-lingkaran kecil disaput uap tipis yang mengantarkan kepadanya aroma melati yang khas. Diaduknya pelan isi cangkir itu sambil memasukkan dua bongkah kecil gula batu
"Kenapa begitu ? kamu sudah bersusah payah membangunnya, masak mau kamu tinggal begitu saja Nak ?"
"Rumah itu terlalu sunyi Bu. Aku merasa asing didalamnya. Jarang ada tetangga." Ratri mencoba berdalih.
"Kan lama-lama juga tetangga bakalan bertambah Tri"
"Nggak apa-apa Bu, biar nanti aku minta orang disana mengurusnya"
Ibu menatap Ratri dalam-dalam, tak mengerti apa yang tengah berkecamuk di benaknya, tapi Ibu tahu ada yang bergejolak di hatinya.
"Ya sudah, minumlah tehmu, nanti keburu dingin lho" Ibu mengusap lembut pundaknya, ada getar aneh yang Ratri rasakan. Getar yang menghangatkan hatinya, disetiap Ibu menyentuhnya.
Ratri menatap sosok ibunya yang berjalan membawa nampan kembali ke arah dapur. Ingin digapainya, agar Ibu tetap disisinya, namun perempuan sepuh itu seperti ditelan ombak di selat Sunda.
Tiba-tiba ia melihat sekelilingnya tak sebagai ruang makan di rumah Ibunya. Ini ruang tamu rumah yang belum lama dibelinya.
"Dan ponsel itu, hei ... bukankah itu ponsel milik Arya ?" Ponsel itu tergeletak begitu saja di atas sofa.
Ratri menolehkan kepala, mengarahkan pandang memutari ruangan, namun tak ada Arya disana. Mungkin dia sedang memeriksa pekarangan rumah itu, atau berbincang sejenak dengan calon tetangga mereka.
Tiba-tiba, ada suara bedenting-denting dari arah ponsel itu. Berkali-kali berdenting, namun Arya tak kunjung datang. Ratri meraih ponsel itu perlahan, diperiksanya siapa yang memanggil Arya di ponselnya.
Oh rupanya hanya SMS. Disya ? Siapa Disya ? Nama itu tak pernah diceritakan Arya kepadanya, padahal ia mengenal hampir semua teman lelaki itu. Ratri semakin curious, dibukanya pesan terkirim itu. Ada deretan isi percakapan dalam display , dan ditelusurinya perlahan.
Disya :
"Tolong jangan paksa aku menjawabnya"
19.35 / Des. 13,
Arya :
"OK, silakan diam dan pergi, tapi jangan harap aku akan meninggalkanmu !"
19. 47 / Des, 13
Ratri tercenung, seperti pertengkaran dua sejoli. Namun ia berusaha menepisnya, dibacanya lagi kelanjutan percakapan itu :
Disya :
"makasih bunganya ya"
23.11 / Des, 15
Sepertinya mereka sudah berbaikan kembali.
Arya :
"Apapun, akan kuberikan untukmu, sayang :)"
23.20 / Des, 15
List percakapan itu masih panjang, namun rasanya Ratri telah tak mampu menopang tubuhnya lagi, tiba-tiba lemas tak berdaya. Di rumah sunyi yang mereka berdua bangun dan hampir selesai itu seluruh kekuatan bathinnya limbung. Hingga suara gagah Arya dibelakangnya menegurnya pelan :
"Dek, ada apa ? kok mukamu pucat ?"
Ratri tercekat, tak sanggup menjawab. Rinai di matanya mulai nampak dan ia berjalan mundur mencoba menjauh dari gapaian tangan lelaki itu.
"Nak, koq nggak dihabiskan tehnya ? sudah dingin tuuh"
Suara Ibu membelah kesunyian, Ratri terkesiap dari lamunan, diusapnya sedikit air mata yang tak bisa ditahannya, lalu ia segera meraih cangkirnya dan menyeruput sebagian isinya. Bibirnya yang mawar lengkungkan senyuman kepada wanita sepuh yang dicintainya itu, lalu bertutur :
"Yuk Bu, bukannya Ibu mau ke rumah tante Vina nengok anaknya yang sakit ? Biar Ratri yang antar" Ratri menunjukkan dan memutar-mutar kunci mobilnya dihadapan Ibu. Ibu mengangguk riang dan berkata :
"Ayuk, kalo begitu Ibu ganti baju dulu ya Nak"
Ratri mengangguk, senyumnya lebih manis dari bulan sabit senja itu. Tak kan ia biarkan hati Ibu dan hatinya menyendu, karena sebuah peristiwa di rumah sunyi nan biru.

# Sebuah Fiksi
Bogor, 8 Mei 2013
Sunday, April 7, 2013
Kutitipkan Cintaku
Kutitipkan cintaku
Mata sayu Naura memandang ujung sajadahnya. Ujung sajadah yang selalu terlipat karena dipermainkan Alya bidadari kecilnya di setiap ia bermunajat. Tak seperti biasa, wanita berparas tirus itu hanya memandangi ujung sajadahnya saja, tak segera dirapikannya. Sedang bibir tipisnya masih basah melafadzkan wirid-wirid, dan jemarinya membelai usap rerambut tipis yang menutupi mata putrinya yang sabit. Mata yang mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang dicintainya, yang telah meninggalkan mereka berdua tujuh tahun yang lalu.
Mata sayu Naura memandang ujung sajadahnya. Ujung sajadah yang selalu terlipat karena dipermainkan Alya bidadari kecilnya di setiap ia bermunajat. Tak seperti biasa, wanita berparas tirus itu hanya memandangi ujung sajadahnya saja, tak segera dirapikannya. Sedang bibir tipisnya masih basah melafadzkan wirid-wirid, dan jemarinya membelai usap rerambut tipis yang menutupi mata putrinya yang sabit. Mata yang mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang dicintainya, yang telah meninggalkan mereka berdua tujuh tahun yang lalu.
Tuesday, March 26, 2013
Lukisan Cintamu
Ketika cinta ditilamkan Tuhan kepadamu
Seketika hangat menjalari dada
Ada sesuatu yang terasa berkecambah
Menyentuh mengelus bilik hati
Tak kau hiraukan itu
Hingga dadamu sesakkan entah
Dan jiwa menggigil gelisah
Lalu kaupun tahu
Itulah rindu
Yang merambati setiap inci labirin darahmu mengalir
Yang turut mendenyut di jantungmu berdegup
Yang selalu menyerta dalam setiap nafasmu terhela
Yang tak ingin pergi dari bayanganmu menjela
Hanya padanya, ingatanmu bersemayam damai
Lukisan cintamu tak berwarna terang
Ia hanya berpendar, namun indah dalam lembut nuansa tenang
Kau bisikkan namanya dalam senandung
Bak nyanyian surgawi yang mengalun kidung
Aahh ... apa yang lebih indah dari memandang senyumnya ?
Seakan segenap jagat turut mengilustrasikan
Dalam gumpalan awan
Di gugusan bintang-bintang
Selalu hanya dirinya
Kemanapun kau pergi ia mengikuti
Dalam nurani,
Di dalam sanubari
Ia lukisan cintamu
Tak terganti
Saturday, March 9, 2013
Sepotong Pentas Maya
Kususuri jalanan nan berliku
Di kota nan berselimut halimun biru
Kemana kau palingkan wajah disana kau temukan dinding tak berpintu
Dinding-dinding berteralis kejujuran hingga pagar keramahan penuh palsu
Di kota itu kau selalu ditanya dalam senyuman :
"Apa yang sedang kau rasakan ?"
"Apa yang sedang kau pikirkan ?"
Namun, jika telah diungkapkan, mengapa tak hilang segala kegundahan
Pedihku hanya kupendam saja
Memandang kaumku dirayu dicumbu kata
Dijanjikan syurga seribu warna
Dijadikan bunga terakhir hingga akhir masa
Namun tak insaf ia bak permainan saja
Dijadikan boneka tuk luahkan kesepiannya
Bagaimana kan harapkan kesetiaannya
Pada insan hanya pandai bermain tutur dan aksara
Maka tiba-tiba kota berubah puisi sepi
Ratapan perih di hati nan penuh dramaturgi
Berbarisan dinding dalam coretan-coretan pilu dan nyeri
Menanti iba karib dan sahabat hati
Ini hanya sepotong pentas maya
yang tak jeli kan didusta
yang tak awas kan dibencana
Hanya diri nan waskita
Tak kan terlena dan dipedaya
Di kota nan berselimut halimun biru
Kemana kau palingkan wajah disana kau temukan dinding tak berpintu
Dinding-dinding berteralis kejujuran hingga pagar keramahan penuh palsu
Di kota itu kau selalu ditanya dalam senyuman :
"Apa yang sedang kau rasakan ?"
"Apa yang sedang kau pikirkan ?"
Namun, jika telah diungkapkan, mengapa tak hilang segala kegundahan
Pedihku hanya kupendam saja
Memandang kaumku dirayu dicumbu kata
Dijanjikan syurga seribu warna
Dijadikan bunga terakhir hingga akhir masa
Namun tak insaf ia bak permainan saja
Dijadikan boneka tuk luahkan kesepiannya
Bagaimana kan harapkan kesetiaannya
Pada insan hanya pandai bermain tutur dan aksara
Maka tiba-tiba kota berubah puisi sepi
Ratapan perih di hati nan penuh dramaturgi
Berbarisan dinding dalam coretan-coretan pilu dan nyeri
Menanti iba karib dan sahabat hati
Ini hanya sepotong pentas maya
yang tak jeli kan didusta
yang tak awas kan dibencana
Hanya diri nan waskita
Tak kan terlena dan dipedaya
PS : Hanya pandangan subjektif dari satu sudut pandang penulis. Di belahan pandangnya yang lain, ada banyak insan nan baik dan jujur berhidup dan bergaul pula di kota bernuansa biru itu.
No hurt feeling, please ^_^.
No hurt feeling, please ^_^.
Monday, March 4, 2013
Terjebak
Mungkin hanya perlu sejumput pemahaman untuk mensyarahkan ihwal
Tentang aku dalam apapun yang kau ibaratkan
Kau kira aku tegar, padahal kumerapuh dibalik batu karang
Kau kira aku seorang dewi, padahal kumengesah dalam derana
Ini bukan tentang keteguhanku
Tapi apa yang harus kulintasi
Dan tak seorang pernah mau menginsafi
Bahkan kau ...
Bahwa akupun punya hati
Namun entah sejak kapan hatiku dikunci
Diterungku oleh keyakinanku sendiri
Keyakinan yang kau semai lalu harus kutuai
Dan memugas seluruh harapan yang pernah kuncup
Mungkin tak harus difahami
Karena memang tak semua hal bisa dimengerti
Hanya perlu kugenggam
Meski telapakku harus terbakar
Monday, February 25, 2013
Mendekap Bara
Ratih menghela nafas lega saat suster ramah itu akhirnya meninggalkan ruangan tempat ia terbaring lemah. Entah siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bram pun belum ia hubungi, entah mengapa wanita itu merasa jauh lebih baik jika ia tetap berjarak dengan suaminya. Hendak diraihnya hand phone yang tergeletak di atas meja, namun rasa nyeri yang sangat di bagian kepalanya menahannya. Ratih merintih lirih, spontan tangannya meraba bagian yang nyeri.
"Bunda ..."
Tiba-tiba Ratih terkesiap, meski suara yang memanggilnya itu hanya sesayup angin senja yang meniup reranting pohon di balik jendela.
"Ooh ... Kamu nak, Bunda kira siapa"
Ratih mencoba tersenyum, meski hal itu saat ini membuat otot di sekitar matanya terasa nyeri. Ditatapnya Riko, pemuda berseragam SMA itu dari atas pembaringannya.
"Tuhan, betapa tampannya dia, just like his father"
Ratih memuji putranya tak bersuara, namun hatinya tersembilu manakala keindahan sang pemuda harus disandingkan dengan ayahnya. Diperhatikannya cara Riko berjalan saat mendekatinya, persis cara Bram berjalan mendekatinya enam belas tahun yang lalu di suatu acara pertemuan keluarga besar dari fihak Ibunda Ratih.
Tiba-tiba keterpanaan belasan tahun lalu itu terbayang kembali di mata Ratih, di suatu tempat, di suatu waktu. Bram, seorang mahasiswa tingkat akhir, berpenampilan dandy yang masih terikat tali kekeluargaan dengannya hadir di sebuah pesta keluarga. Di sepanjang pertemuan itu tak hanya sekali Ratih memergoki pemuda itu mencuri pandang ke arahnya. Membuat bintang-bintang di haatinya berkelipan setiap mereka beradu pandang. Dan tak berapa lama, hal itu menjadi bahan bincang-bincang dan bisik-bisik yang mengasyikan diantara Ratih dan para sepupu disertai tawa cekikikan yang terkadang mengundang perhatian tamu lainnya.
Tak ada yang teralu istimewa selain daripada rasa berbunga yang Ratih menduga hanya akan hinggap sekelebat, tak akan mengikat, apalagi membebat. Namun entah mengapa hari-hari berikutnya Ratih selalu merindukan ajakan mamanya untuk mengunjungi acara-acara di keluarga besar mereka, hal yang dulu paling enggan diikutinya. Berharap dapat mengulang kesempatan bersua dengan sang teruna.
Dan taqdirpun seakan mengikuti perkenan hatinya, Bram ternyata merasakan hal yang sama. Pertemuan demi pertemuan di keluarga besar mereka bermetamorfosa menjadi pertemuan demi pertemuan pribadi. Ada yang mulai tumbuh subur dalam sukma kedua insan. Yang selalu mendesak-desak ruang rindu apabila tak bertemu. Yang selalu membumbungkan ke langit terang apabila terlaksana perjumpaan.
Hingga empat bulan kemudian, tiba masa Ratih melanjutkan study di Yogya, kota dimana Bram pun kuliah dan bekerja, buncah perasaan itu semakin terluapkan. Kerinduan tak tertahankan dua jiwa terhapus oleh perjumpaan-perjumpaan mengesankan. Tak harus menunggu empat minggu untuk bisa bertemu seperti dahulu, setiap kesempatan setiap acara yang diada-adakan menjadi tempat meluahkan perasaan. Ratih dan Bram semakin tak terpisahkan.
Namun nyatanya kebahagiaan tak hendak hinggap dan berlama-lama bersemayam. Kabar kedekatan itu terbang melintasi jarak dan waktu, hinggap di pendengaran keluarga yang tak berkenan akan hubungan cinta segaris seketurunan. Seakan bukan kepada insan yang berjiwa dan bisa merasa. Ultimatum itu datang terlalu cepat, saat belum lagi kebahagiaan itu mereka reguk lesap. Ratih tak terizin lagi menerima kehadiran laki-laki yang telah sekian bulan menghuni relung hatinya.
"Bapak harus katakan berapa kali tentang lelaki itu Ratih ? Bram bukan orang yang baik untukmu."
Masih terngiang kata-kata bapaknya dalam raut beliau yang tegang, mengiringi isak kesedihan Ratih di pangkuan Ibu kala itu. Bergelombang pertimbangan dan alasan susul menyusul keluar dari lisan Bapak yang dihormatinya tentang orang yang dicintainya. Mulai dari hal ikatan saudara dengan orang tua Bram, perangai hingga kemungkinan masa depan. Semua seakan hujan yang tercurah dari awan, namun tak satupun tertampung di lekuk pemahaman. Yang Ratih mengerti, cinta haruslah memiliki.
"Abang tahu dari siapa Mama ada disini Nak ? kamu datang sendiri ? Adek sama siapa di rumah ?"
Beruntun pertanyaan Ratih tercurah, kecemasan memikirkan Nana putri bungsunya di rumah selagi ia dirawat di rumah sakit itu memaksanya menanyai Riko dengan cara yang tak disukainya. Namun Riko tersenyum lembut, membuat Ratih mendadak tenang dibuatnya.
"Bunda ..."
Tiba-tiba Ratih terkesiap, meski suara yang memanggilnya itu hanya sesayup angin senja yang meniup reranting pohon di balik jendela.
"Ooh ... Kamu nak, Bunda kira siapa"
Ratih mencoba tersenyum, meski hal itu saat ini membuat otot di sekitar matanya terasa nyeri. Ditatapnya Riko, pemuda berseragam SMA itu dari atas pembaringannya.
"Tuhan, betapa tampannya dia, just like his father"
Ratih memuji putranya tak bersuara, namun hatinya tersembilu manakala keindahan sang pemuda harus disandingkan dengan ayahnya. Diperhatikannya cara Riko berjalan saat mendekatinya, persis cara Bram berjalan mendekatinya enam belas tahun yang lalu di suatu acara pertemuan keluarga besar dari fihak Ibunda Ratih.
Tiba-tiba keterpanaan belasan tahun lalu itu terbayang kembali di mata Ratih, di suatu tempat, di suatu waktu. Bram, seorang mahasiswa tingkat akhir, berpenampilan dandy yang masih terikat tali kekeluargaan dengannya hadir di sebuah pesta keluarga. Di sepanjang pertemuan itu tak hanya sekali Ratih memergoki pemuda itu mencuri pandang ke arahnya. Membuat bintang-bintang di haatinya berkelipan setiap mereka beradu pandang. Dan tak berapa lama, hal itu menjadi bahan bincang-bincang dan bisik-bisik yang mengasyikan diantara Ratih dan para sepupu disertai tawa cekikikan yang terkadang mengundang perhatian tamu lainnya.
Tak ada yang teralu istimewa selain daripada rasa berbunga yang Ratih menduga hanya akan hinggap sekelebat, tak akan mengikat, apalagi membebat. Namun entah mengapa hari-hari berikutnya Ratih selalu merindukan ajakan mamanya untuk mengunjungi acara-acara di keluarga besar mereka, hal yang dulu paling enggan diikutinya. Berharap dapat mengulang kesempatan bersua dengan sang teruna.
Dan taqdirpun seakan mengikuti perkenan hatinya, Bram ternyata merasakan hal yang sama. Pertemuan demi pertemuan di keluarga besar mereka bermetamorfosa menjadi pertemuan demi pertemuan pribadi. Ada yang mulai tumbuh subur dalam sukma kedua insan. Yang selalu mendesak-desak ruang rindu apabila tak bertemu. Yang selalu membumbungkan ke langit terang apabila terlaksana perjumpaan.
Hingga empat bulan kemudian, tiba masa Ratih melanjutkan study di Yogya, kota dimana Bram pun kuliah dan bekerja, buncah perasaan itu semakin terluapkan. Kerinduan tak tertahankan dua jiwa terhapus oleh perjumpaan-perjumpaan mengesankan. Tak harus menunggu empat minggu untuk bisa bertemu seperti dahulu, setiap kesempatan setiap acara yang diada-adakan menjadi tempat meluahkan perasaan. Ratih dan Bram semakin tak terpisahkan.
***
Namun nyatanya kebahagiaan tak hendak hinggap dan berlama-lama bersemayam. Kabar kedekatan itu terbang melintasi jarak dan waktu, hinggap di pendengaran keluarga yang tak berkenan akan hubungan cinta segaris seketurunan. Seakan bukan kepada insan yang berjiwa dan bisa merasa. Ultimatum itu datang terlalu cepat, saat belum lagi kebahagiaan itu mereka reguk lesap. Ratih tak terizin lagi menerima kehadiran laki-laki yang telah sekian bulan menghuni relung hatinya.
"Bapak harus katakan berapa kali tentang lelaki itu Ratih ? Bram bukan orang yang baik untukmu."
Masih terngiang kata-kata bapaknya dalam raut beliau yang tegang, mengiringi isak kesedihan Ratih di pangkuan Ibu kala itu. Bergelombang pertimbangan dan alasan susul menyusul keluar dari lisan Bapak yang dihormatinya tentang orang yang dicintainya. Mulai dari hal ikatan saudara dengan orang tua Bram, perangai hingga kemungkinan masa depan. Semua seakan hujan yang tercurah dari awan, namun tak satupun tertampung di lekuk pemahaman. Yang Ratih mengerti, cinta haruslah memiliki.
***
Hampir-hampir Ratih tak dapat bertahan lagi. Ini hari ke delapan puluh tujuh perpisahannya dengan Bram. Sungguh, tak berada di dekat Bram adalah kematian keceriaan dan semangat hidupnya. Bukan hal yang mudah untuk terbangun setiap malam dengan kesadaran bahwa Bram telah bukan miliknya. Deru dalam dada dan isak tangisnya telah menjadi teman hampr tiga bulan kesendiriannya.
Hingga tiba-tiba sebuah pesan masuk di emailnya menghentaknya :
"Nik, sayang, remember me ? Bisakah kita ketemu besok ? di Fleury jam 10 pagi ? Please. Miss u so much. -Yours-
Ratih mengusap-usap matanya tak percaya,membaca kata demi kata di layar laptopnya.
"Bram !..."
Pekik hatinya. Siapa lagi yang selalu memanggilnya dengan sebutan Nik atau Cenik. Panggilan kesayangan Bram untuknya.
"Bram !..."
Pekik hatinya. Siapa lagi yang selalu memanggilnya dengan sebutan Nik atau Cenik. Panggilan kesayangan Bram untuknya.
Fleury, adalah nama sebuah cafe yang dahulu sering mereka kunjungi dan nikmati. Kini Bram mengajaknya bertemu di tempat itu dalam diam-diam dan hati-hati. Tak banyak mendebat kata hati, segera Ratih menjawab surat elektronik itu. Pesan pendek yang baginya terasa sepanjang bentang pelangi. Tak sabar hatinya menanti, besok, jam 10 pagi.
***
Detak di dada Ratih tak mereda, meski ia telah mencoba mengatur nafasnya seteratur desau air conditioner didalam Taxi yang ditumpanginya. Ia terus melafadzkan Al-Fatihahnya entah untuk yang keberapa puluh kali. Hatinya terus bertanya-tanya, akan seperti apa pertemuannya nanti bersama Bram. Apakah ia masih semempesona yang selalu dirasakannya setiap kali bertemu. Seperti apakah rupa kekasihnya itu kini ? Apakah ia telah berubah dan Ratih tak dapat mengenalinya lagi ? Ahh bagaimana bisa ia melupakannya, bayangan lelaki itu selalu hadir dalam ruang mimpi-mimpinya.
"Nik ..."
Sependek itu, ya sependek itu sebuah suara beresonansi di ruang pendengaran Ratih. Ahh, itu suara yang selalu dinanti-nantikannya. Inikah Bram yang dirindukan jutaan detiknya ?. Ratih masih tertegun menatap hampir tak percaya lelaki dihadapannya. Masih memanggilnya dengan panggilan yang sama saat ia meninggalkannya. Hanya ada senyap dan bulir bening menggelantung di sudut mata kejoranya, menerjemahkan lebih dari ribuan aksara yang ingin diungkapkannya.
Ratih menghambur kedalam pelukan Bram, hati dan bibirnya tersedu antara duka dan bahagia. Bersama keduanya menangis menikmati luapan emosi jiwa yang sekian bulan terkurung dalam gelas amarah. Amarah yang tak dapat terbuncah, dibenteng ultimatum keluarga yang tak bisa memberi ruang toleransi bagi cinta yang telah terlanjur tumbuh dan berkecambah.
Dan hanya seringan kedipan mata, duka disebabkan rindu yang terpasung, terhapus sudah. Bram tak ingin kehilangan cintanya lagi, demikianpun Ratih. Keduanya tak hendak pulang ke rumah yang penuh jerat larangan. Berdua,menembus kabut gelap dihadapan, berharap dapat menembus rintangan dan menemukan jalan keluar.
***
Ratih mengelus lengan Riko lembut, tatapannya memeriksa apakah ada duka di mata sulungnya ini. Namun hanya keluguan yang ia temukan, dan Ratih tak ingin merusaknya.
"Abang tahu dari siapa Mama ada disini Nak ? kamu datang sendiri ? Adek sama siapa di rumah ?"
Beruntun pertanyaan Ratih tercurah, kecemasan memikirkan Nana putri bungsunya di rumah selagi ia dirawat di rumah sakit itu memaksanya menanyai Riko dengan cara yang tak disukainya. Namun Riko tersenyum lembut, membuat Ratih mendadak tenang dibuatnya.
"Mama tenang aja, Nana sama Bibi di rumah. Ada Fella juga koq di rumah Ma"
Fella adalah keponakan Ratih, sepupu anak-anaknya yang sering menginap di rumah mereka.
Riko menyodorkan sesendok bubur ke mulut ibunya. Ada yang menyayat hatinya saat memandang lebam dan bengkak di mata wanita yang dikasihinya itu. Geram di dadanya mengingat peristiwa semalam disembunyikannya. Riko hanya ingin menjadi laki-laki yang bisa diandalkan ibunya, sesuatu yang tak didapatkan wanita itu dari ayahnya.
"Sudah Abang, Bunda sudah kenyang"
Ratih tak enak selalu merepotkan anak lelakinya yang usianya baru saja melewati tahun ke lima belas itu. Diperhatikannya makanan dalam piring di genggaman Riko, makanan rumah sakit yang sederhana, sesederhana hidangan pernikahannya dahulu bersama Bram.
Ratih teringat malam itu. Malam nan basah karena gerimis sejak sore itu menjadi alasan rembulan tak dapat tersenyum merestui pernikahan kedua sejoli di langit Subang. Ratih nampak begitu jelita meski dalam balutan kebaya putih sederhana. Ya, sebentar lagi Bram akan mengucap akad sucinya, mengikatnya dalam rengkuhan pernikahan yang dicita-citakannya.
"Sudah Abang, Bunda sudah kenyang"
Ratih tak enak selalu merepotkan anak lelakinya yang usianya baru saja melewati tahun ke lima belas itu. Diperhatikannya makanan dalam piring di genggaman Riko, makanan rumah sakit yang sederhana, sesederhana hidangan pernikahannya dahulu bersama Bram.
Ratih teringat malam itu. Malam nan basah karena gerimis sejak sore itu menjadi alasan rembulan tak dapat tersenyum merestui pernikahan kedua sejoli di langit Subang. Ratih nampak begitu jelita meski dalam balutan kebaya putih sederhana. Ya, sebentar lagi Bram akan mengucap akad sucinya, mengikatnya dalam rengkuhan pernikahan yang dicita-citakannya.
Namun seri di wajah ayu Ratih tak sebanding dengan atmosfir yang dirasakannya di ruangan itu. Sebuah moment yang seharusnya membahagiakan, namun harus berhias ragu, sakit, sekaligus haru. Ahh Ratih tak dapat mendeskripsikan perasaan ibunya, ia hanya melihat Ibu selalu mengusap air matanya, sementara Bapak nampak tak terlalu gembira duduk ditengah-tengah beberapa gelintir keluarga terdekat mereka. Tak ada teman-teman Ratih atau teman orang tuanya, tak ada kolega Bram, tak ada hidangan berlimpah, tak ada musik tradisional yang mendayu-dayu sebagaimana biasanya di pesta pernikahan.
"Saya terima nikahnya Masayu Ratih Paramitha binti Rasjid Winata dengan maskawin tersebut, tunai !
"Saya terima nikahnya Masayu Ratih Paramitha binti Rasjid Winata dengan maskawin tersebut, tunai !
Suara tegas Bram menjawab akad nikahnya di hadapan Bapak dan penghulu melegakan hati Ratih sekaligus menitiskan rasa bersalah yang dalam. Ia tahu Bapak tak mencurahkan sepenuhnya restu dan air mata Ibu tak mengizinkannya nikmati bahagia nan utuh. Ratih tahu, pernikahan itu menyisakan kekecewaan di dada dua insan sepuh yang ia panggil Ibu dan Bapak. Namun pelukan Bram malam itu mendamaikan hatinya, seiring rerintik gerimis yang membasahi cinta keduanya.
***
Cairan NaCl dan glukosa dalam labu infus di atas kepala Ratih menetes sebulir demi sebulir ke dalam nadinya. Entah mengapa memperhatikan cairan itu memasuki tubuhnya menjadi keasyikan tersendiri sejak rumah sakit menjadi tempat yang cukup sering ia inapi, seperti sedang melihat kekuatannya pulang kembali kepadanya setelah dirampas dengan keji. Ya, dirampas, seakan ia bukan manusia yang pantas dikasihani, apalagi dicintai.
Bram yang ia cinta dan percayai telah jejakkan luka tak hanya di hatinya, namun sekaligus juga di setiap sisi dan sudut wajah dan tubuhnya. Tamparan hingga tonjokkan kepal tangan Bram telah mulai diterimanya sejak awal pernikahan.
Belum tuntas dua puluh satu hari sejak kepindahannya dari kotanya ke rumah orang tua Bram dan "menikmati" masa-masa menyesuaikan diri, datang seorang perempuan bertubuh semampai. Tak secantik dirinya, namun Ratih menangkap daya tarik perempuan itu pada kulit putih mulusnya dan pembawaannya, Wanita itu duduk dengan wajah memancarkan sendu di ruang tamu menghadap ke arahnya. Ratih tak tahu harus bereaksi bagaimana, ia lalu hanya bisa terpana mendengar pengaduan wanita itu dalam isak tangisnya, bahwa telah tumbuh janin dari benih Bram dalam tubuhnya. Seakan dunia berhenti tiba-tiba, menyisakan kelu pada lisannya, dan air mata runtuh seketika.
Sungguh, suatu pendadakan yang tak memberinya ruang untuk bahkan sekedar berfikir dan mencari jalan keluar. Peristiwa menyakitkan luar biasa yang pertama dalam kehidupan pernikahannya itu kemudian yang menyadarkannya, bahwa memperso'alkannya bermakna penyangkalan-penyangkalan Bram dan pembelaan mertuanya kepada anaknya itu. Dan mengharapkan perceraian dari Bram, berarti penyiksaan dan penganiayaan lelaki itu atas jiwa dan raganya.
Belum tuntas dua puluh satu hari sejak kepindahannya dari kotanya ke rumah orang tua Bram dan "menikmati" masa-masa menyesuaikan diri, datang seorang perempuan bertubuh semampai. Tak secantik dirinya, namun Ratih menangkap daya tarik perempuan itu pada kulit putih mulusnya dan pembawaannya, Wanita itu duduk dengan wajah memancarkan sendu di ruang tamu menghadap ke arahnya. Ratih tak tahu harus bereaksi bagaimana, ia lalu hanya bisa terpana mendengar pengaduan wanita itu dalam isak tangisnya, bahwa telah tumbuh janin dari benih Bram dalam tubuhnya. Seakan dunia berhenti tiba-tiba, menyisakan kelu pada lisannya, dan air mata runtuh seketika.
Sungguh, suatu pendadakan yang tak memberinya ruang untuk bahkan sekedar berfikir dan mencari jalan keluar. Peristiwa menyakitkan luar biasa yang pertama dalam kehidupan pernikahannya itu kemudian yang menyadarkannya, bahwa memperso'alkannya bermakna penyangkalan-penyangkalan Bram dan pembelaan mertuanya kepada anaknya itu. Dan mengharapkan perceraian dari Bram, berarti penyiksaan dan penganiayaan lelaki itu atas jiwa dan raganya.
***
Hari ke tiga di rumah sakit nyatanya tak semembosankan yang sering dikeluhkan orang, begitu juga dirinya. Ratih cukup bahagia saat Bram beserta Riko dan Nana membawakan untuknya sebentuk rainbow cake bertoping buah kiwi dan strawberry segar serta lilin berbentuk angka yang menunjukkan umurnya.
"Happy birthday, Sweety"
Bram mengucapkan kata-kata manis itu di telinganya dalam bisikan nan lembut, seakan tak pernah terjadi sesuatu apa yang menyebabkan istrinya berada di atas pembaringan rumah sakit itu. Ratih tak berani menatap mata Bram, ia hanya menunduk dan tersenyum. Senyum yang ia merasa memang seharusnya ia selalu persembahkan untuk suaminya. Senyum yang ia merasa memang seharusnya dilihat oleh anak-anaknya.
Ratih meringis saat Bram menciumnya di tempat dimana ia telah menyakitinya. Seakan dengan cara ini Bram ingin mengungkapkan penyesalannya.
Entah kelapangan hati serupa apa yang dimilikinya, Ratih selalu memaafkan seberapa menyakitkanpun perbuatan lelaki itu. Ia pun tak mengerti saat dimana ia merelakan begitu saja haknya atas warisan bapaknya untuk menutupi segala hutang atas kartu-kartu kredit Bram yang tak pernah ia nikmati. Dan entah kekuatan sebesar apa yang membuatnya terus bertahan di malam-malam yang melelahkan, menghadapi kata-kata yang menyerang jiwanya bahkan tamparan hingga ancaman benda tajam pada raganya jika ia sedikit saja menyinggung perasaan suaminya.
Ahh, itu tak penting lagi baginya, mengingat itu semua hanya menambah luka hatinya saja. Ratih hanya ingin menikmati telaga sejuk di lengkung senyum Riko dan Nana di hadapannya.
Entah kelapangan hati serupa apa yang dimilikinya, Ratih selalu memaafkan seberapa menyakitkanpun perbuatan lelaki itu. Ia pun tak mengerti saat dimana ia merelakan begitu saja haknya atas warisan bapaknya untuk menutupi segala hutang atas kartu-kartu kredit Bram yang tak pernah ia nikmati. Dan entah kekuatan sebesar apa yang membuatnya terus bertahan di malam-malam yang melelahkan, menghadapi kata-kata yang menyerang jiwanya bahkan tamparan hingga ancaman benda tajam pada raganya jika ia sedikit saja menyinggung perasaan suaminya.
***
Sejak Bram memboyongnya ke Yogya, Ratih seakan harus terus membangun benteng tinggi dalam ruang bathinnya, agar kebas dari sikap skeptis (jika tak bisa dikatakan sinis) ibu mertuanya. Bahkan berita selentingan di luaran tentang hubungan Bram dengan beberapa perempuan, terus coba ia abaikan agar ia dapat tetap bertahan.
Sejak menjadi bagian dari keluarga di rumah mertuanya itu, Ratih menyadari betapa lemahnya dirinya. Jangankan untuk melawan, bahkan haknya untuk mengatur keuangan rumah tangganya sendiripun telah dirampas sejak awal pernikahan. Tak sepeserpun penghasilan suaminya ia terima kecuali dengan harus menghiba. Semua diatur Bram atau oleh ibu mertuanya. Itulah awal mula Ratih mulai berfikir untuk menyanggupkan diri mencari nafkah dengan tangannya sendiri. Dalam segala tekanan yang menghimpitnya, Ratih memberanikan diri menjual penganan-penganan kecil buatannya ke beberapa tetangga dan warung-warung kecil di dekat rumah. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya rupiah demi rupiah, yang karenanya ia mulai bisa membeli peralatan dapurnya sendiri, baju hingga kekuatan untuk mendesak Bram bisa mengontrak rumah.
Sejak menjadi bagian dari keluarga di rumah mertuanya itu, Ratih menyadari betapa lemahnya dirinya. Jangankan untuk melawan, bahkan haknya untuk mengatur keuangan rumah tangganya sendiripun telah dirampas sejak awal pernikahan. Tak sepeserpun penghasilan suaminya ia terima kecuali dengan harus menghiba. Semua diatur Bram atau oleh ibu mertuanya. Itulah awal mula Ratih mulai berfikir untuk menyanggupkan diri mencari nafkah dengan tangannya sendiri. Dalam segala tekanan yang menghimpitnya, Ratih memberanikan diri menjual penganan-penganan kecil buatannya ke beberapa tetangga dan warung-warung kecil di dekat rumah. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya rupiah demi rupiah, yang karenanya ia mulai bisa membeli peralatan dapurnya sendiri, baju hingga kekuatan untuk mendesak Bram bisa mengontrak rumah.
Meski harus terseok-seok menghadapi kesulitan keuangan, namun Ratih merasa hal itu lebih baik, daripada harus menghadapi suami dan sekaligus ibu mertuanya yang bak drakula selalu menghisap energi positifnya setiap hari. Terlebih saat kehamilannya telah semakin memberatkannya, Ratih tak ingin konflik-konflik yang mengecilkan semangatnya terus merintangi. Dengan berbekal hobi memasaknya, Ratih berusaha bangkit memunguti rezeki diri dan anak-anaknya yang tak ia dapatkan dari curah tangan suaminya.
Tahun demi tahun, lipatan demi lipatan kesabaran terus Ratih bentangkan. Tak sepeserpun nafkah ia terima dari Bram sejak mereka menikah tak mengecilkan harapannya. Ada bintang-bintang dalam kejora mata kedua buah hatinya yang terus memandunya melangkah. Usaha kuliner yang terus ia perjuangkan semakin dikenal di lingkungannya. Bahkan ada beberapa sahabat yang menjadi jembatan bagi bisnisnya terus melebar. Rupiah demi rupiah yang dikumpulkannya diatas tetes demi tetes keringat dan air matanya kini bahkan mampu menopang kehidupan keluarganya secara lebih layak.
***
Suara adzan maghrib merayap, merambati dinding gedung-gedung tinggi, menelusup ke rongga-rongga ruang, menembus tirai-tirai tak berpintu, menjamah lingkaran siput di pendengaran Ratih yang rindu. Rindu pada masa-masa dimana Bapak mengajak Ratih kecil shalat shubuh berjama'ah dahulu, rindu bermanja kepada Ibu yang tak pernah bosan mendengar ceritanya yang riang ataupun sendu, rindu pada gelak tawa saudara-saudara yang menggodanya yang membuatnya tertunduk malu. Rindu pada masa-masa kanak-kanak bahagianya kala itu, yang ia sangat inginkan dapat termiliki oleh kedua buah hatinya belahan sukma.
Tak terasa bola-bola seperti kristal mengalir dari sayu matanya, ada denyar dalam dadanya tersentuh kesedihannya.
"Ibu, Bapak, maafkan Ratih ..."
Ratih berbisik dalam isaknya, terbayang dua wajah insan yang mengasuh membesarkannya, yang pernah dikecewakannya namun selalu memaafkannya. Ratih hanya ingin bertanggung jawab atas apa yang telah dipilihnya,walau ia tak menduga betapa pilihan itu telah membawanya pada kepedihan.
Belum tandas nyeri dalam sukma ditumpahkannya, kala sesosok tubuh mungil berbalut mukena merah jambu menghampiri dan memperhatikannya :
"Bunda, koq nangis ? Bunda lagi sedih ya ?"
Ratih mengusap air matanya, dan menarik putri kecilnya mendekat.
"Nana mau shalat maghrib Nak ?
Tak terasa bola-bola seperti kristal mengalir dari sayu matanya, ada denyar dalam dadanya tersentuh kesedihannya.
"Ibu, Bapak, maafkan Ratih ..."
Ratih berbisik dalam isaknya, terbayang dua wajah insan yang mengasuh membesarkannya, yang pernah dikecewakannya namun selalu memaafkannya. Ratih hanya ingin bertanggung jawab atas apa yang telah dipilihnya,walau ia tak menduga betapa pilihan itu telah membawanya pada kepedihan.
Belum tandas nyeri dalam sukma ditumpahkannya, kala sesosok tubuh mungil berbalut mukena merah jambu menghampiri dan memperhatikannya :
"Bunda, koq nangis ? Bunda lagi sedih ya ?"
Ratih mengusap air matanya, dan menarik putri kecilnya mendekat.
"Nana mau shalat maghrib Nak ?
Nana menganggukkan kepalanya, namun sinar matanya memancarkan rasa penasaran.
"Iya, tapi kenapa Bunda menangis ? Bunda dimarahin Ayah ya ? Bunda dipukul lagi sama Ayah ?
Betapa pertanyaan itu telah membuat sayatan luka hatinya terkuak kembali, bagaimanapun kekerasan yang diterimanya tak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan putri 5 tahunnya yang sering menyaksikan sang ayah menyakiti bundanya. Nana masih terlalu kecil untuk mengerti, mengapa bundanya harus menerima pukulan-pukulan dari ayahnya sendiri. Nana masih terlalu dini untuk memahami mengapa bundanya sering dibuat menangis dan menyendiri. Sehingga air mata apapun akan dimaknai sebagai hasil kekerasan ayahnya.
Ratih memandang wajah Nana kecilnya yang rembulan, diusap-usapnya rambut ikal buah hati penuh sayang :
"Ayah nggak marahin Bunda Nak. Kalau Bunda tak salah, Ayah pasti tak marah sama Bunda. Mungkin Ayah sedang lupa, kalau memukul orang itu tak baik. Nanti kita bantu Ayah biar selalu sayang sama Bunda, sama Abang Riko, sama Nana ya. Nana mau bantu Bunda berdo'a ?
Dalam bias sinar lampu, Nana menatap keteduhan membayang di wajah ibundanya, gadis kecil itu menganggukkan kepalanya dan lirih berkata :
"Bunda, Nana sayang Bunda. Bunda jangan sedih ya ".
Ada gerimis di hati Ratih, dan alirnya kini membasahi sendu matanya. Ratih selalu mengerti, bahwa untuk kedua permata hatinya ia harus terus hadir, bahwa segala kepedihan yang ia rasakan hanyalah cara Tuhan menjelaskan tentang ketegaran, bahwa tak perduli serendah apapun dirinya digelari dirinya tetaplah insan berharga bagi putra putrinya, bahwa cinta itu rupanya masih bersemayam untuk Bram, dan bahwa ia akan selalu disini, bersabar memeluk taqdirnya meski itu bermakna serupa mendekap bara.
Ratih memeluk Nana sepenuh kasih, dalam tatapan Riko dibalik pintu, di tengah-tengah kelindan angin malam, di desir do'a-do'a pepohonan, di bawah naungan bintang-bintang.
PS : Inspired from the true story of my best friend
-Kota Hujan, 25 Februari 2012-
"Iya, tapi kenapa Bunda menangis ? Bunda dimarahin Ayah ya ? Bunda dipukul lagi sama Ayah ?
Betapa pertanyaan itu telah membuat sayatan luka hatinya terkuak kembali, bagaimanapun kekerasan yang diterimanya tak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakan putri 5 tahunnya yang sering menyaksikan sang ayah menyakiti bundanya. Nana masih terlalu kecil untuk mengerti, mengapa bundanya harus menerima pukulan-pukulan dari ayahnya sendiri. Nana masih terlalu dini untuk memahami mengapa bundanya sering dibuat menangis dan menyendiri. Sehingga air mata apapun akan dimaknai sebagai hasil kekerasan ayahnya.
Ratih memandang wajah Nana kecilnya yang rembulan, diusap-usapnya rambut ikal buah hati penuh sayang :
"Ayah nggak marahin Bunda Nak. Kalau Bunda tak salah, Ayah pasti tak marah sama Bunda. Mungkin Ayah sedang lupa, kalau memukul orang itu tak baik. Nanti kita bantu Ayah biar selalu sayang sama Bunda, sama Abang Riko, sama Nana ya. Nana mau bantu Bunda berdo'a ?
Dalam bias sinar lampu, Nana menatap keteduhan membayang di wajah ibundanya, gadis kecil itu menganggukkan kepalanya dan lirih berkata :
"Bunda, Nana sayang Bunda. Bunda jangan sedih ya ".
Ada gerimis di hati Ratih, dan alirnya kini membasahi sendu matanya. Ratih selalu mengerti, bahwa untuk kedua permata hatinya ia harus terus hadir, bahwa segala kepedihan yang ia rasakan hanyalah cara Tuhan menjelaskan tentang ketegaran, bahwa tak perduli serendah apapun dirinya digelari dirinya tetaplah insan berharga bagi putra putrinya, bahwa cinta itu rupanya masih bersemayam untuk Bram, dan bahwa ia akan selalu disini, bersabar memeluk taqdirnya meski itu bermakna serupa mendekap bara.
Ratih memeluk Nana sepenuh kasih, dalam tatapan Riko dibalik pintu, di tengah-tengah kelindan angin malam, di desir do'a-do'a pepohonan, di bawah naungan bintang-bintang.
PS : Inspired from the true story of my best friend
-Kota Hujan, 25 Februari 2012-
Friday, February 22, 2013
Kau di Asa Senja
Gemawan, awan bergumpal-gumpal.
Kelabu itu masih senang bersemayam di langit kita.
Dekatlah kepada Ibu nak, biar kukibas basah di parasmu yang rembulan.
Hari telah senja, Ibu ingin memelukmu menanti malam tiba.
Kupandangi binar matamu yang kejora.
Ah semoga tak pernah ada hujan karena kesedihan disana.
Engkau bidadariku yang mengusap elus bathinku disejak hadirmu dalam rahimku.
Kusaksikan engkau tumbuh dalam ketak-sempurnaanku memelihara dan mendidikmu.
Namun Tuhan baik kepadaku.
DIA menjaga dan menaungimu selama didalam asuhanku.
Entah untuk berapa lama lagi Ibu dapat menemanimu.
Tetapi satu yang harus kau tahu, bagaimanapun keadaan Ibu, Tuhan selalu bersamamu.
Dan bila kau rindu, Ibu selalu ada disitu, di dalam ingatanmu. :)
Ahh hangatnya dekapanmu.
Kelak tangan mungilmu ini akan mendekap banyak orang yang perlukan kasih sayangmu ya nak.
Usaplah kepala anak-anak yatim piatu. Peluklah orang-tua orang-tua yang telah lemah kesepian.
Tanganmu ini diciptakan Tuhan untuk memberi kaum yang dha'if, bukan untuk mengambil hak mereka.
Dan Ibu adalah orang yang akan paling merindukan sentuhanmu nanti :)
Apa ini yang berdetak-detak didadaku ? Ahh, ternyata degup jantungku.
Kau sedang bisikkan :"
Aku sayang Ibu"
Merinai sungai di mataku
Bibirmu ini selalu menyenangkan hatiku.
Kelak, ia akan menyenangkan hati banyak orang pula ya nak.
Berkatalah yang baik tak sia-sia.
Selalu jujurlah tak perlu berdusta.
Aku tahu kau akan melakukannya, karena hanif adalah fitrah setiap kita.
Kupandangi matamu yang hujan.
Kelak mata ini akan tersenyum dan meneteskan airnya karena cinta seseorang
Aku ingin melihat lelaki yang kau dambakan itu nak
Ia pastilah sangat manis hingga dapat memikat hatimu
Mungkin dari keberaniannya demi menjagamu
Mungkin dari sopan santunnya demi memuliakanmu
Mungkin dari kesetiaannya demi cintanya kepadamu
Semoga masih ada kesempatan Ibu menyaksikan semua itu.
Kau hanya tertawa saja.
Tentu saja, kau selalu tertawa jka kugelitiki perut buncitmu ini.
Kelak dari perut ini akan lahir cucu-cucuku.
Aku tahu kau akan menjadi Ibu yang baik untuk mereka.
Untuk itu Ibupun akan berjuang menjadi Ibu yang baik untukmu.
Walau banyak yang harus kuakui dari samudra kealpaanku.
Agar kau dapat belajar mengetahui kekuranganku, untuk kau perbaiki dalam peranmu kelak.
Putriku sayang ...
Engkau adalah kecintaanku dan selamanya do'aku kan selalu mengiringi kehidupanmu.
Namun dunia ini tak seramah yang terlihat.
Meski engkau telah bertahan dalam batas, akan selalu ada riak yang goyahkan bidukmu.
Dimana segala yang telah engkau faham dan yakini seakan hilang tak bisa kau raih.
Akan ada saat-saat dimana kau merasa jalan telah buntu
Akan datang masa dimana kau tak bisa melihat jalan keluar.
Namun kau harus percaya Tuhan selalu bersama.
DIA tak kan pernah meninggalkanmu sendirian dalam keterpurukan.
Cahaya diatas cahaya ... jawabkan segala rahasia
Hanya satu yang kau butuhkan
Tetaplah setia dalam keluhuran
Jangan pernah tertipu dunia yang semakin mengesankan
Ahh, adzan telah diperdengarkan.
Segeralah jelang air wudhumu nak.
Semoga masih dipanjangkan kesempatan kita bersujud bersama dihadapan Tuhan.
Menyesap cintaNYA dalam senja penuh kedamaian .
Kirimkan Ibu hadiah do'a darimu ya nak.
Kusayangi engkau disegenap munajatku dan selangit harapan.
Semoga selalu, di dunia dan akhirat nanti, kita dibersamakan.
*Kecup*
Kelabu itu masih senang bersemayam di langit kita.
Dekatlah kepada Ibu nak, biar kukibas basah di parasmu yang rembulan.
Hari telah senja, Ibu ingin memelukmu menanti malam tiba.
Kupandangi binar matamu yang kejora.
Ah semoga tak pernah ada hujan karena kesedihan disana.
Engkau bidadariku yang mengusap elus bathinku disejak hadirmu dalam rahimku.
Kusaksikan engkau tumbuh dalam ketak-sempurnaanku memelihara dan mendidikmu.
Namun Tuhan baik kepadaku.
DIA menjaga dan menaungimu selama didalam asuhanku.
Entah untuk berapa lama lagi Ibu dapat menemanimu.
Tetapi satu yang harus kau tahu, bagaimanapun keadaan Ibu, Tuhan selalu bersamamu.
Dan bila kau rindu, Ibu selalu ada disitu, di dalam ingatanmu. :)
Ahh hangatnya dekapanmu.
Kelak tangan mungilmu ini akan mendekap banyak orang yang perlukan kasih sayangmu ya nak.
Usaplah kepala anak-anak yatim piatu. Peluklah orang-tua orang-tua yang telah lemah kesepian.
Tanganmu ini diciptakan Tuhan untuk memberi kaum yang dha'if, bukan untuk mengambil hak mereka.
Dan Ibu adalah orang yang akan paling merindukan sentuhanmu nanti :)
Apa ini yang berdetak-detak didadaku ? Ahh, ternyata degup jantungku.
Kau sedang bisikkan :"
Aku sayang Ibu"
Merinai sungai di mataku
Bibirmu ini selalu menyenangkan hatiku.
Kelak, ia akan menyenangkan hati banyak orang pula ya nak.
Berkatalah yang baik tak sia-sia.
Selalu jujurlah tak perlu berdusta.
Aku tahu kau akan melakukannya, karena hanif adalah fitrah setiap kita.
Kupandangi matamu yang hujan.
Kelak mata ini akan tersenyum dan meneteskan airnya karena cinta seseorang
Aku ingin melihat lelaki yang kau dambakan itu nak
Ia pastilah sangat manis hingga dapat memikat hatimu
Mungkin dari keberaniannya demi menjagamu
Mungkin dari sopan santunnya demi memuliakanmu
Mungkin dari kesetiaannya demi cintanya kepadamu
Semoga masih ada kesempatan Ibu menyaksikan semua itu.
Kau hanya tertawa saja.
Tentu saja, kau selalu tertawa jka kugelitiki perut buncitmu ini.
Kelak dari perut ini akan lahir cucu-cucuku.
Aku tahu kau akan menjadi Ibu yang baik untuk mereka.
Untuk itu Ibupun akan berjuang menjadi Ibu yang baik untukmu.
Walau banyak yang harus kuakui dari samudra kealpaanku.
Agar kau dapat belajar mengetahui kekuranganku, untuk kau perbaiki dalam peranmu kelak.
Putriku sayang ...
Engkau adalah kecintaanku dan selamanya do'aku kan selalu mengiringi kehidupanmu.
Namun dunia ini tak seramah yang terlihat.
Meski engkau telah bertahan dalam batas, akan selalu ada riak yang goyahkan bidukmu.
Dimana segala yang telah engkau faham dan yakini seakan hilang tak bisa kau raih.
Akan ada saat-saat dimana kau merasa jalan telah buntu
Akan datang masa dimana kau tak bisa melihat jalan keluar.
Namun kau harus percaya Tuhan selalu bersama.
DIA tak kan pernah meninggalkanmu sendirian dalam keterpurukan.
Cahaya diatas cahaya ... jawabkan segala rahasia
Hanya satu yang kau butuhkan
Tetaplah setia dalam keluhuran
Jangan pernah tertipu dunia yang semakin mengesankan
Ahh, adzan telah diperdengarkan.
Segeralah jelang air wudhumu nak.
Semoga masih dipanjangkan kesempatan kita bersujud bersama dihadapan Tuhan.
Menyesap cintaNYA dalam senja penuh kedamaian .
Kirimkan Ibu hadiah do'a darimu ya nak.
Kusayangi engkau disegenap munajatku dan selangit harapan.
Semoga selalu, di dunia dan akhirat nanti, kita dibersamakan.
*Kecup*
Gadisku
Murai cemara sudah putari rumah sepagi ini
Rupanya ada pesta kecil di sarangnya
Bangunlah gadisku
Tak tahu kau rupanya
Ingin segera kulihat mutiara dibalik kelopak matamu
Ahh kubuatkan saja penganan dan susu
Sekejap kau kan tergoda ku tahu itu
Dengarlah gadisku
Geliat malas pohon jambu air kita
"Oo ia manja, ingin disapa sang surya", begitu biasa kau kata :)
Wahai rumah kecil, bukalah pintu usangmu
Biarkan gadisku keluar memandang disebalikmu
Memungut batu dan melempar penatnya
Menjangkau awan dengan mungil tangannya
Lihatlah disana gadisku
Petani padi bercaping lebar
Dan pedagang sayur menanggung beban
Kisahkan sabar dan ketegaran
Dalam berat nasib tiada perlindungan
Lepaskan saja sandal kecilmu
Berlarilah di pematang di pinggir kali
Ada kepiting bercapit merah malu kepadamu
Berlari, ke balik batu ia sembunyi
Dan kutahu, semakin ia sembunyi semakin kau mencari
Tahukah kau gadisku ?
Ada senyum dihatiku memandang ulahmu
Percikkan air sungai basahi bajumu
Dan kau petik bunga rumput liar
Untuk kau pasang di telinga kelinci yang lebar
Wahai senja lihatlah gadisku
Dia cantik disemburat jinggamu
Berderai tawanya jika kupu-kupu hinggap dihidungnya
Menepis rambutnya bertaburan bunga
hapuskan pasir di lembut pipinya
Hmmm ...
Tetapi dengarlah gadisku
Suara selendang angin telah mendesir
Tanda malam kan mulai kepakkan sayapnya
Cepatlah bangkit dan genggam tanganku
Kita berlomba bersama gerimis siapa cepat tiba di rumah
Malam oh malam tataplah gadisku
Berliput selimut masih mintakan cerita
Purnama bulanmu terbitkan senyum baginya
Hingga tak nampak lagi mutiara di balik bulu matanya
Biarkan damai ini disini berhenti
Dan senandungmu mengalun rinduku lagi
Tidurlah kau wahai gadisku
Besok kita kan bersua lagi
Memungut soka di rumput kita
Sandingkan ia bersama mawar di dalam vas bunga
Bermimpilah, permataku
Selalu ada cinta untukmu ...
*Kecup*^_^
Rupanya ada pesta kecil di sarangnya
Bangunlah gadisku
Tak tahu kau rupanya
Ingin segera kulihat mutiara dibalik kelopak matamu
Ahh kubuatkan saja penganan dan susu
Sekejap kau kan tergoda ku tahu itu
Dengarlah gadisku
Geliat malas pohon jambu air kita
"Oo ia manja, ingin disapa sang surya", begitu biasa kau kata :)
Wahai rumah kecil, bukalah pintu usangmu
Biarkan gadisku keluar memandang disebalikmu
Memungut batu dan melempar penatnya
Menjangkau awan dengan mungil tangannya
Lihatlah disana gadisku
Petani padi bercaping lebar
Dan pedagang sayur menanggung beban
Kisahkan sabar dan ketegaran
Dalam berat nasib tiada perlindungan
Lepaskan saja sandal kecilmu
Berlarilah di pematang di pinggir kali
Ada kepiting bercapit merah malu kepadamu
Berlari, ke balik batu ia sembunyi
Dan kutahu, semakin ia sembunyi semakin kau mencari
Tahukah kau gadisku ?
Ada senyum dihatiku memandang ulahmu
Percikkan air sungai basahi bajumu
Dan kau petik bunga rumput liar
Untuk kau pasang di telinga kelinci yang lebar
Wahai senja lihatlah gadisku
Dia cantik disemburat jinggamu
Berderai tawanya jika kupu-kupu hinggap dihidungnya
Menepis rambutnya bertaburan bunga
hapuskan pasir di lembut pipinya
Hmmm ...
Tetapi dengarlah gadisku
Suara selendang angin telah mendesir
Tanda malam kan mulai kepakkan sayapnya
Cepatlah bangkit dan genggam tanganku
Kita berlomba bersama gerimis siapa cepat tiba di rumah
Malam oh malam tataplah gadisku
Berliput selimut masih mintakan cerita
Purnama bulanmu terbitkan senyum baginya
Hingga tak nampak lagi mutiara di balik bulu matanya
Biarkan damai ini disini berhenti
Dan senandungmu mengalun rinduku lagi
Tidurlah kau wahai gadisku
Besok kita kan bersua lagi
Memungut soka di rumput kita
Sandingkan ia bersama mawar di dalam vas bunga
Bermimpilah, permataku
Selalu ada cinta untukmu ...
*Kecup*^_^
Wednesday, February 13, 2013
Perpisahan
Terik
ini tak sampai separuh hari ~
Kini tak senoktah jejakpun nampak ~
lantis terkikis langit menangis.
Seperti hatiku nan haru, meninggalkanmu
dlm pelukan kota ilmu.
#Peluk Zahra dlm senja di bawah langit La Tanza nan hujan
Tuesday, February 12, 2013
Senyum Di Langit La Tanza
Gemawan
senja ini tak terlalu berarak.
Namun mampu mengantar jalinan ucapmu
tentangnya.
"Sejak mengenalmu, aku jadi suka awan, bulan, bunga dan
hujan" katamu.
Kini, dalam megah lazuardy, aku tak mengerti.
Apakah
mataku yg keliru, atau fikiranku yg memaksa awan-awan itu membentuk
senyummu.
~ *Ponpes La Tanza Banten, 13 okt 2012*
Monday, January 21, 2013
Pada CintaMU ku Lebur
Allahu
Entah mengapa kudatang lagi kepadaMU
Berulang kali melalu, berulang pula datang bertamu
Mungkin karena aku tak tahu malu
Mungkin pula karena sesungguhnya aku rindu
Allahu
Jangan memandangku seperti itu
Aku malu
Ini hambaMU yang menghati-batu
Tapi kini mendekat harapkan sentuhMU
agar ia kembali selembut salju
Tuhan
Terima kasih,
Atas bahagia ini
Masih bisa menyebut namaMU
Masih bisa mengingatMU
Masih bisa merindukanMU
Rabb
Dengan apapun asmaMU kusebut
Engkau tetaplah seKasih itu
Kupilih tuk bersamaMU
Karena TanpaMU kutak tahu
Ini air mataku
Yang rindu sampai pada haribaanMU
Meski tak pantas
Namun aku terus meretas
Rabbku
Aku tahu berdo'a kepadaMU adalah perintahMU
Aku tahu semakin kumeminta semakin ENGKAU cinta
Tapi aku malu ...
Malu karena ku telah terlalu banyak meminta
Malu karena pada wajibku padaMU ku telah banyak alpa
Malu karena pada hakMU ku telah banyak melupa
Ku hanya ingin selalu bersama
Pada jalanMU ku ingin tetap setia
Dekap aku dalam-dalam
Jangan KAU lepas diam-diam
Sering kata-kata cinta terucap indah
Namun sebanyak itu pula kuterbata-bata menyembah
Apa daya hatiku lemah
Apakah KAU masih percaya, ku tak tahu, entah
Allahu
Mungkin tak seorang pun percaya
Kala kukata hanya KAU yang kupuja
Dan hanya bertemu diriMU yang kuminta
Lalu kudigoncang goyah
Hatiku dipaksa menyerah
Darahku dikobar parah
Dengan apa kuharus tabah ?
Tuhan
Engkau Maha Segala
Saat KAU ada dimana-mana
Disana kubermakna
Biarkan pada cintaMU kumelebur
Asalkan pada jalanMU biarlah kuhancur
Merepih dalam sujud
Memunguti cintaMU
Allahu
Aku rindu
Entah mengapa kudatang lagi kepadaMU
Berulang kali melalu, berulang pula datang bertamu
Mungkin karena aku tak tahu malu
Mungkin pula karena sesungguhnya aku rindu
Allahu
Jangan memandangku seperti itu
Aku malu
Ini hambaMU yang menghati-batu
Tapi kini mendekat harapkan sentuhMU
agar ia kembali selembut salju
Tuhan
Terima kasih,
Atas bahagia ini
Masih bisa menyebut namaMU
Masih bisa mengingatMU
Masih bisa merindukanMU
Rabb
Dengan apapun asmaMU kusebut
Engkau tetaplah seKasih itu
Kupilih tuk bersamaMU
Karena TanpaMU kutak tahu
Ini air mataku
Yang rindu sampai pada haribaanMU
Meski tak pantas
Namun aku terus meretas
Rabbku
Aku tahu berdo'a kepadaMU adalah perintahMU
Aku tahu semakin kumeminta semakin ENGKAU cinta
Tapi aku malu ...
Malu karena ku telah terlalu banyak meminta
Malu karena pada wajibku padaMU ku telah banyak alpa
Malu karena pada hakMU ku telah banyak melupa
Ku hanya ingin selalu bersama
Pada jalanMU ku ingin tetap setia
Dekap aku dalam-dalam
Jangan KAU lepas diam-diam
Sering kata-kata cinta terucap indah
Namun sebanyak itu pula kuterbata-bata menyembah
Apa daya hatiku lemah
Apakah KAU masih percaya, ku tak tahu, entah
Allahu
Mungkin tak seorang pun percaya
Kala kukata hanya KAU yang kupuja
Dan hanya bertemu diriMU yang kuminta
Lalu kudigoncang goyah
Hatiku dipaksa menyerah
Darahku dikobar parah
Dengan apa kuharus tabah ?
Tuhan
Engkau Maha Segala
Saat KAU ada dimana-mana
Disana kubermakna
Biarkan pada cintaMU kumelebur
Asalkan pada jalanMU biarlah kuhancur
Merepih dalam sujud
Memunguti cintaMU
Allahu
Aku rindu
Sunday, January 20, 2013
Sebatas Pandang
Pada rerintik yang terus mengusik
Pada angin yang mengelus menelisik
Aku sisipkan tanya
Apakah aku masih setegar dahulu
Saat badai itu membuncah dada
Saat tak sedetikpun tanpa air mata
Saat lisan tak putus memanggil sebuah Nama
Lalu aku kehilangan asa
Yang dahulu padanya kutautkan renjana
Menepis membuang segala lekat
Menjauh, lalu merapuh ...
Namun bayangan masih terus berkelindan
Setiap kata-kata masih tersimpan
Saat katamu :
"Dirimu serupa bayang-bayang, hanya nampak sebatas pandang"
Lalu kita terdiam ...
Pada angin yang mengelus menelisik
Aku sisipkan tanya
Apakah aku masih setegar dahulu
Saat badai itu membuncah dada
Saat tak sedetikpun tanpa air mata
Saat lisan tak putus memanggil sebuah Nama
Lalu aku kehilangan asa
Yang dahulu padanya kutautkan renjana
Menepis membuang segala lekat
Menjauh, lalu merapuh ...
Namun bayangan masih terus berkelindan
Setiap kata-kata masih tersimpan
Saat katamu :
"Dirimu serupa bayang-bayang, hanya nampak sebatas pandang"
Lalu kita terdiam ...
Saturday, January 12, 2013
TanpaMU ku tak bisa
Ini detak yang berjuta tanpa kuminta
Berdegup sejak ku belum bisa disebut apa
Lalu denyutnya haturkan alunan rasa
Sejak itu aku jatuh cinta
Darah menjingga dan lalu pekat, di labirin-labirin rahasiaku
Mendayung perjalanan teramat panjang hingga tiba di baitul makmurMU
Lalu kembali mengetuk-ngetuk bilik jantungku
Sampaikan rindu yang jauh hingga ke relung kalbu
Aduhai
Betapa lemahku
Bahkan tiada hela nafas ini jika tanpaMU
Apatah lagi berlari, mengejar cintaMU
Sungguh-sungguh ku tak bisa
Jika tak bersamaMU, sungguh ku tak bisa
ku melihat dengan MataMU
Kumendengar dengan TelingaMU
Kumerasa dengan HatiMU
Bahkan tak kutuliskan ini, melainkan dengan "TuntunanMU"
Ini harap tak berhingga
Berkelindan hingga masa yang entah dimana
Lalu mengkristal di dalam dada
Dan terus bertahta
Tuhan, aku cinta ...
TanpaMU, ku tak bisa
Berdegup sejak ku belum bisa disebut apa
Lalu denyutnya haturkan alunan rasa
Sejak itu aku jatuh cinta
Darah menjingga dan lalu pekat, di labirin-labirin rahasiaku
Mendayung perjalanan teramat panjang hingga tiba di baitul makmurMU
Lalu kembali mengetuk-ngetuk bilik jantungku
Sampaikan rindu yang jauh hingga ke relung kalbu
Aduhai
Betapa lemahku
Bahkan tiada hela nafas ini jika tanpaMU
Apatah lagi berlari, mengejar cintaMU
Sungguh-sungguh ku tak bisa
Jika tak bersamaMU, sungguh ku tak bisa
ku melihat dengan MataMU
Kumendengar dengan TelingaMU
Kumerasa dengan HatiMU
Bahkan tak kutuliskan ini, melainkan dengan "TuntunanMU"
Ini harap tak berhingga
Berkelindan hingga masa yang entah dimana
Lalu mengkristal di dalam dada
Dan terus bertahta
Tuhan, aku cinta ...
TanpaMU, ku tak bisa
Monday, January 7, 2013
Untuk Sekeping Hati
Untuk sekeping hati yang tak lelah mencari
Tak hendakkah sejenak berhenti
Tak hendakkah sejenak berhenti
Mengurai letih mengejar bayang-bayangku di tubir senja
Aku hanya samar bak asap yang hadir sekejap
Aku hanya jejak yang tertinggal dan terlupa
Serupa halimun yang tak terurai di lembah tak bernama
Untuk sekeping hati yang tak letih memberi
Aku hanya jejak yang tertinggal dan terlupa
Serupa halimun yang tak terurai di lembah tak bernama
Untuk sekeping hati yang tak letih memberi
Tak inginkah sejenak menepi
Dari rimba ketak pastian yang rintangi sampanmu
Aku hanya serupa merpati yang patah sayap
Tiada sekelepak cakrawala tempatku bisa kembali mengangkasa
Aku hanya serupa merpati yang patah sayap
Tiada sekelepak cakrawala tempatku bisa kembali mengangkasa
Tuk sekedar memandang matahari terbenam
Atau menyentuh cinta yang kau genggam
Untuk sekeping hati yang tak putus menanti
Tak letihkah jiwamu membangun mimpi
Atau menyentuh cinta yang kau genggam
Untuk sekeping hati yang tak putus menanti
Tak letihkah jiwamu membangun mimpi
Pada seraut wajah yang kau sebut "Syurgaku"
Tak bisakah sejenak kau jeda
Dari asa yang membakar gelora
Tak bisakah sejenak kau jeda
Dari asa yang membakar gelora
Apakah kau akan terus menunggu
Dan membuat awan tersedu dalam kelu
Dan membuat awan tersedu dalam kelu
Membiarkannya berdiri dalam ragu
Diantara langitnya ataukah langitmu
Masih berhargakah jika seribu maaf yang kutadahkan
Diantara langitnya ataukah langitmu
Masih berhargakah jika seribu maaf yang kutadahkan
Atas yang tak bisa kuberikan
Untuk sekeping hati yang merindu
Maafkan aku
Maafkan aku
Note : ilustrasi diambil dari sini
Tuesday, January 1, 2013
Biarlah Cinta
Di saat-saat benak penat oleh oceh dan celoteh
Di masa hati hanya ingin mendengar alunan letih
Subscribe to:
Posts (Atom)
Template by Blogger Perempuan