"Wowww" ....
Hanya itu yang kuucapkan, meski apa yang buncah di dadaku mungkin melebihi letusan Gunung Merapi. Kupandangi sepeda mini yang selalu kuinginkan dan selalu kumohon-mohonkan penuh hiba kepada Mama dan Papa sejak berbulan-bulan yang lalu. Tak kusangka, sesuatu yang ditilam plastik lebar bergambar di kamarku tadi malam adalah sepeda yang kuimpikan.
Dan kini Papa telah berada di sampingku, tepat disisi lenganku yang mencengkeram erat sepedaku. Seakan ia merasakan degup di dadaku, Papa menentramkan hatiku.
"Jangan takut Nak. Pedal sepeda ini ibarat kakimu juga kalo sedang naik sepeda, jadi kayuh saja seperti kamu sedang berjalan. Jangan lihat kemana-mana, cukup perhatikan jalan. Nana pasti langsung bisa, okee ?"
Meski tak membalas dengan 'Okee' yang sama, namun aku mengangguk tegas. Papa sudah sering mengajari teknik mengendali sepeda sejak ia tahu aku sering meminjam sepeda milik Sary tetanggaku meski hanya teorinya saja. Tapi itu membuatku percaya diri saat ini. Semua akan baik-baik saja, yang penting perhatikan jalan dan kayuh terus sepedaku.
Benar saja, setelah berkali-kali oleng dan jatuh, aku merasa sudah semakin menguasai kuda beroda kecilku ini. Itupun karena aku selalu tergoda melihat Papa di belakangku.
"Jangan lihat Papa, lihat jalannya !" Seru Papa kepadaku.
"Iyaaa ..." Teriakku. Dan aku terus semangat mengayuh sepedaku hingga tak kupedulikan luka-luka di kakiku.
Tak sampai jam lima sore, aku berlari ke dalam rumah dan dengan bangga melapor kepada Mama bahwa aku sudah bisa naik sepeda. Mama nampak terkejut, dan menghadiahiku pelukan dan ciuman. Sedang Papa, masih berdiri di pintu pagar, menantiku yang masih akan melanjutkan bersepeda.
"Sudah Pa. Papa bisa tinggal Nana sekarang. Masih takut sih, tapi Nana pasti bisa Pa".
Aku melihat kekhawatiran di wajahnya, tapi tak lama Papa memberiku senyuman.
"Jangan takut Nak, Papa tahu Nana akan baik-baik saja"
Dan akupun terus bersepeda dengan riangnya, menjelajahi setiap gang dengan hati mengangkasa. Kutahu, meski hari telah menyenja Papa terus memperhatikanku, dari pagar rumah ia terus menjagaku.
***
Cermin bundar berdimensi lebar ini nampak berkilauan. Aku tak tahu, apakah ia kemilau karena pantulan sinar permata mahkota di kepalaku ataukah bening mata Papa yang berdiri di pintu kamar memperhatikan sang perias pengantin yang sedang memasang bunga rampai yang menjuntai di bahuku.
Ahh, aku jadi teringat saat-saat aku mengenalkan Irwan untuk pertama kalinya kepada Papa. Papa memandangi Irwan penuh seksama, membuat Irwan nampak salah tingkah dibuatnya. Entah ada percakapan apa diantara dua lelaki yang kucintai itu. Yang pasti, setelah itu Papa semakin lebih peduli kepadaku. Segala tentang Irwan hingga yang paling remeh ditanyakannya kepadaku.
Pernah suatu kali Papa gusar kepadaku, karena pergi bersama Irwan pada suatu event sosial hingga bisa kembali pulang setelah larut malam. Ia tak menanyakan mengapa aku terlambat pulang, Papa hanya berkata :
"Papa tak bisa maafkan diri Papa kalau terjadi apa-apa denganmu di jalan. Jangan buat Papa was-was lagi ya Nak".
Meski tak menjawab dengan kata 'Ya', namun aku mengangguk dengan tegas dan memeluknya untuk sampaikan pesan kepadanya bahwa aku tak kan lagi mengecewakannya. Aku tahu Papa cemaskan keselamatanku dan aku tak ingin membuatnya lebih bersedih lagi setelah kehilangan Mama untuk selamanya.
Perias pengantinku membubuhkan sentuhan terakhirnya pada riasan wajahku, lalu ia berpamitan padaku untuk mengurus hal lainnya di luar kamar. Aku mempersilakannya dan tak lama kulihat Papa memasuki kamar pengantinku nan beraroma sedap malam. Kuperhatikan bola-bola kaca yang membayang di matanya. Hampir-hampir jatuh, namun Papa mendahuluinya dengan kata-kata.
"Putri Papa cantik sekali. Nana mau kemana ya ?"
Ahh, Papa selalu memandangku sebagai gadis kecilnya. Dan aku selalu merasa sangat disayang apabila dia bertanya dengan nada jenaka seperti itu seolah mengajak bicara Nana kecilnya dahulu.
Aku tersipu, kumenghambur kedalam rimbun dekapannya yang seteduh rumpun bambu. Entah mengapa tiba-tiba kutitiskan air mata. Pernikahanku dengan Irwan membawa kami pada suasana haru.
Kutatap mata Papa yang telah menua. Kuusap raut yang masih meninggalkan jejak tampan itu penuh kasih mesra. Ada bening air mata menjalari keriput di sudut pipinya.
"Sudahlah Pa. Jangan sedih. Papa bisa tinggal Nana sekarang. Yaa Nana memang masih takut, tapi Nana pasti bisa menjalani ini semua kan Pa ?"
"Jangan takut Nak, Papa tahu Nana akan baik-baik saja"
Dalam sayup-sayup denting dan alunan kecapi suling, dalam lirih isak tangisku, dalam hangatnya dekapan Papa, kutentram melanjutkan langkah hidupku. Seperti kata Papa, kutahu kupasti akan baik-baik saja.
***
Pesawat terasa terbang begitu lambat. Berkali-kali kuperhatikan jam yang melingkar di lengan kiriku. Tak kupedulikan goncangan-goncangan dalam tubuh peawat yang biasanya selalu berhasil membuatku gemetar. Benakku penuh dengan bayangan Papa, dan hatiku sibuk dengan segala asa.
"Ya Allah, kapan landingnya ? Kuatkan Papaku Rabby"
\Entah karena apa, semua taxi yang berada di bandara terasa sulit sekali diminta untuk mengantar kami ke rumah sakit. Namun entah karena kekuatan apa pula, tepat di Al-Fatihah kali ke empat puluh, taxi yang akhirnya kudapatkan berhenti di muka Rumah Sakit itu.
Secepat yang kubisa kuberlari mencari Papa diantara keramaian yang ada. Semua sibuk dengan urusannya. Irwan suamiku hanya bisa meminta tolong seorang operator yang terjangkau dihadapan mata untuk mencarikan ruangan tempat Papaku dirawat.
Operator itu menunjuk ke arah tempat petugas rekam medik untuk kami menanyakan keberadaan Papa.
"Pasien atas nama Tuan Bramantoro ?" tak berapa lama sang petugas rekam medik menyebut sebuah nama dengan nada bertanya kepada Irwan. Aku terkesiap, itu nama papa !
"I.. Iya betul, itu nama Papaku" aku menjawab dengan hati gemuruh. Kurasakan keringat dingin mulai menjalari kening. Namun Irwan menuntunku perlahan menuju ruangan yang ditunjukkan sang petugas.
Perjalanan berjam-jam Jerman - Indonesia tak terasa apa-apa saat Irwan membuka sebuah pintu dan lalu kumemasuki ruangan yang hening itu. Tiada suara kecuali bunyi teratur alat pemindai jantung di sisi ranjang tempat Papa berbaring.
Setengah berlari, aku memburu menggenggam kepal tangan lelaki tua yang teramat kurindukan ini. Baru satu bulan kami berpisah dari enam bulan yang direncanakan, karena aku harus mendampingi Irwan dalam sebuah acara dinas di negeri Hitler itu dari perusahan tempatnya bekerja. Baru kemarin malam aku mendapat kabar bahwa Papaku anfal di ruang baca tempatnya selalu mengerjakan hobinya.
"Papa, ini Nana Pa"
Lirih aku menyapa Papa yang nafasnya nampak berat dibantu alat seperti pompa. Aku takut mengganggunya, tapi aku ingin segera ia tahu bahwa aku ada di dekatnya. Memang Papa sudah 10 tahun menyandang penyakit jantung, dan belakangan ini penyakit itu semakin kerap menyapa meski untuk beberapa jenak saja.
Diantara masker bening yang menutupi hidung dan mulutnya Papa mengarahkan wajahnya kepadaku. Seketika itu aku melihat sayu dan iba menguasai kedua bola matanya. Kucoba tabahkan hati, kuberusaha sekuat mungkin menjaga nada suaraku agar tak terdengar sedang berduka.
"Pa, Nana pulang untuk Papa"
Kubisikkan kata-kata untuk membuatnya bahagia, namun Papa nampak semakin lemah. Kedua bibirnya bergerak, namun aku tak dapat mendengar apa-apa. Jemariku semakin erat menggenggamnya, dan hatiku semakin kalut manakala Irwan berbisik di telinga.
"Tuntun Papa berdzikir sayang"
Aku terperanjat, namun tak aku tampakkan. Aku hanya sibuk menenangkan debur yang gemuruh di dadaku sendiri. Aku merasa, akulah yang harus dituntun untuk berdzikir. Disini, akulah yang membutuhkan tangan Papa untuk mengusir semua risau ini.
Dalam derap kalbu yang bertalu-talu, seiring suara alat penunjang nafas yang bekerja, kuulurkan jemariku kepadanya. Kuusap sayang rambut Papa yang penuh dengan uban. Kutatap kearah palung matanya yang dalam. Aku merasa Papa ingin berbicara. Ya, Papa pasti ingin bertanya apakah aku dan kandunganku sehat-sehat saja setelah melalui perjalanan udara Jerman - Indonesia. Papa pasti ingin bertanya apakah Irwan selalu menjagaku seperti Papa selalu menjagaku dengan sepenuh perhatiannya. Papa pasti ingin bertanya apakah jenis kelamin anakku nantinya. Papa pasti ingin bertanya apakah aku baik-baik saja. Papa pasti ingin berkata, bahwa Papa menyayangi kami semua.
Papa berusaha menghirup nafasnya dalam-dalam namun hal itu nampak teramat berat untuknya.Bahkan alat bantu nafaspun nampak tak berguna. Aku tak kuasa mengetahui ini semua.Terbata-bata kututurkan kata:
"Sudah Pa. Jangan khawatirkan Nana. Papa bisa tinggal Nana sekarang. Nana takut, tapi Nana pasti bisa menjalani semua bersama Irwan dan anak Nana Pa. Nana sudah ikhlas. Papa jangan berat lagi meninggalkan Nana ya Pa. Nana sayang Papa. Nana sangat sayang Papa."
"Sudah Pa. Jangan khawatirkan Nana. Papa bisa tinggal Nana sekarang. Nana takut, tapi Nana pasti bisa menjalani semua bersama Irwan dan anak Nana Pa. Nana sudah ikhlas. Papa jangan berat lagi meninggalkan Nana ya Pa. Nana sayang Papa. Nana sangat sayang Papa."
Runtuh semua kekuatanku bersama hancurnya benteng yang menahan derai air mataku. Aku tak inginkan perpisahan, tapi aku tak ingin Papa menderita. Aku meminta kepada Tuhan kesembuhan Papa, tapi aku juga akan menerima jika Tuhan lebih menginginkannya.
Aku melihat kekhawatiran di wajah Papa. Namun Papa seperti memberikanku senyuman terindahnya. Dan seolah kudengar Papa berkata :
"Jangan takut Nak. Papa tahu Nana akan baik-baik saja"
Berdesauan angin bulan Desember, seiring gemeletuk hatiku di sudut ruang.
Aaak...pagi2 bikin aku mewek. Bagus ceritanya, mba
ReplyDeleteCup cup ...*Nyodorin tissue*
DeleteThanks ya mbk Dwina sempatkan berkunjung kesini :)
dingin,,,dingin gini ceritanya sedih
ReplyDeleteTak bikinin capuchino hangat ya mbak Lidya :)
DeleteSini Emakmu mau juga secangkir ya, biar bacanya makin asyik. Terima kasih untuk untaian kata-katanya yang indah.
Deletehahai, Emak tak boleh minum cappuchino, teh melati hangat aja yo Mak ^_^
Deletekisah manis yang mengharukan :)
ReplyDeleteTeh winny....kerenn pisan tulisannya. Smp trbawa emosi naik turun membaca kalimat2nya yg dikemas sangat awesome. Sukses ya teh ♡♡♡
ReplyDelete