Tiada yang mampu mengusik tadzakurnya, sampai suara berat seseorang membangunkan khusyuknya. Suara seorang pria di sudut timur dari tempat ia duduk. Pada mulanya hanya serupa gumam namun rupanya itu suara seseorang sedang menyampaikan taujihnya pada sekelompok jama'ah. Yasmin menggeser posisi duduknya mendekat pada dinding pilar. Ditutupnya kitab al-qur'an kecil yang selalu dibawanya kemana ia pergi. Mengasah pendengarannya, mencoba menangkap apa yang sedang disampaikan. Adalah hal teramat berharga bagi wanita bermata bak purnama ini mendapat cucuran ilmu di negeri para nabi, meski harus ia jala diam-diam.
Semakin lama semakin dalam, Yasmin merasa dibawa pada negeri tak bernama. Hatinya bagai disentuh salju yang meluruhkan bening air matanya. Meruntuhkan seluruh sudut kesombongan yang ia sebut ketegaran. Sungguh, seakan sebuah anak panah telah dilesatkan dari sebelah timur tempatnya berdiam, tepat di hatinya terdalam.
Tutur kata sang pembicara ini sederhana saja, tiada api tuduhan yang mengiringi nasehat-nasehatnya, tiada bahasa tubuh berlebihan, hanya suaranya yang agam berwibawa, dan tenang saja. Namun tiada dari segenap jama'ahnya yang tak menitiskan air matanya. Inikah thausiyah dari seorang dengan qaulan tsaqiela ?. Kata-kata yang kokoh, menghujam ke dalam dada. Yasmin terpekur di sudut pelataran mengusap air matanya yang terus berjatuhan.
Hingga selesai majelis itu dalam kedamaian, Yasmin pun bangkit memperbaiki tudung dan balutan gamisnya yang berwarna hijau cytrus. Disentuhnya tangan Umi Kultsum yang sedari tadi mendampinginya shalat di tempat itu. Umu Kultsum adalah istri pamannya yang mengasuhnya sejak Yasmin kecil saat ia kehilangan sang ibunda untuk selamanya. Di pesantren milik ayahandanya Yasmin dibesarkan dalam asuhan bibinya yang mencintainya sepenuh hati ini.
"Umi, sudah selesai ?"
Ummu Kultsum tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Yasmin membantu wanita separuh baya itu bangkit dari duduknya dan membantunya merapihkan mukena yang dikenakannya.
"Hmm, Umi harus minum sari kurma lagi nanti ya, biar kuat. Tuh mata Umi sudah sayu, ke hotel yuk, Umi harus istirahat, biar segar nanti waktunya shalat maghrib".
Mimik wajah Yasmin ternampak sendu, sungguh-sungguh hatinya masygul dengan kesehatan sang bibi yang sudah bagai ibu kandungnya sendiri ini. Sang umi hanya tersenyum dan selalu menyetujui semua kehendak kemenakannya paling cantik dan dicintainya.Pelan-pelan ia bangkit, tubuhnya yang agak gemuk dan penyakit asam uratnya membuatnya kesulitan bangun dari duduknya.
Hingga tiba dibawah pepayungan modern elektronis megah yang tersebar di seluruh pelataran masjid pertama yang dibangun Nabi itu, langkah mereka terhenti, saat Yasmin mendengar suara seseorang memanggil. Suara yang dikenalinya sesaat yang lalu, suara berwibawa itu, namun dalam nada yang lembut, menyapa Ummu Kultsum penuh takdzim.
"Ustadzah ..."
Keduanya, Umi dan Yasmin menolehkan kepalanya ke sumber suara. Dan seketika keduanya hening sejenak dalam takjub. Bukankah itu Rizal ? Muhammad Rizal Bahri. Santri di pesantren Al-Kautsar Sumatra Barat dahulu ? Tempat ia belajar dan berguru, di pesantrian yang dikelilingi hijau pegunungan berbatasan dengan sebagian belahan tepian danau Maninjau nan permai. Dan Yasmin lebih terpukau lagi, orang ini yang telah membuatnya berderai-berderai air mata tadi. Orang yang memberikan taujih yang menggugah hati tadi adalah Rizal.
Ummu Kultsum menyahut lelaki gagah di hadapannya dalam parau suaranya :
"Ya Nak ? Kau memanggil kami ?"
Mata ummi yang sepuh, tak terlalu jelas menangkap gambaran pria itu. Namun lelaki itu segera mendekat dalam jarak yang sedang, mengatupkan kedua telapak tangan di dada dan merunduk santun :
"Saya Rizal, Ustadzah. Santri di Al-Kautsar angkatan ke X. Dulu saya membantu Ustadz Arifin di pondok jika ada muhadlarah"
Ummu Kultsum tercenung, mencoba mengingat yang disampaikan orang dihadapannya. Ustadz Arifin adalah suaminya yang telah lama wafat. Tentu ia akan mengingat siapapun yang pernah dekat dengan beliau. Hingga dalam beberapa jeda, akhirnya Ummu Kultsum tersenyum, rautnya menampakkan riang karena telah berhasil menangkap bayangan masa lalu.
Yasmin terpana sekian detik. Sementara Rizal dan Ummi saling menjalin ingatan. Kenangannya sendiri melesat bagai kilat pada masa dua puluh tahun yang lalu. Saat usianya menginjak remaja sebagai bunga baru mekar dari kuncupnya di pesantren itu. Dan Rizal satu-satunya santri yang selalu membuat hatinya berdegup kencang dan lututnya tiba-tiba lemas setiap kali mereka berpapasan dan bertemu pandang.
Masih diingatnya kala itu, masa-masa dimana langit Al-Kautsar selalu ternampak teduh dan kebun-kebun Sawit milik pesantren menjadi serupa taman mawar penuh kupu-kupu bagi Yasmin apabila sekali saja mendapati tatapan Rizal memanah hatinya disaat ia melintasi sekumpulan santri saat hendak pergi atau pulang dari asrama putri. Sering Yasmin hanya bisa tertunduk saja, mendekap buku-bukunya erat dengan rasa tak tentu, tak sanggup membalas tatapan dan senyuman pemuda paling tampan dan cerdas di seluruh jagat pesantren itu.
Dan begitupun yang terjadi pada Rizal. Santri yang santun berayahkan seorang ulama di daerahnya dengan prestasi tertinggi. Tak pernah menodai masa remajanya dengan menggoda atau bertindak usil kepada para gadis remaja ataupun santriwati-santriwati di pesantriannya. Namun tak pelak, kehadiran Yasmin yang bak putri malu itu sempat menggetarkan hatinya. Membuat dinding-dinding di kamarnya menjadi penuh dengan senyuman gadis itu. Hanya beberapa kali berpapasan dan itupun hanya dalam hitungan detik, namun kenangannya selalu tertinggal berminggu-minggu. Rizal mengerti, namun tawadhu'dan rasa malu menahannya dari memimpikan Yasmin melampaui kesanggupannya. Ditepisnya, walau sering ia gagal untuk benar-benar memusnahkannya. Hingga akhirnya ia biarkan saja, bayangan Yasmin menjadi bayangan yang berkelindan dalam hari-harinya.
Namun saat-saat indah itu tak berlangsung lama. Pagelaran santriwan dan santriwati tingkat akhir pada malam perpisahan yang megah itu tak mampu menutup kesedihan Yasmin. Di bangku yang tersembunyi, ia tak seriang teman-teman putri lainnya. Dalam diam, ia memandang sosok yang selalu menggetarkan kalbunya itu. Rizal tengah mengucapkan kata-kata perpisahan dan pesan-pesan untuk adik kelasnya sebagai perwakilan dari seluruh santri tingkat akhir yang akan segera meninggalkan kampus pesantren Al-Kautsar tempat mereka mereguk ilmu selama bertahun-tahun. Ada sunyi yang berpautan, ada cinta yang kan hilang.
*****
Tiga belas bulan kemudian, tiba-tiba Yasmin dikejutkan oleh sebuah surat bercap pos dari Kairo, surat dari seseorang dari negeri seribu menara, negeri piramida Mesir. Surat dari Rizal !. Gemetar jemari gadis itu membuka amplopnya. Perlahan-lahan dibacanya setiap aksara yang berbaris teramat rapih dalam tinta hitam di atas permukaan kertas yang bersih, sesudah deretan tanggal, bulan dan tahun disaat surat itu mulai digoreskan.
"Assalamu'alaikum warahmatullah wabaraakatuh.
Salam santun dari saya, Rizal Samsul Bahri.
Saya berharap adik Yasmin masih mengingat saya.
Mohon dimaafkan jika adik tak berkenan dengan kehadiran surat ini, saya hanya ingin memohon maaf karena tak sempat berpamit kepada adik saat acara perpisahan angkatan ke-X di pondok dulu.
Sungguh-sungguh saya ingin melakukannya tapi tak sempat lagi, dan baru sekarang saya berani mengucapkannya. Semoga tak berkurang kemakluman, dan hanya maaf adik yang saya harapkan.
Terima kasih sebelumnya.
Al-Azhar, Kairo
Ttd : Rizal
Dalam
hening malam, Yasmin tercenung. Rizal mengirim surat dari negeri yang
jauh dan perpisahan yang cukup lama hanya untuk meminta maaf ?. Maaf
untuk apa ? Sedang diantara mereka tak pernah ada komitmen
apa-apa.Yasmin tak menduga, ia mengira ia sudah dilupakan. Namun tiada
yang tahu, tidak kawan sekamarnya, tidak pula kembang melati yang
mengintip di jendela , bahkan tidak juga sepasang cicak di dinding
kamarnya, bahwa surat ini membuatnya kini bagai melambung ke atas awan,
membawanya berselancar diatas pelangi seribu warna, menggetarkan setiap
dawai yang terbentang didalam sukmanya.
Sejak
itu, ikatan maya seakan terjalin begitu saja. Rizal tak pernah lagi
berkirim surat kepadanya, namun foto-fotonya saat kenaikan tingkat, atau
saat mengunjungi negeri-negeri penuh sejarah di jazirah itu, atau
bahkan saat wisudanya selalu ia kirimkan dan alamatkan kepada ayahanda
dan fihak pesantren. Setiap kiriman foto-foto itu datang, meski tak
dilamatkan khusus untuknya, seakan ada kuncup-kuncup baru yang
bermekaran dalam dada gadis itu. Entah apa namanya, Yasmin tak berani memaknainya, namun ia selalu menyimpan asa dan do'a di laci hatinya nan terjaga, bahwa akan datang suatu masa, dimana ia akan menjadi bidadari didalam syurga tempat Rizal berada.
*****
Yasmin tersenyum, mencoba bersikap wajar dihadapan Rizal. Ia menganggukkan kepalanya kepada Rizal. Santun dan adab telah menuntunnya untuk tak terlalu lama menatap mata dengan sinar nan teduh itu. Ia hanya melipur hatinya yang berdetak kencang dengan memandangi Uminya membicarakan masa lalu para santri seangkatan Rizal dengan segala romantikanya dan Yasmin sesekali tersenyum kepada Rizal apabila perbincangan menjadi semakin jenaka.
Bagaimanapun kebahagiaan akan pertemuan di kota Madinah ini tak boleh dibiarkan berkembang.Takdir seringkali enggan mengikuti kata hati, betapapun rasa yang pernah mereka miliki dahulu, sempat tak membawa mereka berjodoh di masa selanjutnya. Dari berita keluarganya Yasmin mengetahui, Rizal menikah dengan seorang wanita yang masih ada pertalian saudara dengannya, dari kalangan keluarga ulama di kota Padang. Sedang Yasmin sendiri berjodoh dengan seorang ustadz di pesantren Al-Kautsar, asisten kepercayaan ayahandanya, meski pernikahan itu hanya berusia singkat saja. Pada tahun ke-sepuluh pernikahan, sang suami wafat meninggalkannya beserta ketiga putra putrinya.
Sejak itu, dalam takdzim baktinya kepada keluarga dan pesantrennya, Yasmin mencoba membuang setiap serpihan kenangannya bersama Rizal. Tak dihiraukannya setiap tetes air mata yang tak sanggup ia tahan setiap malamnya selama bertahun-tahun apabila kenangan itu datang. Yasmin merasa, cinta yang sering orang dan kitab-kitab perbincangkan hanyalah kisah pengantar tidur dan dongengan belaka, yang akan ia temukan itu hanya pada riwayat Qaish dan Laila saja. Perempuan bermata bulan itu terus menyulam pengabdian. Cinta baginya adalah sebening-beningnya ketulusan. Selalu ia bisikkan dalam rintik air mata dalam sujud malamnya:
"Terserah padamu ya Allah, hatiku hanya satu, sudah untukMU".
Tak ada yang mengerti keadaan hatinya, kecuali Ummu Kultsum sang bibi, yang tak putus-putusnya merentang jalinan menembus langit, melalui do'a-do'a rahasianya, melalui asa-asa kecilnya, berharap kebahagiaan untuk Yasmin.
*****
Telah tiga hari sejak pertemuan mengesankan itu, dan masih dua hari lagi menjelang kepulangan ke tanah air. Yasmin akan mengakhiri perjalanan ibadahnya dengan umrah di masjidil haram. Ia masih menata pakaiannya dan Ummi kedalam satu koper, sedang pakaian dan keperluan kakak laki-lakinya yang mengantar perjalanan umrah ini ke koper yang lain, ketika Ummu Kultsum memanggilnya. Yasmin menghampiri wanita sepuh itu sambil menyodorkan setangkup roti dan secangkir teh hangat.
"Ya Ummi, ada apa ?"
"Kemari nak, duduk dekat Umi"
perempuan sepuh yang dikasihinya itu menggapai tangan Yasmin yang teramat lembut, tak pernah sekalipun disakitinya selama bertahun-tahun ia mengasuhnya.
"Ya Ummi"
mata Yasmin mengerjap indah menatap wajah sang Ummi penuh tanda tanya.
Ummu Kultsum menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan, seperti ada sesuatu yang besar yang ingin disampaikan, dan sungguh ini membuat hati Yasmin tak nyaman.Yasmin menunggu detik-detik itu, memperhatikan bibir Umi bergerak untuk menyampaikan sesuatu.
"Nak, kemarin Rizal menemui Ummi di Rhaudah. Ada sedikit perbincangan kami. Dia ingin menyampaikan maafnya kepadamu melalui Ummi."
Yasmin tertegun. Rizal ? Maaf ? Lagi ? Ketiga kata itu bermain-main di benaknya. Ia teringat pada surat pertama Rizal dahulu untuknya dan satu-satunya, juga tentang permintaan maafnya. Ah, Yasmin tak mengerti.
"Maksud Ummi ? Kenapa diaaa ... mm... meminta maaf padaku, Ummi ?"
Ummi menatap kemenakan cantiknya lekat, diperhatikannya kedua bola mata itu, ia merasa ada resah didalamnya.
"Rizal menceritakan kisah hidupnya Yas. Dulu sekali, dia pernah berharap menikahimu. Tapi lalu keluarganya memintanya menikah dengan orang lain, dan dia merasa dia sudah menyakitimu. Selama ini ia mencarimu, dan telah tahu kamu sekarang telah sendiri nak"
Ummi mencba menjelaskan dengan hati-hati. Namun Yasmin dengan segera menggelengkan kepalanya.
"Nggak Ummi, nggak ada Kak Rizal menyakitiku. Kami tak pernah membicarakan apa-apa. Dan itu sudah sangat lama. Kenapa Kak Rizal berkata seperti itu kepada Ummi ?"
"Entahlah. Dia hanya meminta izin untuk menemuimu ditemani Ummi nanti sehabis ashar di masjid Haram. Ummi harap kamu mau menemuinya ya nak ?"
Ummi memohon dengan lembut, ia berharap di sisa usianya ini ia bisa menolong kemenakannya ini menemukan kebahagiaannya. Namun Yasmin tertunduk sendu, matanya sayu. Hatinya mengkhawatirkan sesuatu :
"Ya Allah, apakah rencanaMU ? aku takut dengan taqdirku. Lembutkanlah ya Rabb."
Yasmin meragu, namun ia menghargai permintaan Rizal melalui Umminya. Lelaki itu bisa saja menyampaikan maksudnya melalui media apa saja. Bukankah Rizal seorang terkemuka di perusahaan salah satu provider ternama di Indonesia. Tetapi lelaki itu menghormatinya, lebih memilih menemuinya langsung untuk menyampaikan maksudnya. Maksud yang Yasmin harapkan dalam seluruh dugaan dan harapnya. Yasmin terus membisiki hatinya yang ramai dengan debur kecemasan. Masih ia ingat do'anya semasa gadis dahulu untuknya dan Rizal :
"Ya Allah, jadikanlah aku bidadari syurganya"
******
Rizal menatap Yasmin dalam balutan busana dan tudung berwarna biru lembut, bersama Ummu Kultsum wanita jelita dan anggun itu mendekat pada tempatnya menunggu disisi sebelah barat Ka'bah. Hampir-hampir ia tak percaya, inilah perempuan yang pernah ia rindukan dahulu dan disisa usianya kini. Rizal berdiri menentang arah pesona itu, dalam getar yang pernah dahulu ia rasakan. Berpuluh tahun tak bersua, tak diduganya rasa itu masihlah sama. Perempuan shalihat pertama yang telah mencuri hatinya dan dirindukannya berwindu-windu.
Dalam desau angin yang mengalun udara masjidil Haram, Rizal menyapa dalam getar :
"Assalamu'alaikum Dik"
"Alaikumsalam warahmah Kak Rizal"
Rizal mencoba menata hati dan sikapnya, dan bertutur "
"Apa kabar ?"
"Baik Kak, alhamdulillah. Kakak sendiri bagaimana ?"
"Alhamdulillah, saya dalam nikmat sehat. Mmm dua hari lagi pulang ke Jakarta ya dik ?"
"Iya Kak, insya Allah"
Waktu berjalan terasa sangat lambat seperti siput, namun jingga yang semburat di cakrawala dan teduh hari itu menghadirkan indah di hati Yasmin dan Rizal. Dalam tunduk, bibir Rizal bertutur :
"Hari ini sudah lama kunantikan Dik. Bahkan saya sudah menunggunya saat kita masih di pondok pesantren dahulu" Ujar Rizal sedikit tertawa.
Yasmin melirik ke arah Rizal sejenak dengan kerut di alisnya dan senyum keheranan. Namun Rizal melanjutkan ucapannya.
"Dalam usia saya ini dik, saya memohon kepada Allah, semoga DIA berkenan memperjalankan kehidupan ini menuju syurgaNYA. Tapi untuk sampai kesana baru kujalankan setengah Dien-ku, karena kakak tak berumah tangga. itu sebabnya sayapku hanya satu. Maukah adik menjadi sayapku yang lainnya ? agar bisa sampai kita ke SyurgaNYA bersama-sama ? Jika adik berkenan, maukah adik menjadi istriku, bidadari syurgaku ?
Hanya desau angin, hanya redup cahaya di angkasa raya. Dibawah naungan ka'bah dan langit senja Makkah al-Mukaramah, tiada kata yang terucap dari bibir Yasmin, hanya tetesan air mata.
Indah kisahnyoo...tertata apik
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkenan membaca cerpenku ya mbak Astin 🙏
Delete