Mata sayu Naura memandang ujung sajadahnya. Ujung sajadah yang selalu terlipat karena dipermainkan Alya bidadari kecilnya di setiap ia bermunajat. Tak seperti biasa, wanita berparas tirus itu hanya memandangi ujung sajadahnya saja, tak segera dirapikannya. Sedang bibir tipisnya masih basah melafadzkan wirid-wirid, dan jemarinya membelai usap rerambut tipis yang menutupi mata putrinya yang sabit. Mata yang mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang dicintainya, yang telah meninggalkan mereka berdua tujuh tahun yang lalu.
Kenangan Naura melayang pada masa itu, dimana Faishal memandangnya lekat dalam senyumnya yang paling indah yang pernah Naura lihat. Naura tersipu ditatap seperti itu.
"Apa yang Uda lihat ? pandangi adik seseram itu"
Faishal pura-pura terkejut, matanya terbeliak
"Ah, sungguh seramkah mata Uda ? Atau adik yang terlalu cantik dalam kerudung warna hijau itu hingga mata menyeramkan dibuatnya ?"
Naura menjulurkan lidahnya kepada suaminya, meski hatinya riang bukan kepalang. Faishal memang senang menggoda istrinya, tak puas sepertinya jika belum bisa membuat perasaan istrinya terbuai melayang-layang.
Naura menggelayuti lengan Faishal manja sambil berbisik,
"Uda, jangan pernah telat balas sms lagi ya. Kalau nggak ..." Naura menahan kata-katanya, membuat Faishal penasaran.
"Kalau nggak kenapa ?" tanya Faishal sambil tangannya yang lain mengusap-usap lembut pundak istrinya.
"Kalau nggak, kapan Uda pulang, adik tak mau buatkan gulai ikan kakap buat Uda lagi"
Faishal mengangkat alisnya tinggi-tinggi,
"Ampuuunnn, jangan sampai Uda tak dibuatkan gulai ikan kakap . Uda bisa sakau nanti".
Faishal mengatupkan kedua telapak tangannya pada mukanya. Meski Naura tahu Faishal hanya berpura-pura, tapi seluruh goda dan candaannya adalah limpahan cinta yang paling memanjakan dan dirindukannya, bahkan hingga kini. Saat kenangan itu meruntuhkan hatinya, bersama air mata di pipinya yang pualam.
Di pintu rumah mereka, tujuh tahun yang lalu itu, Naura meraih telapak tangan suaminya, dilekatkan pada dahinya untuk menghormatinya, lalu dikecupnya sebagai tanda cintanya. Sebagai biasanya mengantar kekasihnya berangkat bekerja, Naura bisikkan kata-kata :
"Uda hati-hati ya"
Naura percaya, kata-kata itu azimat berharga bagi semangat Faishal menjemput rezeky mereka. Untuk itu ia tak pernah tak mengucapkannya apabila Faishal pergi meninggalkannya.
Faishal mengecup dahi Naura penuh kasih dan tangannya mengusap perut istrinya yang telah membuncit dan bisiknya :
"Adik juga hati-hati ya, jaga anak kita"
Naura memandang punggung suaminya hingga ia tak bisa lagi melihatnya. Tak bisa hingga untuk selama-lamanya. Faishal telah mendahului menemui Rabbnya dalam keadaan ia tak menemaninya. Sebuah peristiwa bersimbah darah telah merenggut Faishal dari cinta dan bahkan kehidupannya. Meninggalkan Naura bersama buah cinta mereka dalam rahimnya.
Naura terisak tak dapat menahan gejolak di dadanya. Betapapun ia telah memasang kokoh pertahanan, benteng itu terkadang rubuh oleh deras kerinduan. Bagaimana ia bisa melupakan, sedang mata dan senyum Faishal terpatri dalam wajah Alya, putri kecil mereka. Sedang surat-surat cintanya masih tersimpan bukan saja di laci lemarinya, namun juga dalam palung hatinya terdalam. Bagaimana ia bisa mengabaikan, sedang cintanya kepada Faishal disematkan Tuhan dalam panjang penantiannya.
Tiba-tiba jari jemari dari tangan yang mungil mengusap-usap pipinya yang basah.
"Mama, jangan nangis"
Sepasang mata kejora menatap Naura dalam-dalam, ditelitinya dengan seksama. Alya selalu merasa kesunyian apabila ibunya sedang tersedu. Dan Naura mengerti itu, diraihnya tubuh mungil itu kedalam dekapan. Dan dalam curah kecupan, hati Naura berbisik :
"Anak yatimku"
Namun bibirnya berujar lain :
"Iya Mama menangis karena Mama habis berdo'a untuk Alya, berdo'a untuk Papa berdo'a untuk kita semua. Mama sayang Alya karena Allah"
Alya tercenung, gadis enam tahun itu lalu menolehkan wajahnya. Ditatapnya paras cantik ibunda dalam balutan mukena. Lalu ia berkata :
"Mama, Alya juga sayang Mama karena Allah. Dulu Papa juga sayang kita karena Allah ya Ma ?. Kata pak Ustadz, kalau kita di dunia saling menyayangi karena Allah, nanti di syurga kita bisa ketemu lagi, bisa pelukan lagi. Betulkan Ma ?"
Hati Naura tercekat, tak kuasa membendung air matanya. Ia menganggukkan kepala, kesedihan dan keharuan menggelayut didalam sukma. Namun ia sepakat, bahwa Allah telah menjadi alasan
hidup dan cintanya. Bahwa kepergian seseorang yang dicintai bukan berarti perpisahannya. Karena semua disadarinya berada dalam liput kehidupan yang dirancang Penciptanya.
Pertemuan dan perpisahan adalah sama karuniaNYA. Dan tiada insan yang berdaya atasnya melainkan karena KuasaNYA. Maka, sesungguhnya kita tak pernah kehilangan apa-apa.
Naura berbisik dalam sujudnya :
"Allahu, Aku menitipkan cerita pada jarak diantara aku dan dia, cerita yang tak selalu dapat dijalani bersama. Tetapi dia tahu, ini semua tentangnya. Aku menitipkan rindu pada keterpisahan yang terkadang terasa pilu. Rindu yang mengalir deras dan bermuara kepadanya. Rabb, Kini hanya pada waktu aku menitipkan cinta. Cinta yang kuharap bisa selalu ia rasakan, hingga tiba kelak saat kami dapat bersama. Dan kutitipkan cintaku ini kepadaMU, dengan segenap ikhlas yang KAU titiskan kepadaku, sampaikan kepadanya Tuhan, aku mencintainya karenaMU"
Dalam kelam, Naura merasakan do'a-do'a itu berkelindan, dijemput angin malam kepada Tuhan, dibawah senyum temaram sang rembulan.

Foto dipinjam dari The Blaine Franger Photography Blog
Bagus, Mbak
ReplyDeletemengatakan enak bneer neh postingan ....
ReplyDeletesuka suka suka
Sedih tapi penuh semangat :)
ReplyDeleteMbak..., terharu aku membacanya.
ReplyDeleteJangan sering2 nulis yang sedih deh mbak... bikin aku mewek aja nih...
*elap mata*