Angin laut masih berdesir, membelai-belai
dedaunan pohon-pohon kelapa di pesisir laut Jawa, ombak-ombak kecil dan
besar bergulung-gulung menghempas batu-batu karang, dan Yasmin pun masih
berdiri disana, diatas kelembutan pasirnya. Kerudung putihnya
melambai-lambai dipermainkan angin, sesekali diperbaikinya tutup
kepalanya itu jika telah mengganggu pandangannya yang jauh ke tengah
laut.
Seakan-akan, nampak jauh disana
peristiwa dua tahun yang lalu, saat-saat di mana peristiwa itu telah
meninggalkan bekas di hatinya. Peristiwa yang tak pernah masuk di dalam
barisan do’a-do’anya dahulu,namun ternyata hati yang “besar” akan
sanggup menampung seberapapun kenyataan hidup,seperti yang dialaminya……
Yasmin… Mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jakarta,
berasal dari Aceh. Tinggal merantau jauh dari orang tua, namun mampu
menjaga kehormatan dirinya, wanita muda yang anggun dan
sederhana,berkhidmat pada pesan kedua orang tuanya untuk
bersungguh-sungguh menuntut ilmu di “kampung” orang. Menyewa sebuah
kamar kost sederhana bersama kawan perempuannya satu fakultas Dista.
Pertemanan mereka berkembang menjadi
persahabatan. Satu sama lain saling membantu, saling menolong, walau
terkadang adakalanya terjadi perbedaan pendapat, namun hal itu tidaklah
mengganggu persahabatan mereka.
Pagi
itu seperti biasa, Yasmin telah berada di kampusnya untuk mengikuti
perkuliahan pagi dari dosennya. Tiba-tiba,dari arah belakang seseorang
menepuk pundaknya,”Dista..?”.
Dista tersenyum sambil membetulkan tali tas punggungnya. Yasmin memperhatikan sesuatu yang berbeda;
”Dista….., kamu lagi seneng ya pagi ini?”.Tapi Dista hanya mengacungkan telunjuknya menempel di bibirnya:” Ssssttt…..”.
Yasmin
mengangkat alisnya, namun dia membiarkan Dista dengan misteri
nya.Merekapun melangkah ke dalam kelas untuk mengikuti perkuliahan.
Dua jam berlalu tanpa kesan apapun,
mahasiswa keluar dari ruangan perkuliahan satu persatu. Yasmin dan Dita
pun berjalan beriringan, hanya sesekali,sesekali yang nampak seringkali
bagi Yasmin, Dista memeriksa pesawat Handphone-nya, atau mengetik
sesuatu melalui smsnya. Kampus yang ramai, namun sepi bagi Yasmin karena
sejak tadi Dista seolah-olah sendirian, sibuk dengan HP-nya, walau
bersama Yasmin di sampingnya.
Seolah-olah dikomando, tanpa perjanjian
langkah kaki kedua gadis itu mengarah ke arah bangku taman di dekat
kolam, tempat favorit keduanya saat menunggu jam kuliah berikutnya.
Begitu keduanya duduk di bangku itu, Dista sudah akan memeriksa lagi pesawat HP-nya,namun sebelum jarinya menyentuh keypad,
Yasmin menahan tangan Dista lembut dan tersenyum sambil berkata :
”Halloo….apakah Dista masih disitu?”. Dista menolehkan wajahnya dan
melihat Yasmin dengan wajah penuh tanda tanyanya . Dista tertawa
:”Hihihi….penasaran nih yee”. Tapi Yasmin tetap menahan tangannya di
lengan Dista. Dista berkata:” OK…OK, aku lupa punya one curious girl
di kampus ini hehe.Tapi janji yaa, ini cuman di antara kita aja”. Dista
lalu bercerita dengan suara perlahan seolah-olah tak ingin diketahui
rahasianya oleh orang banyak .
Malam itu, Yasmin di kamarnya sendiri duduk
di atas meja mengerjakan beberapa tugas dari dosennya. Dista sudah 3
hari cuti pulang sementara ke tempat asalnya di Yogya. Jarum jam sudah
menunjukkan angka 11, namun mata Yasmin tak hendak beristirahat.
Dibiarkannya waktu berjalan yang terasa lambat, dicobanya untuk
menikmati sayatan-sayatan kecil di hatinya yang masih agak terasa perih.
Dikenangnya lagi pembicaraannya dengan Dista di kampus beberapa hari
yang lalu tentang rahasia kecilnya. Tentang seorang pemuda, satu kampus
dengan mereka, yang menjadi asisten dosen mereka selama ini dan juga
ketua Rohis di kampus, yang Yasmin “kagumi”selama 1,5 tahun ini namun ia
simpan itu sekedar sebagai sebuah semangat saja. Pemuda itu, di
saat-saat Yasmin bersimpati dan menaruh sekuncup harapan, ternyata telah
melabuhkan harapannya sendiri terlebih dahulu kepada sahabatnya Dista.
Ya, Syam - yang Yasmin kagumi kepintarannya, keshalehannya,- yang Yasmin
“melihat’ dari kejauhan kerinduannya akan gambaran-gambaran tentang
rumah tangga yang sakinah, mawadah warahmah akan lebih berseri
seandainya jika perahu itu didayungi bersama Syam, pemuda yang
seringkali pula membantunya dalam beberapa event
di kampus yang karenanya sempat pula Yasmin mensyukuri kebersamaan itu,
pemuda yang ternyata kini telah memilih Dista untuk menjadi pendamping
hidupnya.
------
Berita “gembira” itu, dikabarkan Dista
dengan tenang, namun terasa bagai halilintar di telinga Yasmin."Dia
melamarku tadi malam Yasmin." Berdetak kencang hati Yasmin, mengapa ia
harus mendengar "Happy Ending" ini, mengapa ia tidak sensitif selama ini
jika Dista sering menceritakan Syam kepadanya di kamar mereka,di kampus
atau dimana saja setiap mereka pergi bersama. Yasmin mengira Dista
hanyalah fans Syam belaka yang sering merasa tersanjung oleh perhatian
pemuda itu,hanya saja berbeda dengan Yasmin Dista lebih ekspresif
mengungkapkan ketertarikannya. Sementara dirinya hanyalah seorang gadis
pemalu yang tak mungkin akan mengumbar kegembiraannya setiap saat ia
merasa Syam memperhatikannya. Namun Yasmin bukanlah gadis yang dengki,
berita sebesar apapun tidak akan menggoyahkan kelembutannya dalam
bersikap. Bahkan Yasmin memeluk Dista erat, membisikkan do’a yang tulus
di telinga sahabatnya dan tersenyum tanda turut bergembira untuk
kebahagiaannya:" Selamat ya Dis, aku tahu dia laki-laki yang baik,
shaleh dan pantas mendapatkan gadis seperti kamu. semoga pernikahan
kalian diberkahi Allah, aku ikut senang". Mata Yasmin berkaca-kaca
menatap Dista, ia ingin Dista menduga itu adalah air mata bahagianya
walau sesungguhnya kepedihan telah bersenyawa didalamnya. Mereka berdua
akhirnya tertawa-tawa
Yasmin
menekur di muka monitor, menatap beberapa foto yang diambil saat
pelaksanaan acara Bedah Buku di kampus, ada salah satunya foto dirinya,
Dista dan Syam dengan latar belakang mesjid kampus.Semua tersenyum dalam
foto itu, seharusnya menjadi kenang-kenangan yang indah menurut Yasmin,
tetapi mengapa air mata itu jatuh di pipinya, semakin lama semakin
tercurah, pundak Yasmin berguncang pelan, terdengar suara terisak dan
bisikan lirih Yasmin; ”Ya Allah,
Tuhanku….terima kasih telah Engkau karuniakan hamba saat-saat yang baik
ini. Dari sejak kecil hingga kini, tidak pernah Engkau mengecewakan
hamba. Ya Allah, sembuhkanlah luka hati ini, ringankanlah mata
penglihatan dan mata hati hamba jika melihat kebersamaan mereka.
Bahagiakanlah mereka Tuhan. Dan cukuplah bagi hamba Allah dan RasulNYA". Mengalir air mata Yasmin, airmata keikhlasan, digelarnya sajadah ingin melewatkan malam itu bersama Tuhannya.
Hari pernikahan Dista dan Syam tidak kurang
dari satu minggu lagi. Namun berita menggemparkan itu memecah
keasyikan. Dista mendapat kecelakaan berat di tikungan jalan daerah
Yogya saat sedang mempersiapkan pernikahannya. Saat Yasmin tiba di Rumah
Sakit di Yogya, ia melihat Syam sendirian terpekur di sudut hall,
berdesir hatinya, entah mengapa kini ia merasa iba melihat kekasih
sahabatnya itu bak burung yang terluka sayapnya, merasakan kesedihannya
yang luar biasa dan kekhawatiran akan kehilangan orang yang dicintainya.
Namun perhatian Yasmin terbelah, suara pekik orang-orang di ruang UGD
mengejutkannya. Yasmin melihat ibunda Dista menangis, dan Ayah Dista
berdiri lemas, dipapah kerabat beberapa orang. Berdegup kencang jantung
Yasmin, dan benarlah ternyata Dista dinyatakan telah meninggal
dunia.Yasmin terguncang hatinya, namun di saat-saat seperti itu sisi
lain dirinya menuntutnya untuk sadar, ada orang lain yang lebih “berhak”
untuk merasakan kepedihan besar itu, dialah Syam calon suami Dista.
Bergetar bibir Yasmin mengucapkan istirja: ”Innalillahi wa inna ilahi rooji’uun, sesungguhnya kami semua milik Allah,dan sesungguhnya kami semua kepadaNYA akan kembali.”
------
Hari-hari Yasmin dan Syam kini menjadi
sendu. Ditinggal orang yang dicintai dan dekat dengan mereka bukanlah
hal yang mudah. Namun kebersamaan mereka telah mendekatkan kembali
taqdir yang dahulu terasa jauh. Yasmin merasakan kini perhatian Syam
kepadanya bertambah setiap hari. Perasaan berbunga yang dulu pernah
dirasakannya kini datang kembali.Walau tidak sesemerbak dahulu karena
jauh di lubuk hatinya, ada perasaan rendah diri yang sulit terhapus,
dirinya hanyalah perempuan pengganti di sisi Syam setelah kepergian
Dista. Namun ia berusaha untuk selalu mensyukuri kebahagiaan itu, masa
lalu tidak mungkin dihapus, karena bagaimanapun itu telah terjadi.Yasmin
mencoba merangkai kehidupannya kembali dan membangun cita-citanya.
Hari
wisuda itu akhirnya datang juga. Orang tua Yasmin dan kedua kakaknya
datang dari Aceh. Kebahagiaan yang membuncah dihatinya, kedatangan
ibunya dan kelulusannya telah menambah seri di wajah cantik Yasmin,
apalagi saat disadarinya ternyata Syam pun hadir untuk dirinya menikmati
bersama kebahagiaannya. Itulah saat-saat yang mendebarkan hatinya dalam
kehidupannya. Di hari wisudanya, Syam melamar dirinya kepada orang
tuanya, memintanya untuk menjadi istrinya. Terasa terang benderang dunia
Yasmin dan penuh aroma yang menyenangkan, walau entah mengapa lututnya
saat itu terasa lemas.
Hari-hari Yasmin kini menjadi lebih
berwarna. Tidak kurang dari 2 bulan lagi pernikahannya akan digelar.
Syam pun telah membawanya berkenalan dengan kedua orang tuanya dan
keluarganya. Keluarga Yasmin di Aceh pun sibuk mempersiapkan
pernikahannya. Namun ada sedikit kekhawatiran Yasmin, mengingat
telephone dari Syam malam tadi tentang keluhannya di bagian pinggangnya.
Memang sudah beberapa minggu ini, Syam terlihat semakin sering mengeluh
sakit. Namun Yasmin tidak pernah menyangka, seminggu kemudian setelah
tak kuat menahan sakitnya dan Syam dibawa ke Rumah Sakit ternyata saat
diperiksa oleh dokter ahli penyakit dalam, Syam dinyatakan menderita
kelainan ginjal, satu ginjalnya telah tak berfungsi dengan baik, sedang
satu ginjal yang lainnyapun dalam kondisi yang tidak terlalu baik. Saat
itu juga Syam diharuskan menjalani rawat inap di Rumah Sakit.
Dua
minggu sudah Syam dirawat di Rumah Sakit, berat badannya turun drastis,
keadaanya tidak semakin membaik.Yasmin amat berduka melihat kekasihnya
terbaring di pembaringan rumah sakit tanpa dirinya bisa merawat
sepenuhnya. Statusnya yang belum menjadi istri yang sah menghalanginya
untuk dapat sekedar menyentuhnya. Hanya kepada ibunda Syam ia dapat
menitipkan sekedar buah tangan dan do’a tulusnya yang tak henti-henti ia
alirkan dari bibir dan hatinya.Sedang keadaan Syam semakin memburuk
saja, dan dokterpun telah menyerah sementara hari pernikahannya yang
telah tertulis di dalam undangan telah sangat dekat tak kurang dari 2
hari lagi. Hingga terucap dari bibir tipisnya, kepada ibunda Syam:”Wahai
ibu, saya tidak bisa duduk diam seperti ini saja. Laksanakanlah
pernikahan kami pada waktu yang ditetapkan semula. Nikahkan kami sedang
Abang Syam masih bisa mengenali saya. Izinkan saya berbakti kepadanya
sebagai istri dalam keadaan sakitnya ini Ibu”.
Ibunda Syam memandanginya haru, di
saat-saat di mana ia merasa tak pantas lagi mengharap cinta seorang
bidadari untuk putranya yang telah kehilangan ketampanannya,
kegagahannya, di saat dimana ia mengira hanya kasih orang tualah yang
akan setia menemani penderitaan putra tercinta,Yasmin mengajukan diri
untuk tetap melaksanakan pernikahannya hanya supaya dapat turut merawat
sepenuhnya sang putra. Ibunda Syam memeluk Yasmin dan menangis di
pundaknya, sementara Syam yang terbaring disamping mereka menitikkan air
matanya tanpa mampu berkata-kata.
Ia merasa baru sekarang ia menemukan permata sejatinya
Tepat
seperti yang telah tertulis di dalam kartu undangan, dilaksanakanlah
pernikahan itu. Syam sudah tak mampu duduk, namun ia mampu melafalkan
ikrar nikahnya walau dengan suara yang lemah. Semua yang hadir di kamar
rumah sakit itu tertunduk, atmosfir ruangan dipenuhi keharuan melihat
sepasang pengantin yang bersanding. Mempelai putri yang cantik
mengenakan kerudung putih berhias bunga sederhana duduk di kursi,
sementara Mempelai pria terbaring lemah di ranjang rumah sakit sedang
lengannya dipenuhi jarum infus dan obat-obatan.
Maka
dimulailah hari-hari penuh pengabdian Yasmin kepada suaminya di rumah
sakit. Bahkan ia pun kini harus ikut memikirkan biaya yang harus
ditanggung untuk perawatan dan pengobatan selama di rumah sakit. Jika
ada waktu, saat menunggui suaminya Yasmin merajut benang untuk dibuatnya
mainan atau topi-topi bayi yang lucu. Bukan untuk bayi mereka, tetapi
untuk Yasmin jual kepada beberapa teman yang merasa iba dengan
penderitaan keluarganya sebagai ikhtiarnya mencari nafkah karena
disadarinya suaminya belum mampu melaksanakan kewajiban itu saat ini.
Yasmin tidak tergoyah, rasa sedihnya tidak membuatnya berhenti tersenyum
untuk Syam suaminya.Setiap ada waktu berdua,Yasmin selalu menceritakan
hal-hal menarik yang ditemuinya, mulai dari rajutannya yang salah warna,
perawat shift malam yang judes tapi suka memberinya segelas kopi panas,
anak-anak teman mereka yang menitipkan hadiah untuk pernikahan mereka
dan sebagainya.Yasmin ingin suaminya tidak terlalu menderita, setidaknya
ia dapat melihat senyum di bibir Syam setiap hari sudah menjadi syurga
baginya.
--------------
Yasmin masih bersimpuh di atas sajadahnya,
saat tengah malam itu dari sudut matanya ia melihat tangan Syam mencoba
menggapainya.Yasmin segera bangkit, dan menangkap jemari suaminya lalu
didekapnya:”Ada apa sayang?”bisiknya. Syam menatapnya lekat dan berbicara dengan suara lemah: ”Terimakasih…” Syam tercekat, lalu ia melanjutkan bicaranya:
”Abang
rasa telah dekat waktunya…., Abang mensyukuri semua nikmat Allah
selama ini…bahkan penyakitku ini….tapi tidak ada nikmat Allah yang lebih
besar daripada dicintai dan menikahi Yasmin Nurul Aini. Abang memohon
kepada Allah cukuplah Yasmin sebagai Bidadariku dan Abang ridha kepada
adik sebagai istriku. Maafkan Abang belum menjadi suami yang baik
ya.... tolong sampaikan maaf abang kepada Ibu, Bapak Abang. Tentu saja
Orangtuamu juga Dik. Sampaikan maaf Abang belum dapat
membahagiakanmu....... Setiap habis sholat, ikutkan Abang dalam do’amu
ya dik”. Yasmin meneteskan airmatanya dan menganggukkan
kepalanya, pertanyaan bergelayut di pikirannya, adakah ini saatnya,
inikah saat-saat perpisahan itu?.Namun Yasmin tak ingin menangis
dihadapan suaminya, bahkan dalam saat yang kritis sekalipun Yasmin ingin
tetap tegar mengantar sang kekasih kepada Kekasihnya yang lebih
mengasihinya, IA lah Tuhan.
Yasmin
mendekatkan bibirnya ke telinga Syam membisikkan kalimat-kalimat dzikir
dalam zona pendengarannya. Terus demikian hingga mendekati Shubuh, saat
akhirnya suaminya menarik nafas yang terakhir untuk berpulang kepada
Sang Khalik. Yasmin sendiri yang menutupkan mata lelaki yang dicintainya
itu. Dan tidak berhenti membacakan ayat-ayat AL-Qur’an di sisinya,
hingga perawat shift pagi datang dan mengetahui keadaannya.
Yasmin masih berdiri di pantai itu. Kaki
lembutnya disibakki air ombak yang terus meninggi. Diperbaikinya lagi
kerudungnya yang dipermainkan angin laut. Yasmin menggerakkan bibirnya,
berbisik lirih :” Ya Allah, tak ada yang terbaik selain dari QudrahMU,
cukupkanlah hamba hanya denganMU. Terimakasih telah memilih hamba untuk
melalui salah satu jalan taqdirMU untuk bertemu orang-orang yang hamba
cintai walau diantaranya hanya sebentar saja, namun apalah arti sekejap
atau pun lama di hadapanMU, tutuplah dan dinginkanlah luka hati hamba ya
Rabby, jikalau ada alam lain tempat pertemuan para kekasih,
pertemukanlah kami kembali ya Allah, jikalau tiada maka cukuplah Engkau
saja bagi hamba”.
Yasmin memandang ke arah laut sekali lagi,
matanya basah oleh air mata beningnya namun hari telah senja, suara
adzan maghrib tidak lama lagi akan berkumandang. Yasmin memetik sekuntum
bunga perdu lalu membalikkan badannya, berjalan menyusuri pesisir ,
hatinya bergetar oleh dzikir dan bibirnya melantunkan do’a-do’a.
--------------
Terimakasih untuk Rahma -19 bln- yang tak bosan menghampiri dan duduk di pangkuanku saat menulis cerita ini
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah singgah di Goresanku ya ^_^