Sejak kepindahan keluarga kami dari kota Bandung, sudah sekitar dua
tahun lebih tidak melihatnya. Entah mengapa, sekarang aku teringat lagi
kepada mereka.
Seorang Bapak pemulung yang setiap hari memutari perumahan tempat kami
tinggal untuk memungut apa saja barang-barang dari tempat sampah warga
perumahan yang bisa ia jual kembali. Barang-barang bekas dari plastik
atau kardus yang telah menjadi sampah itu diletakkannya di dalam
gerobaknya yang ia tarik setiap hari kemanapun ia pergi.
Di dalam gerobak penuh barang-barang bekas itu duduk anak laki-lakinya
yang berusia sekitar 2 tahun (pada saat itu) 'anteng' bermain-main
dengan mobil-mobilan yang didapat ayahnya dari tempat mana lagi selain
tempat sampah orang.
Dibelakang gerobak yang ditarik sang bapak, berjalan istrinya dengan
menggendong seorang bayi perempuan. Berjalan mengikuti kemana saja
suaminya pergi,sambil sesekali ia pungut juga sesuatu yang belum
terambil oleh suaminya.
Demikian setiap hari, keluarga kecil itu beriringan berkeliling dari
satu rumah ke rumah yang lain, "menyulap" sampah orang untuk dijadikan
sebungkus nasi untuk keluarganya.
Suatu pemandangan yang menyentuh hati, menyaksikan ketabahan mereka.
Jika aku sedang merawat tanamanku, atau menyapu halaman, kulihat dari
sudut mataku, sang bapak berdiri diam di pintu pagar rumahku. Tidak
mengatakan atau meminta sesuatu apapun kecuali menyapaku dengan
kata-kata yang kadang-kadang sulit kumengerti karena baru tersadari
bapak pemulung ini ternyata kurang fasih dalam berbicara sehingga
terkesan seperti sedang bergumam tapi aku tahu pasti dia berbicara dalam
bahasa Indonesia.
Jika sudah demikian, aku hanya tersenyum dan mengangguk saja. Awalnya
ada rasa 'takut', tetapi setelah melihat anak-anak dan istrinya, rasa
itu berganti menjadi iba. Jika ditawarkan sesuatu, makanan atau barang,
maka nampak mimik senang di wajahnya.
Semakin lama aku dan keluarga mereka semakin "akrab". Keakraban yang
hanya bisa difahami oleh masing-masing hati kami, karena tidak pernah
ada obrolan panjang diantara kami. Istrinyapun bahkan tidak pernah
bicara, hanya mengggendong bayinya dan memperhatikan si sulung di dalam
gerobaknya.
Jika telah selesai "urusan"nya di rumahku, maka mereka akan segera
melanjutkan perjalanannya ke gang-gang lain, dari satu pintu pagar ke
pintu pagar yang lain, mengais-ngais sampah di halaman orang.
Saat mereka menjauh, dari belakang sering kuperhatikan keluarga itu.
Betapa hebatnya 'perumpamaan' yang Allah berikan melalui figur mereka.
Seluruh "dunia" mereka hanya sepenuh gerobak yang ditarik sang
pemulung. Tak punya walau segubuk kumuh untuk tempat berteduh, tak ada
janji makanan apa yang bisa ditemukan hari ini untuk istri dan anak-anak
balitanya, tak ada ganti untuk pakaian kotor dan kumal. Betapa
menakjubkannya Allah Tuhanku, dimana mereka berteduh jika datang hujan
lebat? kemana mereka pergi mendapatkan makan dan minuman? apakah
berhasil menemukan nasi, yang cukup untuk empat orang? bagaimana dalam
keadaan seperti itu, anak-anak mereka nampak gemuk dan sehat walau
terlihat kotor dan lusuh?.
Sulit kubayangkan jika kucoba membandingkan dengan keadaanku, saat istri
pemulung itu hamil lalu melahirkan. Dimana bersalinnya dan siapa yang
menolongnya? Apakah mereka mendapatkan barang sedikit popok atau kain
untuk bayinya?. Bagaimana jika salah satu atau kedua anak mereka sakit
atau demam ? Apakah mereka tahu dan bisa membeli obat penurun panas
untuk meredakan sakit anaknya? apakah mereka memiliki selimut untuk
menghangatkan tubuh buah hatinya?
Maha Suci Allah yang Maha Agung
Jika DIA memberikan rezekyNYA kepada cacing-cacing tak bermata dalam
tanah, atau belatung-belatung lemah dalam makanan busuk, atau dia
berikan rezekyNYA kepada Kecoa, Kelabang, Tikus di got-got. Maka tentu
telah DIA sediakan pula rezekiNYA yang Maha Luas bagi keluarga
ini.Karena sesunguhnya DIA lah Sang Maha Pemelihara.
Kini aku telah tinggal di tempat yang jauh dari mereka. Tidak kusaksikan
lagi salah satu ayat Tuhan itu. Tidak pernah kudengar lagi berita
tentang mereka.
Kecuali pada suatu hari, alangkah gembiranya aku ketika mudik ke rumah
orang tuaku dimana tidak jauh dari rumahku dulu. Allah pertemukan
kembali aku dengan mereka. Tidak berbeda dengan masa yang lalu, sang
Ayah menarik tali gerobaknya yang tersangkut di pundak dan tangan di
tiang gerobaknya. Hanya saja kala itu yang berada dalam gerobak bukan
hanya Sang Kakak yang telah tumbuh besar, tetapi juga sang adik
perempuan yang telah berusia kira-kira dua tahun.
Tetapi ada yang kurang....Dimana sang Ibu?
Saat kutanyakan kepada bapak pemulung itu, dengan wajah murung ia
mengabarkan bahwa ibu anak-anak telah pergi entah kemana. Meninggalkan
suami dan anak-anaknya yang masih teramat kecil. Pergi karena tak kuat
menahan penderitaan kehidupan mereka. Tanpa kabar,tanpa berita.
Aku menatap anak-anak itu di dalam gerobak sang pemulung, sedang asyik
bercengkrama. Tidak tahu kemana ibu mereka pergi. Hanya kepada Ayah
tempat mereka bergantung kini.
Kubayangkan anak-anakku sendiri. Rahma satu tahunku. Bagaimana
keadaannya jika tiba-tiba kutinggalkan pergi dan tak kembali. Sedang
sehari-hari 24 jam dia bersamaku, menikmati hari-harinya bersama orang
yang bisa dipanggilnya ibu. Bagaimana dengan mereka? anak-anak yang
sebaya dengan anak-anakku? anal-anak kita semua? Mereka balita, sangat
polos dan lugu.
Tetapi pertanyaan itu tak pernah terjawab, seiring berlalunya sang
pemulung. Membawa jauh seluruh "dunia"nya, barang-barang rongsokan dan
kedua buah hatinya.
Semoga Allah selalu Melindungi mereka, Menyelimuti mereka dengan Kasih
dan SayangNYA, Membekalkan Ilmu , mengaruniakan kesehatan dan
kesejahteraan, serta menghadiahkan Keselamatan.
Allahumma ya Rabby,Aamiin.
Bogor 7 Maret 2010
*Bagi yang pernah tinggal di sekitar Jl.Kopo Bandung, mungkin mengenal sosok-sosok itu, silahkan untuk turut mendo'akan *
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah singgah di Goresanku ya ^_^