Sunday, September 9, 2012

Dimana Kamu ?

Langit masih menyisakan deris gerimis. Suara penyiar berita  di TV tua  kami tak mampu menepis galauku. Kuperbaiki letak ember di ruang tamuku untuk menampung sisa hujan yang bocor disitu. Bagaimanapun aku berharap, pemilik rumah ini tetap tak mau memperbaiki atap bocornya hingga hutang 3 bulanku terlunasi.

"Mama, Nina mau makan"
"Nina mau makan ? tunggu ya nak, Mama selesaikan jahitan ini dulu ya. Cuma sebentar koq. Sini, dekat Mama, Nina tidur di paha Mama aja, nanti Mama buatkan makanan buat Nina ya"

Itu kata-kata terakhirku sebelum akhirnya Nina tertidur di pangkuanku, sedang aku masih berpura-pura menisik baju tetanggaku.Kuusap perut anakku yang lapar, dan air mataku jatuh di wajahnya yang rembulan. Aku tak punya sesuatu untuk dia makan malam ini. Uang terakhirku telah kubelikan obat si sulung yang tengah demam sore tadi.


Terjerat tatapku di foto yang terpaku di dinding kamar. Ada kamu disitu, gagah bersanding denganku di pelaminan merah kita.

"Dimana kamu  ?

"Sekuat daya kutahan air mata agar tak jatuh disebabkanmu, namun aku tak pernah berhasil. Aku ingin tegar seperti wanita-wanita kuat lainnya. Aku ingin kuat untuk anak-anakku. Anak-anak kita. Ya, aku harus kuat, besok, harus kuhadapi lagi raksasa-raksasa bermuka seram itu. Menagih hutang yang tak pernah aku tahu kau telah meminjamnya untuk menjadi bebanku. Dan kini telah berbunga berlipat kali. Dan hanya Tuhan yang tahu bagaimana akhirku dengan hutang sebesar itu.


Kusesap tandas teh di cangkirku, ingin kunikmati pahitnya hingga di tegukan terakhir malam ini. Mungkin masih bisa kukurangi perih di lambung dan hatiku . Untuk kumpulkan kembali serpih semangatku yang terserak, demi anak-anakku.....bahkan untuk janin yang terus bergerak di rahimku .


Bogor, 8 Juli 2011
Terinpirasi dari kehidupan nyata seseorang yang kukenal 

Dia seorang Ibu dengan 6 orang putra. Kini harus berjuang sendiri tanpa suami yang pergi entah kemana. Bergelut dengan nasibnya untuk membuat anak-anaknya masih bisa makan dan sekolah, sekaligus menghadapi para penagih hutang yang tak berbelas kasih.


Sungguh, di antara hangat kenyamanan kita detik ini, ada tabir yang membatasi kita dengan anak-anak yang merintih kelaparan, dengan anak-anak yang menangis kesakitan karena demam, dengan anak-anak yang pedih hatinya menyaksi ibunya bertahan sendirian dalam tajamnya tikaman kemiskinan, dengan anak-anak yang menatap ibunya dibiarkan sesak tenggelam dalam kerasnya zaman

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah singgah di Goresanku ya ^_^