Kepada
Dzul
di tempat
Dzul, malam ini aku diantar papaku ke Bandara, besok pagi aku naik
pesawat pertama ke London, do’akan aku ya Dzul. Salamku juga buat Amir.
Enam bulan lagi aku balik. Mau dibawain oleh-oleh apa ? (Hihi, belum
berangkat udah ngomong oleh-oleh nih). Okay, see you later.
Sahabatmu
-Martha-
Dzul melipat kembali kertas itu,lalu menoleh ke arah Amir:
”Martha berangkat malam ini, dia salamin antum juga tuh”. Amir mendengar
kata-kata Dzul sebentar kemudian beranjak untuk mengambil wudhlu.
Martha berangkat ke London untuk melanjutkan pendidikannya di bidang
sastra Inggris di sana. Sudah 3 tahun terakhir ini, Martha merasakan
sesuatu yang istimewa kepada Dzul teman sedari kecilnya, ia tidak
menemukan perasaan seperti itu kepada teman laki-lakinya yang lain baik
di kampusnya maupun di desanya. Namun ia menyimpannya baik-baik sehingga
Dzul tidak menyadarinya.
Pernah di masa yang lalu, saat mereka beranjak remaja Amir diam-diam
menyimpan rasa simpati kepada Martha, namun gadis cantik berkulit terang
ini tidak menyadarinya karena perhatiannya tertuju kepada Dzul, pemuda
sederhana yang sopan dan cukup menarik hatinya. Sering didapati Amir,
Martha selalu memperhatikan Dzul. Walaupun posisi itu tidak
menghalanginya untuk dapat mengungkapkan perasaannya kepada Martha,
namun perbedaan keyakinan di antara mereka menahan Amir untuk melangkah
lebih jauh, apalagi disadarinya Martha nampak lebih menyukai Dzul
daripada dirinya. Hingga kini, Amir seolah tak mempermasalahkan itu
lagi. Sedangkan Dzul sendiri, walaupun di beberapa kesempatan ia
menangkap seperti ada binar yang lain di mata Martha jika sedang
berbincang dengannya, namun ia tidak mengartikannya sesuatu apapun,
karena Dzul sendiri, telah lama hatinya tertambat kepada seorang gadis,
salah seorang santri wanita di pesantrennya bernama Salima.
Salima gadis manis dari Priangan yang pemalu, merupakan salah satu
santri putri di pesantren Miftahul Huda. Dititipkan orang tuanya untuk
menimba ilmu disana. Sejak kedatangannya di pesantren itu,Salima dikenal
sebagai gadis yang manis berkulit sedikit gelap namun memiliki mata bak
bintang kejora, pandangan matanya seakan mengandung sinar yang dapat
menembus hati siapa yang memandangnya. Tetapi Salima selalu menundukkan
pandangannya yang bersinar setiap kali berpapasan dengan lawan jenisnya,
sperti yang selalu diajarkan orangtuanya untuk menjaga izzahnya. Gadis
ini tak pernah berani menampilkan diri jika tidak karena disuruh oleh
para ustadz-ustadzahnya mengambil beberapa berkas ke kantor pusat
bersama seorang santri wanita temannya di mana Dzul bekerja di sana
sebagai sekretaris di Dewan Harian Pesantren Miftahul Huda. Di sanalah
mereka pertamakali bertemu.
------------------------------------------------------------------------
Hari-hari berjalan tanpa ada yang dapat menghentikannya kecuali Sang
Pemilik, keadaan berubah satu persatu yang dahulu dekat mulai menjauh.
Menjauh disebabkan beraneka sebab. Seperti yang terjadi pada Amir, dalam
beberapa tahun ini Dzul semakin jarang bertemu dengan sahabatnya ini.
Bahkan saat ibunda Dzul sakit pun, Amir tidak ada datang menjenguk.
Setiap kali Dzul mencari ke rumahnya, ibunda Amir hanya mengatakan
ketidak tahuannya ke mana putranya pergi di setiap malam-malam tertentu.
Sesuatu hal yang tidak biasa dari Amir yang dikenalnya dahulu,
seseorang yang sangat perhatian kepada orangtuanya. Jika ditanyakan
tentang perkara itu, Amir hanya menjawab selintas saja, membuat Dzul
berfikir bahwa hal itu memang bukan urusannya. Suatu hari Dzul datang
kembali hendak mencari Amir ke rumahnya, di halaman depan nampak ibunda
Amir sedang mengangkat nampan-nampan bambu berisi daun-daun teh muda
yang selesai dijemur,Dzul mengucap salam:
”Assalamu’alaikum Bu”, ibunda Amir menoleh dan melihat kawan anaknya berdiri dipintu pagar :
”Alaikumsalaam..eeh ada Dzul. Silahkan masuk nak, ayo..”. Ibunda Amir tersenyum ramah kepada Dzul.
“Terima kasih bu”. Dzul berjalan memasuki pekarangan rumah itu, lalu
duduk di kursi teras yang tersedia di sana. Ibunda Amir menyimpan nampan
bambunya di dapur,lalu bergegas menemui Dzul di terasnya
”Nak Dzul sudah darimana? Kok nggak pake motor ?”.Ibunda Amir celingukan ke arah pagar rumahnya .
”Ooh motor saya di bengkel Bu, biasa bannya bocor,jadi sambil menunggu
saya kemari. Amir sedang di rumah Bu?”. Dzul menanyakan keberadaan Amir,
Ibunda Amir menjawab :
” Ooh Amir di rumah temannya di Bandung, sudah tiga hari, Ibu juga nggak
tahu kapan pulangnya, ada kegiatan katanya, tapi ibu juga nggak tahu
kegiatannya apa nak, Amir juga nggak pernah cerita. Ya begitulah nak
Dzul, kadang-kadang Ibu juga merasa gimana ya, sering kalau Ibu sedang
perlu bantuannya, Amir nggak ada dan itupun sulit dihubungi, HPnya
sering mati. Nggak tahu lah Dzul, maklum Ibu kan udah tua, Bapaknya Amir
juga sakit-sakitan, maunya Amir bantu antar bapaknya ke Puskesmas. Atau
bantu angkat karung-karung teh itu ke pangkalan, Ibu sekarang sering
sakit punggung, sedang kita semua kan masih butuh makan, Amir sendiri
pekerjaannya jadi sering terbengkalai”.
Ibunda Amir berterus terang tentang keadaanya, karena dia tahu Dzul
adalah teman akrab Amir sejak kecil. Teriris hati Dzul dibuatnya, ia
seorang pemuda yang amat berbakti kepada ibundanya, mendengar Ibunda
sahabatnya mengadukan hal seperti ini membuatnya prihatin terhadap Amir.
Dzulpun meminta izin kepada ibunda Amir untuk menjenguk ayah Amir yang
sedang sakit. Saat Dzul memasuki kamar itu, hatinya berdesir, di kamar
yang gelap itu karena hanya ada sebuah jendela kecil yang tertutup tirai
lusuh, nampak laki-laki yang sudah sepuh itu terbaring lemah di atas
kasur lepeknya, ada segelas air bening dan dua bungkus obat di atas meja
kecil di sebelahnya. Dzul menghampiri orangtua itu dan mencium
tangannya dengan takdzim bagai kepada ayahnya sendiri:
Assalamu’alaikum Bapak”. Lelaki yang dipanggil bapak itu membuka matanya lalu mengawasi siapa yang mengajaknya bicara.
”Saya Dzul Pak, teman Amir” Dzul mencoba mengingatkan khawatir orangtua
itu telah lupa. Bapak itu mengangguk lemah lalu berkata:
”sendirian nak?”
“Ya Pak, bagaimana kabar Bapak? Maafkan saya baru menjenguk lagi.
Sekarang apa yang terasa pak?”. Ditanya demikian ayahanda Amir menunjuk
dadanya, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tiba-tiba orangtua itu
berguncang pundaknya menangis tak tertahankan. Dzulpun memberanikan
diri mengusap-usap tangan renta Pak Jaya, dan membisikkan do’a,
dimohonnya bagi orangtua itu keringanan dari Allah dalam menghadapi
penyakitnya. Suasana menjadi hening, hanya terdengar tangis lelaki tua
yang dulu semasa Dzul dan Amir kecil sering mengajaknya naik ke bukit
memetik teh sambil mengawasi mereka bermain. Ibunda Amir berdiri di
pintu kamar, matanya meneteskan airnya. Dzul mencoba menghibur Ibunda
Amir, dalam keadaan seperti ini tentulah semakin berat beban yang harus
ditanggungnya, melihat suami yang dicintai sakit adalah penderitaan
tersendiri bagi seorang istri. Perasaan ini amat difahami oleh Dzul,
karena ia pun menjadi saksi betapa sedih Ibundanya dahulu saat
menyaksikan sakitnya almarhum ayahnya :
”Ya gak apa-apa Ibu ,Ibu tidak usah khawatir, mudah-mudahan Ibu dan
Bapak selalu diberi kesehatan, saya ikut berdo’a Ibu. Insya Allah, besok
saya kesini lagi, mungkin saya bisa minta tolong kawan saya seorang
dokter di Puskesmas. Ibu, jika Ibu memerlukan bantuan, jangan
sungkan telepon saya ya, saya anak Bapak dan Ibu juga kan Bu?”,
Ibunda Amir terdiam, entah kenapa hatinya terharu, dari teman anaknya
ini ia mendapat kata-kata yang menentramkan hatinya sebagai orang tua.
Sungguh ia berharap mendapatkannya dari anaknya sendiri. Ibunda Amir
menjawab terbata-bata:
”Terima kasih nak, kamu baik sekali,semoga Allah membalasnya, nanti Ibu
sampaikan kedatanganmu kepada Amir kalau sudah datang ya”. Dzul pun
berpamitan karena hari sudah mulai gelap dengan diiringi pandangan kasih
dari Ibunda sahabatnya.
Di atas motornya dalam perjalanan pulang Dzul merenung, mengingat sosok
Amir sahabatnya. Memang dalam setiap perbincangannya kini, Amir terasa
lebih bersemangat saat menceritakan kondisi zaman, di mana telah terjadi
banyak kerusakan di masyarakat sehingga harus dilakukan perubahan besar
untuk memperbaikinya. Dzul merasa bersimpati atas semangat sahabatnya
ini, walaupun kadang-kadang ada beberapa hal dimana Dzul sangat berbeda
pendapat dengan Amir, jika sudah demikian maka biasanya Dzul selalu
mengalihkan pembicaraan. Apakah kegiatan yang diikuti Amir itu ?, Dzul
tak tahu pasti. Ini fenomena di depan matanya yang kesekian kali setelah
banyak hal yang sama disaksikannya terjadi pada beberapa temannya di
kampus dulu. Dzul membelokkan motornya ke rute menuju rumahnya yang
kini telah diterangi lampu-lampu jalan, suara jangkrik dan katak mulai
saling bersahutan menambah syahdu suasana malam di desa Cikahuripan.
------------------------------------------------------------------------
Hari itu awal musim penghujan, bumi Cikahuripan selalu diselimuti
mendung, namun entah mengapa hati Salima terasa riang, apakah ini karena
surat itu. Surat untuk Salima dari Dzul. Surat itu diterimanya melalui
ustadzahnya Ibu Aminah yang juga bibi dari Dzul yang mengajar di
pesantrennya. Hanya kepada bibinya itu rupanya Dzul mempercayakan
suratnya untuk disampaikan kepada Salima. Malam ini sudah ke tujuh kali
Salima membuka surat dari Dzul, antara percaya dan tidak, Salima
berulangkali membaca deretan huruf-huruf yang ditulis pemuda yang selalu
membuat lututnya terasa lemas itu jika bersua di kantor pusat Pesantren
Miftahul Huda.
15 Januari 2000
Kepada
Salima Athifah
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ukhty Salima, saya Dzulkifly seseorang yang mungkin belum Ukhty kenal . Telah lama saya berhasrat mengirimkan surat ini. Namun rasa malu menahan saya beberapa bulan untuk melakukannya.
Kali ini saya memberanikan diri menulis sepucuk surat
ini berharap semoga Ukhty tidak menjadi masgul sesudah membacanya nanti.
Ukhty yang shalihat, sesungguhnyalah saya telah lama memiliki mimpi, dan saya terus memohon kepada Allah agar ia dapatlah terwujud dalam kehidupan saya sesungguhnya .
Mimpi saya adalah bertemu Allah di syurga. Namun kata orang tetua kita, setiap insan wanita dan pria hanya miliki satu sayap di dunia. Bagaimanakah caranya saya dapat sampai ke syurganya apabila sayapku hanya satu saja ?
Apabila Ukhty berkenan, sudikah Ukhty menjadi sayap yang kedua, untuk kita dapat bersama-sama mencapai syurgaNYA ?
Sungguh-sungguh saya memohon dimaafkan telah lancang menghulurkan permintaan.Namun sudilah kiranya Ukhty
menjawabnya agar tak gelisah hati ini nan penuh harapan.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Dzulkifly Hassan
Terbanglah hati Salima menembus awan-awan, meluncur di pelanginya dan
melayang-layang di antara embun sejuknya. Kupu-kupu dari kapas
membawanya jauh ke negeri awan, membiarkannya menyentuh pelangi
berwarna-warni lalu melepasnya dari ketinggian melemparkannya ke dalam
air telaga berair jernih dan berenang-renang didalamnya. Salima mendekap
surat itu dalam-dalam seakan-akan benda yang amat berharga yang
disayanginya. Ingatannya hinggap pada saat-saat di mana ia menangkap
senyum pertama Dzul yang ditujukan kepadanya di pesantren saat ada
perayaan Milad Pesantren tahun lalu dan senyum-senyum Dzul berikutnya
pada kesempatan-kesempatan lain. Surat itu tidak seperti surat biasa,
lebih serupa dengan prosa atau fiksi sekaligus teka-teki untuk Salima.
Terpekur Salima kini, tak tahu hendak berbuat apa, mengapa Dzul
menempatkannya pada keadaan membingungkan sekaligus membahagiakan
seperti ini. Salima tak pernah menerima surat bermakna cinta dari
seorang pria, kecuali sms-sms usil dari beberapa teman pria di
pesantrennya yang ia pun tak tahu darimana mereka mendapatkan nomor hand
phone-nya. Salima sungguh bimbang bagaimana ia harus mensikapi surat
dari Dzul itu. Apakah harus dibalasnya ? orang mengirim surat tentulah
mengharapkan balasan pikirnya. Namun, bagaimana ia akan menjawab “mimpi”
seorang laki-laki yang sering membuatnya tergetar ini, sedang kali ini
pun Salima merasa sedang bermimpi. Yang ada dalam hatinya jika membaca
surat itu hanya perasaan tersanjung dan bahagia saja. Ah betapa
rumitnya, tetapi indah rasanya. Salima beristighfar, sadar dirinya baru
saja terlena, ia pun pergi ke pancuran asramanya dan mengambil air
wudhlu, kemudian menggelar sajadah mengadukan senang sekaligus gundah
hatinya kepada Tuhannya.
------------------------------------------------------------------------
Sejak itu hari-hari Salima terasa indah, lingkungan pesantren yang sudah
hampir dua tahun dia tinggali itu kini bagaikan istana Taj Mahl
baginya, dan menara Masjidnya seakan-akan menjadi Menara Eiffel yang
dipersembahkan untuknya, orang-orang yang berpapasan dengannya
seolah-olah turut merayakan kebahagiaannya membuat bibir Salima selalu
menyunggingkan senyum termanisnya.
“Ahh Tuhan, segala Puji bagiMU…beginikah yang dinamakan orang jatuh
cinta?” bathin Salima saat menatap air mancur di kolam pelataran asrama
putri masih di lingkungan pesantren, Salima mendekap dua kitabnya sedang
tas tergantung di pundaknya .” Assalamu’alaykum…!!!”. Salima
terperanjat saat seseorang menepuk pundaknya, ternyata Lastry teman satu
kelasnya,:
”Lagi ngapain Sal? Laper ya..” Lastry tersenyum menyapanya. Salima tergagap, tak mengira kehadiran temannya itu:
” oh eh….alaykumsalaam….hehehe nggak lah. Lastry kamu buka Shaum di mana
nanti ? Ikut berbuka di Aula atau di kamarnya Hafsah?” Salima
memperbaiki letak tasnya.
“Mmh belum tahu Sal, aku ada pertemuan di Baitul Muslimah, mungkin aku
nggak bisa ikut yang di Aula, liat nanti aja deh insha Allah. Eh Sal,
udah jam 1 nih, kita berangkat yuk”. Lastry mengajak Salima segera pergi
untuk mengikuti jadwal berikutnya, mereka berdua bergegas menuju
kelasnya yang terletak tidak jauh dari asramanya.
------------------------------------------------------------------------
Lima bulan kemudian
Dzul baru saja pulang sore itu setelah rapat yang membuat badannya penat
di pesantren, saat ia melihat seseorang sedang berbincang dengan ibunya
di ruang tamu,
”Martha…” bisik Dzul, diapun menghampiri keduanya di ruangan. Saat Dzul
masuk, kedua wanita itu menoleh kepadanya, ibunda Dzul tersenyum dan
berkata lembut, :
”Naah orangnya sudah datang, Dzul..nak Martha sudah lama nunggu, duduklah, Ibu bawakan teh dulu. Nak Martha, ibu tinggal ya..”.
Martha tersenyum kepada ibunda Dzul dan menganggukkan kepalanya:”O ya Ibu, silahkan..”.
Ibunda Dzul bangkit dari duduknya dan pergi ke dapur membawakan minuman
untuk anaknya yang tampak kelelahan. Dzul pun tersenyum kepada Martha
yang tampak lebih kurus setelah 6 bulan tinggal di London. Dia duduk di
kursi menghadap ke arah Martha, diliriknya ada sebuah bungkusan di atas
meja :
”Kapan datang Mar?, Papa jemput ke Jakarta?” Dzul bertanya, tangannya
bergerak membuka jaketnya yang agak basah terkena gerimis di luar lalu
sedikit merapihkan rambutnya. Martha tersenyum kembali:
” Tadi malam Dzul, aku dijemput Papa di bandara, Papa kirim salam buat
kamu. Ini ada oleh-oleh buat kamu, mudah-mudahan kamu seneng yaa”.
Martha menyodorkan bungkusan di atas meja ke arah Dzul. Dzul tersenyum
mengambil oleh-oleh dari Martha berbungkus kertas kado berwarna biru
itu, lalu dibukanya ternyata isinya sehelai syal tebal berbahan wool.
“Alhamdulillah, bagus banget Mar, akhirnya punya juga barang dari luar
negri hehehe” Dzul tertawa bersama Martha. Ibunda Dzul muncul dari pintu
membawakan secangkir besar teh manis hangat untuk anaknya;
”Waah, apa itu Dzul, bagus bener. Ibu juga dikasi baju dari Inggris loo
sama nak Martha”. Ibunda Dzul tersenyum menyodorkan teh kepada Dzul,
Dzul menerimanya lalu diseruputnya teh manis buatan ibunya tercinta,
hangat membuat tubuhnya lebih nyaman. Mereka bertiga berbincang seputar
kegiatan Martha selama di London, tentang kuliah-kuliahnya yang padat,
tentang dosennya yang serius, teman-temannya yang banyak juga berasal
dari Indonesia, sampai apartemennya yang sederhana tidak jauh dari
kampusnya.
Martha juga menanyakan kabar Amir, hanya saja Dzul tidak bisa
menjelaskan lebih banyak, akhir-akhir ini mereka berdua memang semakin
jarang bertemu, entah apa kesibukan Amir lainnya, Dzul sendiri sibuk
sebagai salah satu pengurus di Pesantren. Selama kira-kira satu
setengah jam mereka berbincang, kadang diselingi tawa, suasana yang
hangat menyambut kepulangan Martha dalam liburannya kali ini. Tidak lama
kemudian Martha pamit pulang, setelah bersalaman dengan ibunda Dzul,
Martha pun pulang ditemani supirnya.
-------------------------------------------------------------------------
Malam itu jam menunjukkan pukul 2.00, Dzul terbangun dari tidurnya
karena mendengar suara pesawat selulernya berbunyi beberapa kali. Dalam
keadaan masih mengantuk, Dzul mengangkat hand phonenya:
”Hallo…”. Jeda beberapa detik, dari seberang sana tidak segera menjawab
seakan-akan hendak memastikan Dzul-lah yang menerima teleponnya, tidak
lama terdengar suara seseorang berkata seperti berbisik :
”Dzul, ini ana…Amir”. Dzul keheranan, tidak biasanya ia menerima telepon
malam-malam begini kecuali dari pengurus kantor pusat jika sedang ada
event-event penting, apalagi Amir dia belum pernah menelponnya
malam-malam begini, kecuali ada sesuatu hal yang sangat penting. :
”Amir..? Ini betul Amir? Ada apa Mir?”. Di seberang sana Amir kembali berbisik:
”Dzul, bisa keluar sebentar? Ana tunggu di depan, dekat pohon Mangga. Tolong cepat ya”. Amir menutup teleponnya.
Masih keheranan, Dzul membetulkan sarungnya, dan mengenakan jaketnya
lalu pelan-pelan ia keluar dari kamarnya, menengok sebentar kamar
ibunya, Dzul agak khawatir sebentar lagi ibunya pasti bangun untuk
shalat malam seperti kebiasaannya. Maka ia agak berjingkat keluar
melalui pintu dapur menuju pekarangan rumahnya, di mana terdapat
beberapa pohon mangga milik orang tuanya. Di sana ia mencari-cari di
mana Amir berada, terdengar suara orang bersiul dua kali menyerupai
suara burung dari arah sebuah pohon di sebelah barat, di situ rupanya
Amir menunggunya. Dzul celingukan ke kanan dan kiri, tidak habis
berfikir mengapa Amir harus bersembunyi seperti itu untuk menemuinya.
Dzul mendekat, dan Amirpun berkata setengah berbisik:
”Dzul ana nggak lama, ana mau minta tolong, buku-buku ini tolong tak
usah dibaca-baca dulu, langsung dibakar ya, pagi ini juga harus sudah
dibakar, ana sudah gak sempat, harus pergi sekarang juga. Dan tolong
jangan ceritakan pada siapapun kedatangan ana ini. Kapan-kapan ana
cerita …tolong Dzul, demi persahabatan kita”.
Dzul melihat satu dus besar yang mungkin berisi buku-buku yang dikatakan
Amir. Amir menatap mata Dzul, seakan meminta kepastian amanahnya akan
terjaga di tangan Dzul dengan baik. Melihat mata itu, Dzul membaca,
Amir tak bisa ditanya tentang apa dan mengapa dia berbuat seperti ini,
persahabatan mereka sejak kecil dan rasa saling percaya di antara mereka
membuat Dzul hanya bisa mengangguk dan tidak bertanya lebih lanjut
kecuali satu:
” Antum mau kemana Mir?”. Tapi Amir tidak menjawab, dia sudah berbalik
dan berlari kecil menuju ke arah jalan di mana seorang laki-laki
tertutup jaket tebal dan helm berwarna gelap sedang menunggunya di atas
motor, dalam sekejap mereka berdua hilang dalam kegelapan malam. Dzul
tertegun, memandangi kawan akrabnya yang menjauh, entah mengapa hati
Dzul merasa tak enak, rahasia apakah yang sedang disimpan Amir, dan
ingatan Dzul pun melayang kepada orang tua Amir, apakah mereka
mengetahui kepergian anaknya ini? Terbayang guratan kesedihan di wajah
ibunda Amir saat Dzul menemuinya tempo hari. Semoga Amir tidak
mengecewakan mereka harap Dzul. Angin malam yang menusuk kulit
memaksanya untuk segera masuk, dijinjingnya ikatan dus besar berisi
buku-buku milik Amir itu dan Dzul pun kembali masuk ke kamarnya.
------------------------------------------------------------------------
Tiga Hari Kemudian
Hari Kamis ini suasana pesantren Miftahul Huda sangat ramai, memang
setiap hari kamis sampai jum’at pagi, juga hari sabtu hingga Ahad pagi,
rutin diselenggarakan dzikir dan tafakur bersama ratusan jama’ah, yang
dipimpin oleh Pemimpin umum pesantren Miftahul Huda Bapak KH. Misbach
Arifin. Para jama’ah satu-persatu datang dari berbagai pelosok untuk
mengikuti dan mendengar taujih dari sang Kyai. Pada saat-saat seperti
itu para pengurus pondok pesantren serta para santri putra dan putrinya
menjadi tuan rumah yang sangat sibuk, sebagian mengatur acara, sebagian
lain mengatur penempatan para tamu di di dalam dan di luar Masjid
Al-Arifin Billah, ada juga yang mengatur kendaraan para tamu di
pelataran parkir. Tidak ketinggalan para pedagang kecil turut berbaur di
dalam kompleks pondok pesantren. Cuaca hari itupun amat ramahnya, tidak
ada panas terik, tidak pula mendung hanya sinar siang yang menaungi
lingkungan pondok pesantren itu menjadi teduh, angin sepoi-sepoi bertiup
mengusap penghuninya. Lantunan nasyid dan ayat-ayat Al-Qur’an dari
Audio system mengalun pada selain waktu-waktu shalat, mencerahkan hati
yang mendengarnya, di “kota santri” ini semua larut dalam suasana yang
penuh semangat sekaligus menentramkan hati.
Salima dan kawan-kawan santri putrinya tengah sibuk menyusun penganan
dan kudapan ke dalam toples-toples, kue-kue basah ia letakkan di atas
piring-piring lebar. Yang lain menyusun minuman mineral gelas bertumpuk
rapih di ujung meja. Sambil mengatur makanan di meja besar di tengah
lapangan rumput bertenda besar itu, para santri putri sesekali bercanda
dan tertawa. Demikian pula Salima, hanya saja akhir-akhir ini ia sering
menjadi sasaran godaan teman-temannya yang ternyata ada beberapa yang
telah mengetahui bahwa Salima tidak lama lagi akan disunting pemuda
paling simpatik, pintar dan cakap di seantero pesantren anak santri
kesayangan Kyai Misbach yang bernama Dzulkifly. Salima tak mengerti
entah darimana mereka mengetahui semua itu,apakah Dzul bercerita kepada
teman-temannya yang kemudian menyebar beritanya, atau mungkin juga ada
yang memergoki saat Ustadzah Aminah berkunjung ke kamar santri putri
untuk menemuinya. Ah Salima bingung ,yang ada kini gadis itu sibuk
menepis berondongan pertanyaan-pertanyaan dari teman dan
sahabat-sahabatnya.
Salima masih sibuk memasukkan makanan ke dalam toples, saat Lastry sahabatnya mencolek-colek tangan Salima dengan sikunya.
“Sal….Sal”. Lastry memanggil nama sahabatnya dengan suara pelan. Salima menoleh :
”Ya…kenapa Las?”.Salima memperhatikan sahabatnya itu sementara tangannya tidak berhenti bekerja.
“Sal, lihat, siapa tuh yang berdiri di bawah menara, liatin kamu terus
kayaknya hihihi”. Salima mengarahkan pandangannya ke tempat yang
ditunjukkan Lastry, berdegup dada Salima saat nampak olehnya orang yang
dimaksud oleh Lastry itu ternyata Dzul.
Dzul bersama seorang kawannya sesama pengurus di kantor Dewan Harian
pesantrennya terlihat sedang mengatur posisi speaker di pelataran depan
Masjid. Salima diam-diam memperhatikan lelaki yang telah terpaut hatinya
oleh dirinya itu, namun sedang asyiknya ia mencuri pandang, dari
kejauhan Dzul pun nampak sekali-kali memperhatikannya. Jika sudah
begitu, Salima akan segera menundukkan wajahnya karena malu yang tak
terkira tertangkap mata sedang memperhatikan.
“Hey…ada yang lagi degdeg plas niih…aaahahaha”. Lastry tiba-tiba berseru
membuat teman-teman yang lain tertuju perhatiannya kepada mereka berdua
:
”Iiiih apaan sih…”. Salima mendorong bahu Lastry dengan sikunya, merah pipinya tak bisa mengelak dari godaan teman-temannya.
“Eh sssstt….ada yang datang tuh, ayo kerja kerja…”. Lastry tiba-tiba berbicara setengah berbisik.
Rupanya mendekat ke arah kumpulan santri-santri putri itu, Dzul orang
yang baru saja mereka bicarakan. Salima terkejut, tak mengira Dzul akan
berani mendekat kepadanya dihadapan kawan-kawannya. Salima salah
tingkah, hendak berpura-pura sibuk sudah tidak bisa karena kue-kue itu
sudah masuk toples dan tersusun di piring semua. Berdebar jantung Salima
saat Dzul benar-benar berada di hadapannya dan mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum ….”. Serempak kawan-kawan Salima menjawab salam dari
Dzul, tentu saja sambil senyum-senyum sambil melirik ke arah Salima.
“Waalaikum salaam warahmatullah wabarakatuh kak Dzul, huk huk ehm ehm”,
Lastry menjawab salam paling keras diantara semua dan mengakhirinya
dengan pura-pura batuk dan berdehem. Dzul tersenyum melihat reaksi
teman-teman Salima, ada yang senyum-senyum, ada yang cekikikan ada pula
yang ekspresif memperhatikan. Namun Dzul menjadi iba tatkala dilihatnya
Salima bak kucing diguyur air kebasahan, duduk di sudut tak tahu harus
berbuat apa. Dzul lalu mendekat kepada Salima :
” Apa kabar Ukhty ? sedang sibuk rupanya, mengerjakan apa?”. Salima
menatap Dzul sekilas lalu berkata:” Alhamdulilah……mmh ini Kak, menyusun
penganan untuk tamu”
Salima berusaha keras untuk tersenyum ramah namun mengapa sekarang ia
merasa kulit wajahnya dilumuri semen yang keras dan apa pula yang
terjadi dengan telapak tangannya yang kini banjir berkeringat.
“Oo begitu ya, mm…nanti malam Ukhty Salima datang ke masjid ikut
taujihnya Bapak Kyai?”.Dzul mencoba bertanya lagi,:” Insha Allah Kak,
bersama teman-teman”. Salima menjawab, suaranya hampir tak terdengar
namun Dzul bahagia bisa menyapa gadis itu. Dzul tak ingin membuat Salima
terus gelisah, bagaimanapun ini percakapan mereka berdua untuk pertama
kali sejak Dzul berkirim surat dan demi menjaga kesopanan,maka Dzul pun
cepat-cepat berpamitan;
”Kalau begitu silahkan diteruskan, maaf sudah mengganggu ya”. Senyum tak
lepas dari bibir Dzul, sedang teman-teman lain berpura-pura sibuk
membereskan meja sambil mencuri-curi dengar percakapan Salima dan Dzul.
Salima tersenyum dan menganggukan kepalanya kepada Dzul. Dzulpun
mengucapkan salam kembali kepada santri-santri putri itu.
Seiring langkah kaki Dzul yang menjauh entah mengapa terasa ada yang
tercabut dari hati Salima, ini berhadapan-hadapan muka yang pertama
baginya dan Dzul :
”Tapi, kenapa cuma begitu saja ya” hati Salima bertanya-tanya, walau
hatinya tak menentu ketika dekat, namun ia tak mengharapkan pertemuan
yang secepat itu, ah Salima tak mengerti keinginannya sendiri.
Diambilnya nampan, lalu mengajak Lastry ke dapur umum menjauh dari
teman-teman yang tak berhenti menggodanya.
------------------------------------------------------------------------
Satu Minggu Kemudian
Penduduk desa Cikahuripan gempar, salah seorang pemuda penduduk desa itu
ditangkap polisi berpakaian preman. Dari desas desus yang beredar
dikabarkan bahwa pemuda itu ditangkap di rumahnya tengah malam. Entah
apa sebabnya, orang tua pemilik rumah yang disergap itu kini telah
pindah ke rumah kerabatnya. Dzul tak habis fikir, ia mengenal pemuda
yang bernama Irwan itu seorang yang baik, bahkan Dzul tahu Irwan
merupakan kawan dekat Amir juga. Ingatan Dzul kembali pada saat Amir
mendatanginya tengah malam itu, adakah semua ini berhubungan?. Tetapi
apakah hubungannya dengan buku-buku yang Amir suruh membakarnya ?. Dzul
merasa khawatir dengan keberadaan Amir, tetapi sejak terakhir bertemu,
Amir tak pernah berkirim berita lagi kepadanya. Dzul menghela nafas
panjang seraya berdo’a di dalam hatinya :
”Allahumma, lindungilah Amir. Tuntunlah dia dengan petunjukMU. Lindungi
pula orang tuanya, Bapak dan Ibu. Tabahkanlah hati mereka berdua. Ya
Rabby, kembalikanlah sahabatku ini kepada kami dalam keadaan yang Engkau
ridhai… Allahumma aamiin”. Diusapkannya tangannya pada wajahnya yang
bersih sebersih hatinya yang tulus.
------------------------------------------------------------------------
Salima masih merapihkan pakaiannya yang telah disetrika, dimasukkannya
satu persatu ke dalam lemarinya. Salima membereskan kamarnya itu
sendiri, teman satu kamarnya Lastry masih sibuk di perpustakaan
mencari beberapa data untuk keperluan tugasnya. Tiba-tiba seseorang
mengetuk pintu kamarnya. Salima segera membenahi sprei tempat tidurnya
dan merapihkan kerudungnya, dan bergerak membuka pintu kamarnya.
Berdegup jantung Salima, ternyata yang datang adalah Ustadzahnya, Ibu
Aminah, bibi dari Dzul yang tempo hari menyerahkan surat dari pemuda
itu. Dengan gugup ia mencium tangan wanita berwibawa itu dan
mempersilahkannya masuk, tangannya terasa bergetar saat menggelar tikar
di lantai kamarnya yang sederhana, :
”Silahkan Ustadzah…”. Salima mempersilahkan Ibu Aminah duduk. Ibu Aminah tersenyum kepada Salima :
” O ya terima kasih, kamu sendirian nak? kemana temanmu?” Pertanyaan Ibu Aminah mencairkan suasana yang terasa kaku,:
”Oh, Lastry sedang ke Perpustakaan, Ustadzah. Suatu kehormatan untuk
saya dikunjungi Ustadzah. Mmh, sebentar saya buatkan minum ya”. Salima
hendak bangkit, tetapi tangan Ibu Aminah menahannya;
”Tidak usah nak, Ibu tidak akan lama hanya menyampaikan suatu amanah saja. Duduklah ”.
Baru pertama kali Salima mendengar Ustadzahnya ini memanggil dirinya
sendiri ibu. Salima kembali duduk menghadap kepada ustadzah yang
dihormati di pesantrennya ini walau hatinya tak menentu. Salima
menundukkan wajahnya saat Ibu Aminah mulai berbicara:
” Anakku Salima, kau santriwati yang pintar dan shalehah di pesantren
ini. Ibu senang dengan apa sudah kau capai dalam dua tahun ini. Orang
tuamu pun tentu lebih bangga lagi bagaimana keadaan Bapak dan Ibumu
nak?”. Salima tersenyum dan menjawab hati-hati, ia senang ustadzahnya
itu menanyakan kabar Ayah dan Ibunya:”Alhamdulillah, Umy dan Aby
baik-baik saja, tadi pagi saya sudah menelponnya Ustadzah”.
“ Ooo Alhamdulillaah, sampaikan salam Ibu untuk Umy dan Aby di rumah ya.
Mm Salima, kedatangan Ibu ini sesungguhnya karena diminta oleh
seseorang yang mengirimkan surat untukmu minggu yang lalu,
Dzulkifly…..Dzul keponakan Ibu, tetapi dia bagai anak Ibu sendiri, Ibu
tahu dia sejak kecil, pemuda yang baik, yang santun, yang shaleh.
Ayahnya sudah meninggal waktu nak Dzul masih kecil usia 3 tahun”
Ibu Aminah menatap Salima sejenak, gadis itu hanya tertunduk saja
mendengar setiap kata-katanya. Ibu Aminah pun melanjutkan ucapannya:
”Salima, Dzul sangat menghormatimu, oleh karena itu dia meminta Ibu
menemuimu dan menanyakan bagaimana keadaanmu setelah membaca pesannya.
Apakah Salima memahami maksudnya? Anakku, Dzul mempunyai niat ingin
memperistrimu, dia meminta maaf jika ini terasa tiba-tiba, tapi dia
mengatakan bahwa dia bersungguh-sungguh, apakah Salima menyetujuinya?”.
Salima diam, dia sungguh tak menduga, dari hari ke hari perkembangannya
sedemikian cepat. “Memperistri ? Menikah ?” Salima bergumam dalam
hatinya. Hatinya tak menentu membuat wajahnya semakin tertunduk,
penghormatannya kepada Ustadzahnya ini membuatnya teramat malu untuk
dapat berterus terang. Namun Ibu Aminah pun seorang wanita, yang dahulu
pernah merasakan keadaan yang serupa, bahkan beliau memiliki anak wanita
yang beberapa telah menikah sehingga amat memahami keadaan jiwa gadis
itu saat ini. Dengan tangannya Ibu Aminah mengangkat pelan dagu gadis
itu, ditatapnya wajah manis yang murni yang telah menjadi impian
keponakannya .
“Salima, kau tidak perlu menjawabnya sekarang nak, Ibu hanya
menyampaikan amanahnya saja. Sebaiknya kau fikirkan dahulu ya, Shalat
Istikharah, ajak bicara orang tuamu, bulan depan mungkin nak Dzul
sendiri yang akan menemuimu”.
Salima menatap wajah ibu Aminah,wajah yang teduh, membuat hatinya kembali tenang. Salima berkata:
” Baik Ustadzah, saya akan bicarakan ini kepada Ummy”. Setelah
berbincang sedikit hal lain, Ibu Aminah pun berpamitan, dengan takdzim
Salima mencium tangan ustadzahnya.
------------------------------------------------------------------------
Keesokan harinya, seperti biasa Dzul telah bersiap untuk pergi ke
tempatnya bekerja, di meja makan telah terhidang sarapan paginya dan
segelas teh pahit hangat. Ibunda Dzul muncul dari dapur membawakan
sekaleng kerupuk kesukaan anaknya, seperti biasa senyum yang ramah
selalu hadir di wajah ibu yang lembut ini:
”Dzuul, bagaimana…ada kabar apa dari bibimu semalam? Ibu sudah pengen cepet ketemu sama gadis itu, siapa namanya? Salma ya”.
Dzul tersenyum sambil menyelesaikan kunyahan di mulutnya ia meralat:
”Salima ibuu, bagus ya namanya”.
Dzul melanjutkan suapannya, lalu melirik ke arah ibunya, ia senang
menggoda ibu yang disayanginya itu, Dzul tahu ibunya pasti sangat
penasaran dengan pembicaraannya di telepon tadi malam dengan bibinya.
Namun ia tidak tega membiarkan ibunya dalam kepenasaranannya, setelah
meminum tehnya, Dzulpun bercerita apa pembicaraan dengan bibinya itu.
Selesai menyantap sarapannya, Dzul pun berpamitan kepada ibunya, seteleh
mencium tangannya - suatu kebiasaan yang hingga usianya yang ke 25
tahun ini tetap ia lakukan - Dzul menatap wajah orang tua yang
dikasihinya itu:
”Ibu, do’akan Dzul berjodoh dengan Salima ya”. Ibunda Dzul menengadah
menatap wajah putra satu-satunya ini, putra yang menemaninya selalu
selama berpuluh tahun setelah suaminya meninggalkannya menghadap Sang
Khaliq. Sambil mengusapkan tangannya yang telah berkeriput pada rambut
Dzul, beliau berkata:
” Anak Yatimku, Allah mendengarkan harapan dan do’a-do’amu nak, tanpa
diminta DIA sudah mengetahuinya, kita hanya disuruh menjalani saja
dengan cara yang benar. Tentu saja Ibu selalu mendo’akanmu . Selagi Ibu
masih ada, Ibu akan selalu mendo’akanmu. “Allahumma sally’alaa
sayyidinaa Muhammad wa’ala aali sayyidina Muhammad, Allahumma irhamhuu …
irhamhuu….irhamhuuu….Allaahumma aamiin”.
Dzulkifly damai hatinya dan matanya berkaca-kaca, mendengar Ibu yang
melahirkannya berdo’a untuknya, seakan-akan seluruh pepohonan,
daun-daun, rumput, awan dan burung-burung mengamininya turut memberi
restu kepadanya.
------------------------------------------------------------------------
Selama sepuluh hari Martha dapat menikmati liburan di kampung
halamannya, lusa ia harus berangkat lagi ke Cengkareng untuk “mengejar”
penerbangan pagi. Namun roman mukanya tidak menampakkan keceriaan.
Selama delapan hari berada di Cikahuripan ia merasa kecewa, tidak
sekalipun Dzul menelponnya atau mengirim sms kepadanya, apalagi sampai
datang bertandang ke rumahnya. Meski mereka berdua orang-orang
“berpendidikan” tinggi, namun Martha menyadari Dzul bukanlah seperti
pemuda kebanyakan yang ia kenal. Dzul seorang yang santun, memahami
bagaimana menghormati orang lain, apalagi mereka seolah berdiri di dua
pulau yang berbeda yang dinamakan ‘agama’ yang ditumbuhi banyak doktrin
dan kredo yang berbeda, terpisah oleh lautan ‘keyakinan’ bak ombak
ganas yang selalu menerjang, seolah tak akan memberi jalan bagi
keduanya untuk dapat bertemu. Martha amat menyadari ini semua, itulah
sebabnya ia tidak pernah berani bahkan dalam benaknya sekalipun untuk
mendahului mengungkapkan perasaannya kepada Dzul, ia hanya menunggu
dan menunggu “mu’jizat” itu datang. Hanya perhatian-perhatian kecil yang
berani ia berikan kepada teman yang dikaguminya ini semisal memberi
kado hadiah ulang tahun Dzul, mengirim kue-kue buatannya sendiri kepada
ibunda Dzul, atau sekedar mengirim sms-sms ringan untuk menunjukkan
perhatiannya. Entah apalagi yang harus Martha tunjukkan kepada Dzul,
namun tetaplah sampai detik ini tak ada satu deringpun panggilan dari
Dzul di hand-phone nya. Martha seorang yang dididik oleh ayahnya
kehormatan diri dan penyerahan kepada Tuhannya. Selalulah Martha
berdo’a baik saat kebaktian di gereja, saat menjelang tidur atau saat
kapanpun dia merasakan kesedihan. Dia tak hendak larut dalam
kekecewaannya dan mencoba selalu memaklumi apapun yang dialaminya.
Ketabahan, adalah warisan paling berharga yang telah diajarkan orang
tuanya. Martha memperhatikan sebuah potret ukuran postcard berbingkai di
atas mejanya, foto itu selalu dibawanya kemanapun ia pergi. Di dalam
foto itu terdapat gambar dirinya, Dzul dan ibunda Dzul yang diambil
dalam sebuah kesempatan pernikahan seorang teman. Martha bergumam
dagunya ia letakkan diatas punggung tangannya yang bersandar di meja :
”Dzul, apakah kamu tak bisa mengerti perasaanku sedikit saja. Kamu
nggak pernah tahu betapa menderitanya aku setiap dekat denganmu tanpa
bisa yakin bisa memilikimu. Hhhh…….”
Martha seakan mengajak berbicara gambar dalam foto itu, ia menghela
nafas panjang seolah ada beban berat dipunggungnya yang ingin
dilepaskannya. Masa liburan tinggal 2 hari lagi, Martha mulai
membereskan beberapa buku yang ia bawa dari London ke dalam kopernya,
bagaimanapun tugas-tugas kuliah itu tak bisa menunggunya mendapatkan
cinta Dzul.
-------------------------------------------------------------------------
Dzul baru tiba di rumah sekitar pukul 9 malam, ia menaruh motornya di
teras samping rumahnya yang rimbun dengan tanaman menjalar. Saat
membuka pintu rumah dilihatnya Ibunya dengan kacamata menempel di
hidung beliau, tengah duduk di kursi ruang tamu sedang menisik, menambal
sarung bantalnya. Dzul mengucapkan salam dan menghampiri ibundanya,
merunduk lalu mencium tangannya :
”Assalaamu’alaykum, koq Ibu belum tidur? Kenapa sarung bantalnya bu?
Robek ya”. Ibunda Dzul tersenyum dan terus melanjutkan pekerjaannya :
” yaa, tadi siang Ibu belum sempat, ada tamu kemari nyari kamu Dzul,
katanya teman waktu nyantri di pesantren dulu, siapa ya namanya…??”
Ibunda Dzul mencoba mengingat-ingat:
”ooh Bahrudin…apa ya… mungkin Baharudin nak, Ibu bilang kamu di kantor.
Tuh dilemari makan ada ikan goreng sama sambal, kamu udah makan belum
nak?”
Ibunda Dzul matanya terus meneliti kain sarung yang sedang ditambalnya.
Dzul tercenung, “Baharudin ?” tadi siang sekitar jam 2, Baharudin
temannya itu memang datang “main” ke kantornya, tapi dia tidak ada
menyebut telah mencarinya terlebih dahulu ke rumahnya. Dzul melangkah ke
kamarnya dan menjawab pertanyaan ibunya:” ya Bu, nanti saya makan, mau
mandi dulu.Dzul bergegas ke masuk ke kamarnya.
Pukul 11 malam, Dzul masih duduk bersila di atas sajadahnya sehabis
melaksanakan shalat witir. Benaknya terus berputar mengingat
pembicaraannya dengan Baharudin tadi sore di kantornya. Baharudin adalah
kawannya dan kawan Amir juga sejak masih menimba ilmu di pesantren
dulu. Dzul mengingat lagi pembicaraannya dengan Baharudin di kantornya.
Dalam suasana hangat mereka berdua asyik berbincang, :
”Jadi kapan antum ketemu Amir Dzul?” tanya Baharudin.
Dzul mencoba berfikir cepat untuk menjawab pertanyaan ini, banyak hal
yang misterius dengan Amir sekarang, membuatnya harus berhati-hati
menjawab pertanyaan orang-orang yang mengarah pada hubungannya dengan
Amir :
” wah sudah jarang sekali, nggak tau kemana dia, makin sibuk saja rupanya akhi kita satu itu”.
Baharudin terdiam lalu berkata lagi:
” Yaa, memang sudah tugas kita untuk sibuk kan? Sibuk ibadah maksud
ane. Cuma ibadah yang bagaimana dulu”. Dzul tertarik dengan kata-kata
Baharudin itu lalu bertanya :
” Jadi sibuk ibadah yang gimana nih harusnya akhy?”.
Baharudin tidak menjawab pertanyaan Dzul, dia hanya tersenyum sambil
menghirup kopi panasnya, lagipula itu bukan pertanyaan yang harus
dijawabnya, sebagai sesama anak didik K.H. Misbach Maulana Arifin,
pemimpin umum Pesantren Miftahul Huda, Baharudin tahu Dzul tidak perlu
diajari lagi pemahaman-pemahaman seperti itu. Namun Wajah Baharudin
nampak berubah lebih serius sekarang, ia menggeser duduknya dan
berbicara lebih pelan dari sebelumnya :
” Dzul, apakah buku-buku milik Amir sudah kau bakar?”.
Dzul terkejut, ia menatap Baharudin, tak mengerti bagaimana ia tahu
tentang hal itu sedang tadi dia bersikap seperti sudah lama tak
berkomunikasi dengan Amir.Baharudin menanyakan perkara buku milik Amir
itu, rupanya ia mengetahui hal itu . Apakah Baharudin mempunyai urusan
yang sama dengan Amir ?.Dzul mengangkat alisnya, mencoba menyusun
kata-kata sewajar mungkin, ia teringat tidak semua buku milik Amir yang
ia bakar sesuai permintaannya, ada beberapa dokumen yang ia penasaran
ingin membacanya maka ia simpan rapat di lemarinya dan sudah dibacanya
lalu Dzulpun berkata :
”ya tentu saja saya bakar Bahar, tapi Bahar ada apa ini sebenarnya ? Dimana Amir ?”.
Dzul menyemprot Baharudin dengan pertanyaannya. Baharudin kembali berbicara dengan suara yang terkesan sangat hati-hati :
”Dzul, dia percaya sekali pada antum, dan jaga ini tetap tertutup suatu
saat dia akan menjelaskan. Tapi sedikit saja yang ingin ana sampaikan
akhy, apa yang sedang kita bicarakan ini urusan besar, urusan
menyangkut cita-cita besar. Ini ibadah yang ana maksud kawan, kalau
saudaramu memintamu menyimpan rahasianya, maka simpanlah, ini demi
keselamatannya ”.
Dzul menarik nafas dalam-dalam, ditenangkannya hatinya sambil berdzikir,
ia sudah mengira semua ini adalah mata rantai dari sesuatu yang masih
misteri baginya. Dzul pun lalu bertanya :
” Apakah penangkapan Irwan tempo hari ada hubungannya dengan ini semua Bahar ?”.
Dzul menatap mata Bahar dalam-dalam, mencoba menerka-nerka jawaban
temannya ini yang ternyata merupakan teman satu kelompok dengan Amir
dan Irwan. Baharudin balas menatap Dzul, lalu ia berkata:
” Dzul antum lebih memahami, segala pilihan itu ada resikonya dan
“resiko” dari perjuangan ini adalah Syurga walaupun semua orang
mencemooh. Kerusakan di negeri ini sudah sangat parah Dzul, sudah hancur
aqidah dan moral di mana-mana, bencana sudah begitu rupa Allah turunkan
dan orang-orang kafir, fasik, dzalim itu semakin bebas dan seenaknya
saja berkeliaran. Kalau antum sedikit saja membantu perjuangan karena
Allah ini, kau sudah berdiri di jalanNYA ,membela agamaNYA, Syurga
balasannya akhy ?”.
Baharudin memberi tekanan pada kata terakhirnya. Dzul mencoba tetap
tenang dan menjaga kata-katanya agar tidak menyinggung atau disalah
fahami temannya itu :
”Bahar, ana tidak mempermasalahkan kewajiban membela Agama Allah. Tapi
ada sedikit pertanyaan saja , bagaimana bisa antum memastikan
mereka-mereka yang antum sebutkan itu adalah Kafir, Fasik, Dzalim ?
Sebutan-sebutan itu kan ada konsekuensi hukumnya buat kita dalam
bermu’amalah dengan mereka Akhy ?”
Dzul mencoba membangun sebuah diskusi. Baharudin menatap Dzul lalu ia
mengutip sebuah ayat bahwa barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang
diperintahkan Allah maka ia telah fasik, dzalim bahkan kafir (Q.S
Al-Ma’idah 44, 45,47).
Dzul langsung menggunakan ayat yang sama,ia berkata:” Jika demikian
apakah antum atau pemimpin-pemimpin kelompok itu memutuskan menurut
perintah Allah juga untuk mendakwa mereka itu fasik/dzalim/kafir
walaupun sama telah mengucap Laailaahaillallah ? Apakah mereka itu perlu
dianggap musuh walaupun mereka shalat,zakat,berpuasa dan berhaji hanya
karena tidak mengikuti kelompokmu?
Baharudin nampak ingin menyela, namun Dzul meneruskan kata-katanya.
“Bahar, kita sesama saudara satu aqidah -terlepas dari apakah sudah
sempurna aqidahnya atau tidak- apakah hanya karena tidak satu kelompok/
haraqah atau tidak seguru seilmu dengan kita, maka mereka layak kita
nilai / sebut orang-orang fasiq, orang-orang dzalim, bahkan kafir?
Sedang diantara mereka bisa jadi lebih bersih imannya, lebih tulus,
lebih baik ibadahnya ? Yang seperti ini besar konsekuensinya akhy,
banyak penderitaan ditanggung umat ini, banyak pertumpahan darah antar
sesama saudara seaqidah akibat dari sikap-sikap ekstrim ini. Ingat
peristiwa Usamah radiallahu anhu Bahar? Beliau dimarahi Rasulullah
dalam perang Khaibar telah membunuh seorang musuh yang memelas tak
ingin dibunuh oleh Usamah, padahal dalam peperangan membunuh atau
terbunuh itu adalah sebuah konsekuensi kan?, lalu ia mengucapkan kalimah
syahadah di depan Usamah, tapi Usamah tak mempercayai ketulusannya lalu
dibunuhnya ia. Kau tahu Bahar sejarah itu ?, Rasulullah murka kepada
Usamah. Ini kata-kata Rasululah saw
“APAKAH TELAH ENGKAU BELAH DADANYA LALU ENGKAU LIHAT ISI HATINYA ?
bahwa musuh itu tidak bersungguh-sungguh syahadatnya hanya taktik saja
agar selamat dari pedang Usamah?. Ini menunjukkan betapa beratnya urusan
klaim iman, kafir, fasik dan dzalim itu, bukan hak kita. Kita di dunia
ini hanya sebagai saksi saja, seorang saksi tidak punya hak untuk
menghakimi siapapun. Bagaimana menurutmu Bahar, sedang banyak
orang-orang yang tidak satu pemahaman atau satu kelompok dengan kita
itu bisa jadi Ibu kita sendiri, yang sudah melahirkan, membesarkan
kita. Atau ayah kita, family kita, ustadz-ustadzah kita,
tetangga-tetangga muslim kita. Itu sebabnya, gelar-gelar fasik,dzalim,
kafir itu ana bilang ada konsekuensi hukumnya. Sabda Rasulullah saw,
JADILAH KALIAN HAMBA-HAMBA ALLAH YANG BERSAUDARA, sesungguhnya muslim
itu haram darahnya, haram hartanya, haram kehormatannya bagi muslim
lainnya. Maaf Bahar, itu hanya pandangan pribadi ana sendiri.”
Baharudin diam tak menjawab sepatah katapun tetapi ia menatap Dzul, meneguk sedikit air minumnya lalu berkata:
” Ciri-ciri itu sudah jelas dalam Al-Qur’an akhy, firman Allah, apa kau
mau membantahnya? Dimana posisi antum? Ana kemari sebetulnya hanya
amanat Amir saja, apa yang Amir katakan tentangmu ternyata berbeda dalam
pandanganku. Ana kira antum bersama kami. Baiklah, ana hanya ingin
memastikan apakah amanat Amir masih tetap aman ditangan antum? Karena
jika tidak pasti akan ada konsekuensinya”. Baharudin menatapnya tajam,
Dzul merasakan nada yang aneh dalam suara Baharudin. Kemudian Dzul
berkata:
” Tenanglah akhy, bagi ana Amir tetaplah saudaraku karena Allah, apa
yang dia amanatkan untuk membakar buku-buku itu saya sudah lakukan”.
Dzul mencoba tetap tenang dan berjanji dalam hatinya bahwa ia akan
membakar buku-buku Amir yang tersisa.
Dzul melihat jam di mejanya, sudah tengah malam rupanya ia menolehkan
kepalanya, menatap lemari baju yang didalamnya terdapat beberapa
tulisan-tulisan Amir. Ia berencana akan membakar semuanya besok pagi dan
tak hendak mengetahui lagi apa penyebabnya. Kini Dzul teringat
nasehat-nasehat Kyainya di pesantren, salah satunya adalah:
” Potensi terbesar dari Syaithan untuk menggelincirkan manusia itu
adalah manakala manusia sudah berani ’Ngaku’, ngaku Ada (padahal yang
Maha Ada itu hanya Tuhan karena asalnya kita makhluk ini memang tidak
ada dan yang kekal abadi keberadaannya itu hanya Tuhan), Ngaku Punya
(tidak sadar bahwa segala yang dia “genggam”dalam kehidupannya itu cuma
milik dan titipan Tuhan), ngaku Pintar sendiri (merasa memang sudah
bakatnya pintar/pandai), ngaku Benar sendiri (bahwa dirinya/kelompoknya
berada di tempat yang paling benar sedang yang lain salah).
Miris hati Dzul, berawal dari berani “ngaku” inilah kata sang guru, bisa
disaksikan banyak orang berkelompok-kelompok sesuai dengan pemahaman
dan keyakinannya, setiap kelompok menyatakan dirinya di atas kebenaran,
lalu satu sama lain saling menyakiti dan memerangi tanpa haq. Mengambil
beberapa Nash Al-Qur’an maupun Hadist untuk melegalkan beberapa
perbuatan yang justru dilarang agama. Pada akhirnya berujung kepada
masalah kekuasaan. Sudah lupa kepada tujuan bertauhid yaitu menjadikan
Allah sebagai satu-satunya tujuan segala perbuatan, yang disembah, yang
dicintai, yang diingat-ingat agar masing-masing diri bisa “pulang”
kembali bertemu dengan Allah “sendiri” yang oleh sebab itu disebut Islam
(selamat). Dzul menyungkur sujud merendahkan diri dihadapan Rabbul
Izzaty seraya menghiba:
”Alaahumma, kasihanilah kami umat RasulMU ini, yang telah tertipu hijab
dunia. Ya Rabb, jangan Engkau biarkan kami terpecah belah, menjadi
mangsa empuk musuh yang sesungguhnya. Persatukanlah kami di dalam agama
keselamatan ini dalam mahabbah kepadaMU. Tunjukanlah bagiku dan ahliku
yang benar itu benar dan kokohkanlah hamba di dalam kebenaran itu, dan
tunjukkanlah bagi hamba yang salah itu salah, dan jauhkanlah hamba
sejauh-jauhnya, dan sampailkanlah hamba kepadaMU wahai yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dzul bangkit dari sajadahnya, menyetel
jam bekernya lalu beranjak tidur..
------------------------------------------------------------------------
Waktu terus berjalan tanpa akan kembali lagi. Tiga bulan setelah
lamarannya kepada Salima melalui surat diterima, Dzul dan Salima
merasakan kebahagiaan tak terkira. Di dalam Pesantren tempat mereka
bertemu dan jatuh cinta, di hadapan guru, orang tua dan kawan-kawannya
sebagai saksi, Dzul dan Salima resmi mengikat tali pernikahan, Mitsaqan
Ghaliza ikatan yang kokoh dengan niat yang suci melaksanakan ibadah
kepada Illahi dalam ikatan rumah tangga yang diberkahi.Dzul dan Salima
melaksanakan akad nikahnya di masjid Al-Arifin Billah yang dipenuhi
kawan-kawan dan kerabat mereka, suasana pesantren sangat ramai,
umbul-umbul yang dibuat dari janur oleh santri-santri putra dipancangkan
di berbagai sudut kawasan pesantren.
Lantunan nasyid-nasyid ceria bertemakan pernikahan menggema, berpot-pot
tanaman hias yang dipelihara para santri di pajang menambah segar
suasana. Begitupun kursi-kursi dan tenda-tenda besar disiapkan untuk
para tamu,karena bagaimanapun Dzul adalah orang yang cukup penting di
pesantren itu serta banyak koleganya yang ingin turut merayakan
kebahagiaannya. Semua turut bergembira dengan pernikahan kedua “Bintang
dan “Bulan” Miftahul Huda itu, serta turut mendo’akan untuk kebahagiaan
mereka. Salima dan Dzul untuk pertama kalinya saling memandang satu
sama lain tanpa ada kecanggungan lagi, dan saling memberikan senyum yang
paling manis, diam-diam dalam hati keduanya sama-sama mengucap syukur,
telah Allah berikan “Hadiah” yang terindah.
Dalam satu kesempatan berdua, Dzul mengambil tangan istrinya dan berkata
;”Adik Salima, terima kasih telah berkenan menggenapi sayapku, mulai
hari ini kita sama-sama “berjalan ke Syurga” ya”. Salima menatap mata
suaminya dalam-dalam, tiada kata yang terucap dari bibirnya hanya mata
yang berkaca-kaca dan anggukan kepalanya.
“Baarokallohulaka wabaroka ‘alaika wajama’a bainakumaa fiikhoir…Semoga
Alloh memberi berkah kepadamu berdua baik dalam senang maupun susah dan
mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan”
Kebahagiaan kedua insan itu disaksikan banyak orang dari desa
Cikahuripan dan begitu pula Martha, namun ia tetap tak dapat merayakan
kebahagiaan mereka itu, bermil-mil jauhnya dari tempat pernikahan
mereka Martha bahkan ingin terbang sejauh-jauhnya ke ruang angkasa atau
menyelam sedalam-dalamnya ke bawah samudra,agar ia tak bisa mendengar
"suara ramainya" pernikahan Dzul dan Salima.
Di hari pernikahan Dzul dan Salima, Martha tengah mengasingkan dirinya
di Apsley House, salah satu istana dari Duke of Wellington yang kini
telah menjadi Museum dan Art Galerry di London. Martha berusaha
mengumpulkan kepingan-kepingan hatinya yang terserak saat mendengar
kabar pernikahan sahabatnya dengan Salima. Kasih tak sampai, namun
Martha akan tetap bertahan untuk bangkit kembali membangun cita-citanya
dan demi kebahagiaan ayahnya. Martha berjalan menyusuri lorong museum
itu, saat tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya. “Martha…!" ,
nampak dari kejauhan kawannya yang bernama Thelma melambaikan
tangannya, Martha mengusap air mata di pipinya "Thelma..." kemudian
berlari ke arah Thelma, seakan-akan ingin meninggalkan bekas lukanya
yang tertinggal di kampung halamannya.
------------------------------------------------------------------------
Lima Bulan Kemudian
Hari itu hari yang kelabu bagi Dzul, telah datang kabar duka dari rumah
yang dulu sering dikunjunginya, yang pernah menjadi tempat bermainnya
bersama Amir dan Martha. Ayahanda Amir meninggal dunia, sakit
paru-parunya yang lama diderita telah mengantarkannya kepada sang
Pencipta. Dahulu ayahanda Amir sering mengajak mereka bertiga berjalan
ke atas bukit, menerbangkan layang-layang atau membuat benda-benda lucu
terbuat dari batang-batang teh. Sambil menemani mereka bertiga bermain,
ayah Amir bekerja memetik teh milik perusahaan. Dahulu, Dzul sering
berkhayal, ayah Amir adalah Ayahandanya sendiri karena dia sudah tak
memilikinya lagi sejak usianya yang ke tiga tahun. Betapa pedih hati
Dzul, saat masuk ke liang lahat itu bersama beberapa laki-laki yang lain
hendak meletakkan jenazah laki-laki yang walaupun bukan orang tuanya
namun amat ia kasihi, diterimanya jasad itu hati-hati dengan tangannya
lalu dengan hati-hati diletakkannya di liang lahat, menghadapkan jasad
itu ke arah kiblat. Dzul sendiri yang mengumandangkan adzan di kuburnya
walau parau suaranya ditelan kesedihan, lalu Dzul menutup kembali
kuburnya dengan tanah dan rangkaian bunga sebagai penghormatan
terakhirnya. Dicari-carinya wajah Amir sang putra, namun Dzul tak
menemukannya. Hanya sosok wanita tua yang terkulai lemas dipapah
keponakannya, dialah Ibunda Amir, mengantar kepergian suaminya tanpa
kehadiran anak kandungnya yang telah mereka rawat sejak kecil namun kini
tiada kabar beritanya.
Maha Suci Allah yang Maha Agung, tidaklah Allah menciptakan segala
kejadian dengan sia-sia. Bagi Dzul semua peristiwa memiliki makna besar
bagi orang-orang yang “memperhatikan”. Ia menghampiri Salima yang kini
tengah mengandung calon putranya di dalam rahimnya, digenggamnya jemari
istrinya dalam-dalam seolah tak ingin lepas lagi, mereka berdua
menyusuri tanah makam itu beriringan dengan yang lain, Dzul berjanji di
dalam hati akan menjaga diri dan keluarganya dari hebatnya nafsu dunia
dan gangguan syaithan yang ingin menghancurkan dan menggagalkan
perjalanan sucinya menuju kepada yang Maha Besar yang Allah asmaNYA.
Desa Cikahuripan kini sedang diselimuti halimun, demikian pula hati
Dzul, namun semoga halimun itu akan segera berganti dengan cerahnya
sinar Mentari yang diberkahi, Allaahumma aamiin
Laahaula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adziim
------------------------------------------------------------------------
Dirampungkan penulisannya pada 25 February 2010, di Bogor